Monday 31 August 2009

Amerika Tetap "Tunduk" pada Israel


Akhir-akhir ini media massa dan pengamat internasional "digairahkan" oleh adanya "ketegangan" diplomatik antara pemerintah Amerika dengan Israel. Ketegangan ini telah sampai pada satu titik terpanas dimana Israel "terpaksa" harus menarik diplomatnya dari Amerika karena membuat pernyataan kontroversial. Namun jauh dari pengamatan, Amerika tetap menjadi "pelayan" Amerika dan drama ketegangan diplomatik tersebut tidak lebih dari sebuah "panggung sandiwara" diplomasi.

Baru-baru ini media-media massa Israel melaporkan kunjungan dua pejabat keamanan tertinggi Amerika, Penasihat Keamanan Nasional Jendral Jim Jones dan Menhan Robert Gates ke Israel. Media-media Israel melaporkan bahwa salah satu "pesan" yang dibawa kedua pejabat tersebut adalah jaminan kepada Israel bahwa Amerika dalam waktu delapan minggu akan melakukan "tindakan keras" terhadap Iran seperti yang diinginkan Israel. Dan "tindakan keras" tersebut sangat boleh jadi kesediaan Amerika membantu Israel menyerang Iran.

Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan komentar-komentar maupun langkah kebijakan politik luar negeri Presiden Barack Obama terhadap Iran. Berbeda dengan pendahulunya, Barack Obama telah membuka kontak langsung dengan Iran yang mencuatkan harapan konflik Amerika-Israel dengan Iran soal isu nuklir Iran dapat diselesaikan secara diplomasi.

Berbeda dengan pendahulunya pula, Obama juga bersikukuh menuntut Israel menghentikan pembangunan pemukiman yahudi di wilayah pendudukan di Palestina, sebagai prasyarat perdamaian Israel-Palestina.

Namun dengan adanya laporan dari media massa Israel tersebut di atas, harapan terjadinya perdamaian timur tengah dan dunia tampaknya semakin jauh saja. Apalagi jika melihat sikap para pejabat di sekeliling Presiden Obama sendiri seperti Wapres Joe Biden yang terang-terangan mendukung Israel atas rencananya menyerang Iran.

Dan melihat kengototan Israel tentang isu senjata nuklir Iran, perang tampaknya tidak mungkin lagi dielakkan. Sanksi apapun, baik diplomatik maupun ekonomi tidak akan mempengaruhi kebijakan nuklir Iran. Sejarah telah membuktikan berbagai sanksi yang telah dilakukan Amerika terhadap lawan-lawan politiknya tidak pernah membuahkan hasil dan justru berujung perang. Sebagai contohnya sanksi Amerika terhadap Jerman, Jepang dan Italia sebelum Perang Dunia II, dan sanksi Amerika terhadap Saddam Hussein sebelum Perang Teluk.

Dan bila perang benar-benar terjadi, baik Amerika, Iran maupun negara-negara di seluruh dunia akan menderita karena dampaknya. Hanya Israel yang bertepuk tangan karena melihat lawan tangguhnya, Iran, hancur diserbu Amerika dan sekutunya. Amerika sudah babak belur di Irak dan Afghanistan. Satu lagi perang besar melawan Iran dipastikan akan membawa kehancuran lebih dalam bagi Amerika. Bukan tidak mungkin, rakyat Amerika sendiri akan "memberontak" terhadap pemerintahnya sendiri sebagaimana mereka lakukan dalam masa Perang Vietnam.

Dan seperti biasa media-media massa yang de facto dikuasai oleh orang-orang yahudi, berperan besar menggiring opini publik demi terjadinya peperangan sebagaimana mereka lakukan dahulu dalam Perang Krim, Perang Dunia I, Perang Dunia II dan Perang Irak.

Media massa barat bersatu padu mendukung tuduhan Iran berupaya membuat senjata nuklir. Mereka bekerja bahu-membahu dengan para pejabat sekeliling Barack Obama pendukung perang termasuk menlu Hillary Clinton. Dan Congress? Seperti biasa mereka tidak mau pusing memikirkan perang sebagaimana amanat konstitusi yang menetapkan Congress lah yang berhak menyatakan perang kepada negara lain. Seperti biasanya mereka cukup memberikan restu kepada pemerintah untuk berbagai kebijakan perang yang dilakukan Amerika.

Pada tgl 30 Juli lalu misalnya Congress mengeluarkan undang-undang yang melarang perusahaan-perusahaan melakukan perdagangan minyak Iran. Senator Joseph Lieberman dari Connecticut bahkan tengah menyusun draft undang-undang pelarangan impor minyak dari Iran. Rancangan undang-undang yang disusun Lieberman itu telah mendapat dukungan 67 senator, dan secara de facto, jika benar-benar diundangkan, menjadi deklarasi perang kepada Iran.

Media-media massa Israel juga menyebutkan adanya beberapa draft UU lainnya yang diperuntukkan sebagai sanksi terhadap Iran, seperti UU pelarangan asuransi perdagangan dengan Iran yang membuat Iran bakal mengalami kesulitan melakukan perdagangan secara internasional. Kapal-kapal dan pesawat-pesawat terbang berbendera Iran mungkin juga bakal dilarang berlabuh atau mendarat di negara-negara barat.

Semangat mengebu-ngebu Amerika untuk menyerang Iran dengan alasan nuklir sebagaimana diharapkan Israel tentunya bertentangan dengan logika sehat. Iran adalah negara anggota IAEA (International Atomic Energy Agency) yang menandatangani pakta anti penyebaran senjata nuklir. Selain itu, pengembangan nuklir Iran juga selalu mendapat pengawasan organisasi tersebut. Di sisi lain, Israel, satu-satunya negara Timur Tengah yang memiliki senjata nuklir, bukan anggota IAEA dan sudah barang tentu tidak menandatangani pakta anti penyebaran senjata nuklir selain pengembangan nuklirnya di luar kontrol masyarakat internasional. Dengan kata lain nuklir Israel adalah ilegal dan nuklir Iran adalah legal.

Selain itu tuduhan Iran tengah mengembangkan senjata nuklir jauh dari kenyataan. Beberapa penyidikan yang dilakukan IAEA tidak menemukan bukti terhadap tuduhan tersebut. Bahkan lembaga-lembaga inteligen Amerika sendiri telah menyatakan Iran tidak dalam kondisi mengembangkan senjata nuklir.
But the facts tell us otherwise. Terakhir, yaitu bulan lalu, US State Department’s Bureau of Intelligence and Research (INR) mengeluarkan pernyataan bahwa tidak ada bukti Iran tengah mengembangkan senjata nuklir. Lebih tepatnya laporan itu berbunyi, "…no evidence that Iran has yet made the decision to produce highly enriched uranium, and INR assesses that Iran is unlikely to make such a decision for at least as long as international pressure and scrutiny persist."

Maka menjadi pertanyaan mengapa para politisi Amerika dengan genderang perang media massa terus menuduh Iran tengah mengembangkan senjata nuklir dan mengancam akan menyerang negara tersebut. Jawaban pertanyaan tersebut tidak lain adalah karena saat ini, setelah tumbangnya Saddam Hussein, Iran merupakan lawan Israel paling tangguh, dan karenanya harus dihancurkan.

Kita akan segera melihat Presiden Barack Obama sama dengan presiden-presiden pendahulunya, sebagai budak yahudi.

Sunday 30 August 2009

ANTARA MULYANI DAN BERNANKE



Indonesian Free Press -- Saat tulisan ini di buat di dunia perbankan tanah air tengah terjadi sebuah tragedi yang disebabkan oleh sebuah kejahatan sistematis yang melibatkan pejabat keuangan, manajemen perbankan dan para pemilik modal. Tragedi itu adalah pemberian talangan kepada Bank Century oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani senilai Rp 6,7 triliun.

Belajar dari krisis monenter 1997 dan krisis finansial global tahun lalu saya sudah memperkirakan krisis likuiditas Bank Century akan diakhiri dengan pemberian dana talangan oleh pemerintah. Maka sempurnalah sudah sebuah skendario kejahatan sistematis besar-besaran dengan nilai kejahatan yang luar biasa besar. Setelah dana masyarakat dikeruk secara massif, masyarakat pula yang harus menalanginya.

Dengan Rp 4 triliun saja Indonesia bisa membangun jembatan Suramadu yang super megah. Dengan Rp 6,7 triliun jalan lintas Sumatera yang di banyak titik berlubang bak kubangan kerbau (apalagi jalan lintas di pulau lain), bisa disulap menjadi mulus. Cina sudah membangun jalur kereta api ke pegunungan Himalaya sementara Indonesia yang lebih dahulu merdeka dan memiliki kekayaan alam yang melimpah, tidak memiliki jalan raya antar propinsi yang layak kecuali di Pulau Jawa.

Ada satu pola penanganan dalam modus kriminal ini. Tingkat pertama adalah dengan menahan manajemen dengan alasan kesalahan manajemen. Tingkat kedua, jika ternyata penanganan tingkat pertama gagal menghentikan kasus karena jumlah yang dikuras terlalu banyak dan kerusakan pada struktur keuangan bank terlalu parah, adalah dengan menahan para pejabat keuangan eselon I (dirjen atau direktur bidang Bank Indonesia) dan mantan pejabat keuangan setingkat menteri/Gubernur BI. Tingkat ketiga, jika tekanan publik terlalu kuat, adalah dengan menahan para pejabat keuangaan setingkat menteri, tentunya setelah diberhentikan dari jabatannya. Tingkat keempat adalah menahan para pemilik modal perbankan. Namun biasanya penanganan kasus ini hanya menyentuh tingkat ketiga karena pada tingkat keempat pemilik modal telah melarikan diri ke Singapura, surganya para koruptor Indonesia dan negeri dimana dinas inteligen Israel memiliki markas besar operasional untuk kawasan Asia.

Friday 28 August 2009

PENGARUH YAHUDI DI INDONESIA


Pada bulan September 2005 lalu Presiden SBY tersudut oleh rumor yang menyebutkan adanya pertemuan antara menlu Indonesia dengan menlu Israel di New York di sela-sela agenda sidang umum PBB. “Tidak ada yang gelap, karena, sekali lagi, kita ingin membantu perjuangan bangsa dan rakyat Palestina,” kata Presiden SBY.

Namun Presiden SBY tidak pernah menjelaskan agenda dan hasil-hasil pertemuan tersebut. Ia juga tidak menjelaskan hubungan pertemuan tersebut dengan keputusannya membatalkan rencana kunjungan ke Palestina yang sudah diumumkan sebelum pertemuan itu. Lagipula peranan apa yang diharapkannya dapat dimainkan oleh Indonesia dalam proses perdamaian Israel-Palestina? Kekuatan-kekuatan besar dunia seperti Amerika, Rusia dan Uni Eropa saja tidak dapat berkutik di bawah ketiak Israel dalam konteks proses perdamaian Timur Tengah.

Di sisi lain akhir-akhir ini publik dikejutkan dengan berita tentang adanya penjualan senjata buatan Pindad yang diselundupkan ke Filipina oleh para pedagang senjata gelap Israel.

Dua kisah di atas hanya sepenggal fakta dari fenomena kuatnya pengaruh Yahudi di Indonesia. Hal itu boleh saja dibantah mengingat selama ini secara resmi kebijaksanaan politik luar negeri Indonesia menganggap Israel sebagai musuh. Namun fakta paling sederhana seperti ketergantungan Indonesia kepada lembaga-lembaga keuangan internasional yang notabene dimiliki Yahudi adalah fakta yang tidak bisa dibantah tentang betapa kuatnya pengaruh Yahudi di Indonesia.

Berikut ini adalah fakta-fakta tentang adanya hubungan Indonesia-Israel:
1. Adanya hubungan dagang resmi antara Indonesia-Israel yang disahkan melalui SK Menperindag tahun 2001.
2. Hadirnya delegasi resmi Israel pada sidang World Tourism Organization di Bali tahun 1993.
3. Adanya pertemuan antara Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Israel Yitzak Rabin di Jakarta tahun 1993.
4. Adanya kunjungan delegasi Kadin Indonesia ke Israel tahun 2006 yang direstui oleh Wapres Jusuf Kalla.
5. Adanya pertemuan antara Menlu Hasan Wirajuda dengan menlu Israel Silvan Shalom di New York tahun 2005.
6. Keanggotaan (mantan) Presiden Gus Dur dalam Yayasan Shimon Peres.
7. Pengangkatan Henry Kissinger (dedengkot yahudi internasional) sebagai penasihat Presiden Gus Dur.
8. Kepemilikan aset-aset nasional oleh Yahudi baik langsung maupun tidak langsung di beberapa perusahaan swasta strategis seperti SCTV, TEMPO, INDOSAT, BHAKTI INVESTAMA dll.
9. Adanya peralatan-peralatan militer milik TNI buatan Israel.
10.Adanya beberapa sinagog atau rumah ibadah Yahudi di beberapa tempat di Indonesia yang masih eksis sampai sekarang.

Namun fakta-takta tersebut di atas hanya sebuah fenomena gunung es atas pengaruh Yahudi di Indonesia. Pengaruh Yahudi di Indonesia sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan mencakup bidang yang sangat luas hingga mencapai level kekuasaan tertinggi di negeri ini. Beberapa fakta dan situs sejarah, organisasi-organisasi dan figur-figur terkenal hingga simbol-simbol kenegaraan ternyata adalah Yahudi, atau di bawah pengaruh Yahudi.

Penulis akan sedikit membahas tentang simbol negara sebagai bentuk pengaruh Yahudi karena hal ini merupakan esensi dari pengaruh Yahudi terhadap sebuah negara. Pengaruh Yahudi di Amerika misalnya dapat dilihat dari gambar mata uang dollar dimana simbol “bintang Daud” berada di atas simbol “burung elang botak” yang merupakan maskot Amerika asli.

Adapun simbol negara “burung Garuda” juga dapat ditelusuri asal-usulnya sebagai simbol Yahudi. Pemilihan simbol “burung Garuda” sendiri sebagai lambang negara adalah sebuah kontroversi karena hanya ditentukan oleh segelintir orang saja tanpa memperhatikan aspirasi mayoritas rakyat Indonesia. “Burung Garuda” memang ada dalam mitologi Hindu yang pernah menjadi agama mayoritas Indonesia di masa lalu, namun pada masa kemerdekaan, Hindu tidak lagi memiliki pengaruh yang signifikan.

Agama Islam sendiri sebagai agama mayoritas rakyat Indonesia setelah era Hindu juga tidak mengenal simbol “burung Garuda”. “Burung Garuda” juga tidak pernah benar-benar ada karena hanya sebuah mitos, berbeda dengan burung elang botak yang merupakan binatang asli Amerika. Karena bukan simbol asli bangsa Indonesia maka tidak ada lain simbol “burung Garuda” mengadopsi simbol-simbol kebudayaan asing yang memang memuja-muja simbol “burung mirip Garuda”, yaitu Yahudi yang gerakan Fremasonry-nya sangat berpengaruh sampai saat ini.

Pengaruh Yahudi di Indonesia dimulai pada abad 18 melalui gerakan perkumpulan rahasia Vritmetselarij atau Freemasonry yang berkembang di kalangan elit Indonesia baik di kalangan orang-orang Belanda maupun pribumi: pejabat, bangsawan, pengusaha, ilmuwan, seniman/sastrawan dan kalangan intektual lainnya. Gerakan tersebut selanjutnya berkembang menjadi beberapa cabang seperti Himpunan Theosofi, Moral Rearmemant Movement (MRM) dan Ancient Mystical Organization of Ancient Mystical Organization of Sucen Cruiser (Amorc) dan sebagainya.

Sebagaimana telah disebutkan dalam Protocol Zion, gerakan mason ini dimaksudkan untuk mengendalikan kalangan elit goyim (non-Yahudi) sehingga secara tidak sadar bekerja untuk mewujudkan misi Yahudi menguasai dunia. Gerakan ini berhasil memikat kalangan elit di Indonesia karena mengajarkan nilai-nilai idealisme seperti kebebasan, demokrasi, kemanusiaan, kesetaraan gender dan sebagainya. Apalagi setelah mereka yang menjadi anggota perkumpulan kemudian mendapatkan beberapa fasilitas dan kemudahan yang mampu mengangkat karier dan prestige mereka.

Di Indonesia gerakan ini berhasil membangun beberapa loji (loge) atau tempat perkumpulan seperti di Jakarta, Surabaya, Palembang, Semarang, Yogyakarta, Banda Aceh, Medan, Padang, Makasar dan sebagainya. Namun pembangunan loji di Pekalongan gagal karena resistensi masyarakat setempat yang menolak adanya ritual pemujaan setan yang dilakukan di loji.

Beberapa figur terkemuka yang terpengaruh dengan gerakan tersebut adalah Pangeran Ario Notodirodjo, DR Sutomo dan Raden Adipati Tirto Kusumo yang ketiganya adalah ketua perkumpulan Boedi Utomo; DR Radjiman Widiodiningrat yang menjadi Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan anggota BPUPKI; seniman terkenal Raden Saleh; Sultan Pontianak Abdul Rahman; keluarga Pakualaman dan Hamengkobuwono dll. Selain itu tokoh-tokoh nasional seperti H Agus Salim dan Achmad Subarjo mengaku pernah menjadi penganut theosofi.

Kembali ke soal lambang “burung Garuda”. Orang-orang yang merancang simbol “burung Garuda” sebagai simbol negara adalah Sultan Hamid II, Ki Hajar Dewantoro dan Muhammad Yamin. Ketiganya adalah pengikut gerakan Vrijmeselarij dan Theosofi. Sedangkan Presiden Soekarno yang menetapkan simbol “burung Garuda” sebagai lambang negara juga berada dalam pengaruh Fremasonry melalui ayahnya yang merupakan anggota Perhimpunan Theosofi Surabaya.

Penganut faham nasionalisme yang pernah menjadi komprador pemerintah pendudukan Jepang, membubarkan Masyumi, memenjarakan tokoh-tokoh Islam dan mengkhianati rakyat Aceh ini mengatakan: "Kami mempunyai sebuah perpustakaan yang besar di Surabaya yang diselenggarakan oleh perkumpulan Theosofi. Bapakku seorang theosof, karena itu aku boleh memasuki peti harta ini, dimana tidak ada batasnya bagi orang yang miskin. Aku menyelam lama sekali di dalam dunia kebatinan ini. Dan di sana aku bertemu dengan orang-orang besar. Buah pikiran mereka menjadi buah pikiranku. Cita-cita mereka adalah pendirian dasarku."

Saat ini pengaruh yahudi sangat kuat terasa di balik fenomena homonisasi dan pornografi serta pornoaksi yang banyak didorong oleh media massa nasional, terutama televisi. Anda mungkin mengira si SP adalah pemilik stasiun televisi M dan koran M, atau si CT pemilik stasiun televisi T, si DI pemilik jaringan koran terbesar di Indonesia J, atau si AB pemilik televisi O. Saya katakan, salah besar. Mereka tidak lebih dari "high paid professional", sebagaimana Donald Trump menjadi profesional bayaran dari Tibor Rosenbaum, Baron Edmond de Rothschild, William Mellon Hitchcock, Meyer Lansky dan David Rockefeller para pemilik Resort International, satu jaringan hotel dan tempat hiburan terbesar di dunia.

Pengaruh yahudi juga sangat terasa di kalangan Islam Liberal dan kalangan sosial demokrat Indonesia. Ketika Sydney Jones, pimpinan International Crisis Center, dicekal oleh pemerintah Indonesia semasa pemerintahan Presiden Megawati, beberapa tokoh Islam Liberal dan sosial demokrat ramai-ramai melakukan demonstrasi mendukung Sydney Jones. Di antara mereka adalah Nurcholis Madjid, Alwi Shihab, Gunawan Muhammad, T Mulya Lubis dll. Padahal, boleh bertaruh dengan menjilat pantat, Sydney Jones adalah agen Mossad/CIA. Dan sebagaimana tipikal orang yahudi, ia homoseks. Dalam sebuah wawancara dengan Tabloid Opini Sydney mengaku pernah berhubungan serius dengan seorang pria dan nyaris menikah. "Untung tidak jadi," katanya.

Kepahlawanan Palsu


Pernah melihat film "Saving Private Ryan" khan?. Film peraih Oscar karya sutradara yahudi, Steven Spielberg ini menampilkan satu adegan di taman makam pahlawan dimana sang tokoh utama memberikan penghormatan kepada rekan-rekannya yang tewas menjalankan tugas. Di latar depan tampak batu nisan berbentuk salib, lambang agama kristen, dan bintang Daud lambang agama yahudi. Adegan ini diulang dua kali, di bagian awal dan akhir film. Ini memberikan kesan kuat bahwa di samping orang kristen, orang yahudi juga banyak berjasa kepada negara Amerika.

Namun benarkah demikian?

Kepahlawanan di medan perang dan pengakuan atas kepahlawanan itu merupakan dasar dari banyak kebudayaan di dunia. Kebudayaan Yunani diwarnai dengan kepahlawanan Achilles. Kebudayaan Romawi diwarnai dengan kepahlawanan Julis Caesar, Octavianus, kebudayaan Islam diwarnai dengan kepahlawanan Ali bin Abi Thalib, Salahuddin, kebudayaan Helenisme diwarnai oleh kepahlawanan Alexander, kebudayaan Inggris Raya diwarnai dengan kepahlawanan Laksamana Nelson, dlsb. Bagi sebagian orang kepahlawanan dapat diartikan juga kekuasaan.

Dan demi kepahlawanan pula orang-orang yahudi sering melakukan tipudaya sebagaimana kebiasaan di bisnis industri keuangan yang mereka ciptakan dan jalankan.

Sebagai contoh, dalam masa pemerintahan Presiden Bill Clinton, Larry Lawrence, seorang yahudi bekas dubes Amerika untuk Swiss, meninggal dunia. Kolega Lawrence yang juga berdarah yahudi, Richard Helbrooke yang menjadi asisten menteri luar negeri, meminta kepada Bill Clinton untuk memakamkan Lawrence di makam pahlawan Arlington National Cemetery.

Angkatan Darat yang mengetahui permohonan itu kemudian mencari bukti-bukti yang mendasari kelayakan Lawrence, pemilik Hotel Del Coronado di San Diego tempat Bill Clinton sering berlibur, untuk dimakamkan di taman makam pahlawan. Mereka tidak menemukan bukti apapun. Tapi Bill Clinton tetap menginjinkan pemakaman Lawrence di Arlington National Cemetery, bahkan menghadiri pemakamannya.

Namun cerita kepahawanan Larry Lawrence tidak sehebat cerita tentang Sgt. David Rubitsky yang menjadi tentara Amerika di Papua dalam perang dunia II saat Jepang menyerang. Sebuah artikel yang ditulis Joseph Farah melaporkan: seorang diri Rubitsky mempertahankan garis pertahanan dengan semua senjata yang dimiliki. Ia menghabiskan waktu selama 21 jam untuk berperang, termasuk sembilan jam dalam pengepungan. Saat bala bantuan akhirnya tiba, mereka menghitung Rubitsky telah membunuh 500 sampai 600 tentara Jepang.

Rubitsky telah mencoba keras untuk mendapatkan penghargaan Congressional Medal of Honor namun ditolak karena alasan yang menurutnya anti-semitisme. Anti-Defamation League (ADL) dan organisasi yahudi lainnya dengan dukungan media massa dengan gigih membela Rubitsky. Karena tekanan tersebut, termasuk sebuah resolusi yang ditandatangani oleh 92 anggota Congress, pada tahun 1987 Angkatan Darat melakukan penelitian terhadap masa dinas Rubitsky sebagai tentara. Namun setelah selama dua tahun lebih melakukan penelitian secara intensif, tidak ditemukan bukti kepahlawanan Rubitsky. Pada tgl 8 Desember 1989 permohonan Rubitsky untuk mendapatkan medali penghargaan Congress akhirnya ditolak. Namun itu semua terjadi setelah bertahun-tahun polemik di media massa seputar kepahlawanan Rubitsky.

Saya pernah melihat dua film yang mencoba menggambarkan kepahlawanan orang-orang yahudi, yaitu "Blackhawk Down" dan juga film "Saving Private Ryan". Dalam kedua film itu digambarkan seorang dengan ciri yahudi: hidung bengkok dan rambut hitam agak keriting (lucunya kedua adegan film berbeda itu diperankan orang yang sama), berjalan tanpa takut menantang terjangan hujan peluru lawan.

Dalam buku "Rulers and Ruled in the US Empire: Bankers, Zionists and Militants", James Petras mencatat bahwa kurang dari 0,2 persen dari tentara Amerika yang bertugas di Irak adalah berdarah yahudi. Bahkan yang 0,2 persen itu tidak bertugas di garis depan.

Apa yang dilakukan yahudi dengan menghalalkan semua cara untuk meraih keinginannya dan enggan melakukan pekerja keras adalah sesuai dengan apa yang difirmankan Allah dalam Quran. Dalam salah satu surat Allah menggambarkan bagimana orang-orang yahudi menolak melakukan jihad dan memilih duduk-duduk. "Kamu saja yang berperang bersama Tuhan. Kami akan duduk menunggu," kata orang-orang yahudi saat diperintahkan untuk berperang merebut "negeri yang dijanjikan".

Saya pernah mendengar cerita bahwa para tentara Israel mempunnyai kebiasaan menempatkan para komandan di depan dan menolak berperang jika komandannya berada di belakang. Sangat boleh jadi cerita itu benar.

Sifat-sifat seperti itu pulalah yang membuat mereka kalah melawan Hizbollah dan Hamas di medan perang. Dan setelah mengetahui kelemahan itu, Iran pun tidak gentar menghadapi Israel yang mengancam akan menyerang fasilias nuklirnya. Israel tidak akan tahan berperang selama setengah tahun non-stop.

Tuesday 25 August 2009

Lebih Jauh Tentang Bisnis Ilegal Organ Manusia


Dalam sebuah film laris Turki berjudul "Valley of the Wolves" digambarkan seorang dokter Amerika berdarah yahudi di penjara Abu Ghraib Irak, membedah hidup-hidup seorang tawanan Irak. Kemudian ia membungkus beberapa organ dalam tawanan itu dan memasukkannya ke sebuah kendaraan yang bertuliskan: "Ke Tel Aviv (kota terbesar Israel)".

Fakta, bukan film fiksi, yang mirip dengan adegan film tersebut baru saja dirilis di sebuah surat kabar besar Swedia, Aftonbladet, tentang para pemuda Palestina yang diburu oleh tentara "paling bermoral di dunia" Israel untuk diambil organ dalamnya. Laporan tersebut menggemparkan masyarakat dunia yang masih memiliki moral dan mempunyai akses informasi tentunya.

Anda mungkin menganggap sepele berita tentang para rabbi yahudi di New Jersey dan New York yang ditangkap beberapa waktu lalu karena praktik perdagangan organ manusia. Anda mungkin juga hanya membaca sepintas karya sastrawan besar Shakespearre "Saudagar dari Venesia", tentang seorang rentenir yahudi yang meminta bayaran berupa sayatan daging korbannya yang tidak dapat membayar hutangnya. Tapi Anda tidak akan memandang sepele jika Anda masih memiliki hati nurani dan mengerti bahwa praktik-praktik biadab seperti itu telah berlangsung ribuan tahun dan masih terjadi saat ini di negeri "pilihan Tuhan", Israel.

Donald Boström, seorang fotografer Swedia yang menjalankan tugasnya di Tepi Barat Palestina tahun 1992, atas informasi dari beberapa personil keamanan PBB di sana mengikuti petualangan tentara Israel di Tepi Barat. Tentara-tentara tersebut menangkap beberapa pemuda Palestina dan mengembalikan jasadnya lima hari kemudian dalam kondisi tersayat dari perut hingga tenggorokan. Organ dalam jenasah-jenasah itu telah menghilang.

Para orang tua korban mengetahui dengan pasti apa yang dialami anak-anak mereka. "Anak-anak kami telah menjadi korban donor paksa. Mereka hilang selama beberapa hari untuk dikembalikan di tengah malam, dalam keadaan mati dan tersayat. Mengapa mereka membiarkan jenasah mereka selama lima hari sebelum kami dapat menguburkannya? Apa yang terjadi dengan jenazah-jenazah itu? Mengapa mereka melakukan autopsi, tanpa persetujuan kami, saat penyebab kematiannya sangat jelas? Mengapa jenasah mereka dikembalikan malam hari dengan pengawalan tentara? Mengapa seluruh area ditutup selama penyerahan jenasah dan aliran listrik dimatikan?"

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui Bostrom. Ia mengambil beberapa gambar jenasah tersebut kemudian menyelundupkannya keluar Tepi Barat. Setelah kembali ke Swedia ia menawarkan cerita mengerikan tersebut ke koran Dagens Nyheter yang ternyata dimiliki oleh keluarga Bonnier yang berdarah yahudi. Dagens Nyheter menolak mempublikasikan laporan tersebut, namun koran lainnya Aftonbladet, menerimanya. Laporan itu diterbitkan dua kali. Yang terakhir terbit tgl 23 Agustus lalu dengan judul headline di halaman muka "Mamma har aldlrig slutat lida, aldrig".

Israel menanggapi laporan itu dengan histeria massal. Mereka bersama kekuatan yahudi internasional menekan pemerintah Swedia untuk mengutuk laporan itu dan menangkap penulisnya untuk dipaksa meminta ma'af. Dubes Swedia di Israel, salah satu anggota keluarga Bonnier yang memiliki jaringan surat kabar, TV dan bioskop di Swedia, mengecam laporan tersebut dengan keras.

Namun untuk memenuhi harapan Israel tanpa mempermalukan Swedia sendiri tidaklah mungkin mengingat SWedia adalah negara penganut kebebasan berpendapat. Di sisi lain para redaktur Aftonbladet bersikukuh dengan hak mereka menyiarkan tamuan mereka dan menyerukan diadakannya penyidikan internasional atas kasus perdagangan organ ilegal tersebut.

Menlu Swedia Carl Bildt, atas tekanan yahudi internasional menulis di sebuah blog bahwa “artikel seperti itu akan mendorong anti-semitisme, dan provokasi bertentangan dengan hukum Swedia". Bagaimana pun karena reaksi pemerintah Swedia yang "lunak" menurut pandangan Israel, kemarahan justru semakin hebat di Israel.

Adalah mudah bagi Israel dan yahudi untuk menebarkan tuduhan-tuduhan kotor atas laporan jurnalisme itu, namun menjawabnya adalah persoalan lain. Fakta-fakta itu sangat mengganggu, dan tuduhan Israel menjadi pedagang ilegal organ manusia telah lama terdengar. Ada banyak laporan mengenai hal itu yang tidak dapat diabaikan begitu saja selain laporan dari Aftonbladet.

Anggota parlemen Israel dari etnis Arab Ahmed Tibi dan Hashem Mahmid pernah melontarkan tuduhan bahwa institut Abu Kabir yang menangani kedokteran forensik telah melakukan pengambilan organ-organ dalam mayat Palestina tanpa ijin keluarganya. Mereka mengatakan bahwa para dokter Palestina seringkali mengajukan protes karena mendapatkan mayat warga Palestina telah hilang organ dalamnya.

Sebuah media Israel juga pernah membuat laporan pada tahun 2007 lalu bahwa tiga remaja Palestina terbunuh di dekat kamp Khan Younes di Jalur Gaza, dan tubuhnya dikembalikan kepada keluarganya dalam kondisi hancur akibat otopsi, enam hari kemudian. Terkadang Israel bahkan sama sekali tidak mengembalikan mayat korbannya dan hanya menguburkannya diam-diam di suatu kuburan rahasia.

Berikut ini adalah berbagai laporan internasional tentang praktik-praktik otopsi dan perdagangan ilegal organ manusia yang dilakukan Israel.

* Turki, Jerussalem Post: Seorang profesor Israel, Zaki Shapira, ditangkap di Turki karena melakukan otopsi ilegal dan menjual organ-organ tubuh manusia. .
* Afrika Selatan, New York Times: Satu jaringan perdagangan organ manusia beroperasi antara Afrika Selatan hingga Brazil.

* Brazil: Seorang perwira tentara Israel, Gedalya Tauber, ditangkap karena memawarkan sejumlah uang kepada para warga miskin Brazil, untuk ditukar dengan organ tubuh.

* Ukraina, Jerusalem Post: seorang warga Israel ditangkap karena melakukan praktik jual-beli organ manusia di Ukraina.


Warga yahudi Israel banyak sekali terlibat dalam bisnis organ manusia karena Israel adalah negara satu-satunya di dunia yang turut terlibat langsung dalam
bisnis ini, selain juga melegalkan kegiatan ini dilakukan. Dan karena banyaknya komunitas yahudi, banyaknya doktor keturunan yahudi di berbagai negara yang sama-sama memiliki moral yang rendah, kegiatan ini menjadi sebuah jaringan internasional.

Moral yang rendah ini ditunjukkan oleh koran Israel, The Marker, yang pernah memuat opini seorang pengacara Israel tentang bisnis ini. "Organ hanya sekedar komoditi, maka bisa dibeli dan dijual di pasar terbuka sebagaimana komoditi lainnya," tulis opini tersebut.

Namun moral yang rendah tersebut ternyata telah mendapat justifikasi agama karena kitab Talmud membolehkan praktik-praktik tersebut. Seorang rabbi terkemuka Israel, Yitzhak Ginzburg, dalam kotbahnya pernah mengatakan, "seorang yahudi berhak mengambil jantung goyim (binatang ternak, maksudnya non yahudi) jika memerlukannya. Karena kehidupan seorang yahudi jauh lebih berharga daripada kehidupan goyim sebagaimana hidup seorang goyim lebih berharga dibandingkan kehidupan binatang."

Perbedaan antara organ yang dibeli atau dirampas tidak banyak berarti dalam hal ini. Jika organ manusia hanyalah komoditi, maka tentu boleh saja mengambilnya dari orang-orang Palestina, sama seperti bolehnya merampas rumah dan pohon olive berusia ratusan tahun ataupun pohon citrus milik orang-orang Palestina.

Provokasi sebagaimana ditutuhkan menlu Swedia Carl Bildt adalah mudah, namun tidak mudah bagi moron (lebih bodoh dari idiot) seperti Carl Bildt, untuk melihat bahwa Israel, yang tidak segan-segan meremukkan tulang tangan dan kaki orang Palestina, menumpahkan bom napalm di taman kanak-kanak Palestina, atau menembaki binatang di dalam kerangkeng kebun binatang Kota Gaza, merampas organ dalam pemuda-pemuda Palestina untuk sekeping uang. Tuntutan Aftonbladet untuk diadakannya penyidikan internasional sangatlah beralasan: jika Israel tidak merasa bersalah dengan membunuhi ribuan orang Palestina, mereka semestinya tidak merasa takut menghadapi penyidikan internasional. Namun kenyataannya Israel bahkan menolak mengijinkan tim penyidik internasional untuk melakukan penyidikan atas Tragedi Jenin tahun 2002 dan Gaza (2009) dimana ribuan rakyat Palestina dibunuh secara keji oleh Israel.

Yang ditakuti Israel sebenarnya adalah munculnya kesadaran massal masyarakat dunia untuk menghentikan dominasi yahudi. Orang-orang yahudi menguasai sebagian besar media massa besar di dunia bukan untuk kesenangan maupun profit semata, namun untuk mempengaruhi opini publik. Ini juga terjadi di Swedia (dan jangan naif dengan berfikir mereka tidak melakukannya di Indonesia) dimana mereka menguasai jaringan surat kabar, majalah, penerbitan, bahkan industri film. Media massa ini secara aktif mempromosikan agenda-agenda yahudi: persamaan ras (untuk membuat ras-ras lain lemah), neo liberalisme, komodifikasi, imigrasi, menghancurkan kemakmuran negara demi kekayaan orang-orang yahudi.

Israel dan Yahudi bekerja keras agar semua berita mengenai konflik timur tengah berada dalam kontrol mereka. Beberapa tahun lalu koran independen Swedia, Ordfront, membuat laporan yang mengejutkan publik Swedia yang tidak pernah berfikir orang-orang Yahudi mengontrol media massa mereka dan selama bergenerasi-generasi membentuk pola pikir mereka. Ordfront, melaporkan bagaiman para pejabat Israel mendatangi beberapa kantor surat kabar di Swedia, bertemu dengan para editor dan wartawan menginstruksikan ini dan itu.

Kegagalan Israel dan yahudi menghentikan publikasi praktik perdagangan ilegal organ manusia yang didahului dengan panangkapan para rabbi Amerika, penghargaan kepada Mary Robinson, Desmond Tutu, dan Felicia Langer (tokoh-tokoh yang dituduh anti-semit), munculnya partai anti zionisme di Perancis, serta fenomena runtuhnya partai-partai sosialis pro yahudi di Eropa merupakan tanda-tanda perubahan. Rakyat Swedia, Perancis, Jerman, dan bahkan Amerika tidak lagi takut pada pengaruh yahudi. Bahkan Presiden Amerika Barack Obama berani membuka kontak diplomatik dengan musuh Israel, Iran, serta konsisten menuntut Israel menghentikan pembangunan pemukiman di Tepi Barat.

Transplantasi organ manusia merupakan kejahatan yang sangat keji, mendekati kanibalisme. Kejahtan ini harus dihentikan karena tubuh manusia adalah suci. Tidak ada artinya hidup lebih lama dengan organ yang dirampas dari orang lain dengan biaya yang mahal, sementara biayanya bisa digunakan untuk mengurangi kelaparan dan kemiskinan.


Inilah laporan yang dibuat Donald Bostrom yang dimuat di koran besar Swedia, Aftonbladet, baru-baru ini.


Our sons plundered for their organs
By Donald Boström

You could call me a “matchmaker,” said Levy Yitzhak Rosenbaum, from Brooklyn, USA, in a secret recording with an FBI-agent whom he believed to be a client. Ten days later, at the end of July this year, Rosenbaum was arrested and a vast, Sopranos-like, imbroglio of money-laundering and illegal organ-trade was revealed. Rosenbaum’s matchmaking had nothing to do with romance. It was all about buying and selling kidneys from Israel on the black market. Rosenbaum says that he buys the kidneys for 10,000 dollars, from poor people. He then proceeds to sell the organs to desperate patients in the States for 160,000 dollars. The accusations have shaken the American transplantation business. If they are true it means that organ trafficking is documented for the first time in the US, experts tell the New Jersey Real-Time News.

On the question of how many organs he has sold Rosenbaum replies: “Quite a lot. And I have never failed,” he boasts. The business has been running for quite some time. Francis Delmonici, professor of transplant surgery at Harvard and member of the National Kidney Foundation’s Board of Directors, tells the same newspaper that organ-trafficking, similar to the one reported from Israel, is carried out in other places of the world as well. 5-6,000 operations a year, about ten per cent of the world’s kidney transplants are carried out illegally, according to Delmonici.

Countries suspected of these activities are Pakistan, the Philippines and China, where the organs are allegedly taken from executed prisoners. But Palestinians also harbor strong suspicions against Israel for seizing young men and having them serve as the country’s organ reserve - a very serious accusation, with enough question marks to motivate the International Court of Justice (ICJ) to start an investigation about possible war crimes.

Israel has repeatedly been under fire for its unethical ways of dealing with organs and transplants. France was among the countries that ceased organ collaboration with Israel in the nineties. Jerusalem Post wrote that “the rest of the European countries are expected to follow France’s example shortly.”

Half of the kidneys transplanted to Israelis since the beginning of the 2000s have been bought illegally from Turkey, Eastern Europe or Latin America. Israeli health authorities have full knowledge of this business but do nothing to stop it. At a conference in 2003 it was shown that Israel is the only western country with a medical profession that doesn’t condemn the illegal organ trade. The country takes no legal measures against doctors participating in the illegal business - on the contrary, chief medical officers of Israel’s big hospitals are involved in most of the illegal transplants, according to Dagens Nyheter (December 5, 2003).

In the summer of 1992, Ehud Olmert, then minister of health, tried to address the issue of organ shortage by launching a big campaign aimed at having the Israeli public register for postmortal organ donation. Half a million pamphlets were spread in local newspapers. Ehud Olmert himself was the first person to sign up. A couple of weeks later the Jerusalem Post reported that the campaign was a success. No fewer than 35,000 people had signed up. Prior to the campaign it would have been 500 in a normal month. In the same article, however, Judy Siegel, the reporter, wrote that the gap between supply and demand was still large. 500 people were in line for a kidney transplant, but only 124 transplants could be performed. Of 45 people in need of a new liver, only three could be operated on in Israel.

While the campaign was running, young Palestinian men started to disappear from villages in the West Bank and Gaza. After five days Israeli soldiers would bring them back dead, with their bodies ripped open.

Talk of the bodies terrified the population of the occupied territories. There were rumors of a dramatic increase of young men disappearing, with ensuing nightly funerals of autopsied bodies.

I was in the area at the time, working on a book. On several occasions I was approached by UN staff concerned about the developments. The persons contacting me said that organ theft definitely occurred but that they were prevented from doing anything about it. On an assignment from a broadcasting network I then travelled around interviewing a great number of Palestinian families in the West Bank and Gaza - meeting parents who told of how their sons had been deprived of organs before being killed. One example that I encountered on this eerie trip was the young stone-thrower Bilal Ahmed Ghanan.

It was close to midnight when the motor roar from an Israeli military column sounded from the outskirts of Imatin, a small village in the northern parts of the West Bank. The two thousand inhabitants were awake. They were still, waiting, like silent shadows in the dark, some lying upon roofs, others hiding behind curtains, walls, or trees that provided protection during the curfew but still offered a full view toward what would become the grave for the first martyr of the village. The military had interrupted the electricity and the area was now a closed-off military zone - not even a cat could move outdoors without risking its life. The overpowering silence of the dark night was only interrupted by quiet sobbing. I don’t remember if our shivering was due to the cold or to the tension. Five days earlier, on May 13, 1992, an Israeli special force had used the village’s carpentry workshop for an ambush. The person they were assigned to put out of action was Bilal Ahmed Ghanan, one of the stone-throwing Palestinian youngsters who made life difficult for the Israeli soldiers.

As one of the leading stone-throwers Bilal Ghanan had been wanted by the military for a couple of years. Together with other stone-throwing boys he hid in the Nablus mountains, with no roof over his head. Getting caught meant torture and death for these boys - they had to stay in the mountains at all costs.

On May 13 Bilal made an exception, when for some reason, he walked unprotected by the carpentry workshop. Not even Talal, his older brother, knows why he took this risk. Maybe the boys were out of food and needed to restock.

Everything went according to plan for the Israeli special force. The soldiers stubbed their cigarettes, put away their cans of Coca-Cola, and calmly aimed through the broken window. When Bilal was close enough they needed only to pull the triggers. The first shot hit him in the chest. According to villagers who witnessed the incident he was subsequently shot with one bullet in each leg. Two soldiers then ran down from the carpentry workshop and shot Bilal once in the stomach. Finally, they grabbed him by his feet and dragged him up the twenty stone steps of the workshop stair. Villagers say that people from both the UN and the Red Crescent were close by, heard the discharge and came to look for wounded people in need of care. Some arguing took place as to who should take care of the victim. Discussions ended with Israeli soldiers loading the badly wounded Bilal in a jeep and driving him to the outskirts of the village, where a military helicopter waited. The boy was flown to a destination unknown to his family. Five days later he came back, dead and wrapped in green hospital fabric.

A villager recognized Captain Yahya, the leader of the military column who had transported Bilal from the postmortem center Abu Kabir, outside of Tel Aviv, to the place for his final rest. “Captain Yahya is the worst of them all,” the villager whispered in my ear. After Yahya had unloaded the body and changed the green fabric for a light cotton one, some male relatives of the victim were chosen by the soldiers to do the job of digging and mixing cement.

Together with the sharp noises from the shovels we could hear laughter from the soldiers who, as they waited to go home, exchanged some jokes. As Bilal was put in the grave his chest was uncovered. Suddenly it became clear to the few people present just what kind of abuse the boy had been exposed to. Bilal was not by far the first young Palestinian to be buried with a slit from his abdomen up to his chin.

The families in the West Bank and in Gaza felt that they knew exactly what had happened: “Our sons are used as involuntary organ donors,” relatives of Khaled from Nablus told me, as did the mother of Raed from Jenin and the uncles of Mahmud and Nafes from Gaza, who had all disappeared for a number of days only to return at night, dead and autopsied.

- Why are they keeping the bodies for up to five days before they let us bury them? What happened to the bodies during that time? Why are they performing autopsy, against our will, when the cause of death is obvious? Why are the bodies returned at night? Why is it done with a military escort? Why is the area closed off during the funeral? Why is the electricity interrupted? Nafes’s uncle was upset and he had a lot of questions.

The relatives of the dead Palestinians no longer harbored any doubts as to the reasons for the killings, but the spokesperson for the Israeli army claimed that the allegations of organ theft were lies. All the Palestinian victims go through autopsy on a routine basis, he said. Bilal Ahmed Ghanem was one of 133 Palestinians killed in various ways that year. According to the Palestinian statistics the causes of death were: shot in the street, explosion, tear gas, deliberately run over, hanged in prison, shot in school, killed at home et cetera. The 133 people killed were between four months to 88 years old. Only half of them, 69 victims, went through postmortem examination. The routine autopsy of killed Palestinians - of which the army spokesperson was talking - has no bearing on the reality in the occupied territories. The questions remain.

We know that Israel has a great need for organs, that there is a vast and illegal trade of organs which has been running for many years now, that the authorities are aware of it and that doctors in managing positions at the big hospitals participate, as well as civil servants at various levels. We also know that young Palestinian men disappeared, that they were brought back after five days, at night, under tremendous secrecy, stitched back together after having been cut from abdomen to chin.

It’s time to bring clarity to this macabre business, to shed light on what is going on and what has taken place in the territories occupied by Israel since the Intifada began.

Donald Boström

Sunday 23 August 2009

Jangan Sepelekan Takhayul


Pada suatu pagi, tgl 21 April 1918, Baron von Richthofen, penerbang legendaris Jerman yang memegang rekor sebagai "ace" (penerbang hebat yang telah menembak jatuh banyak pesawat musuh) dengan korban 80 pesawat musuh, berjalan menuju pesawatnya. Saat tiba di pesawatnya, pesawat khusus pemberian pembuat pesawat terbang legendaris Anthony Fokker, anjing kesayangannya melompat ke atas sayap pesawat. Richthofen tersenyum dan memeluk anjing kesayangannya tersebut.

Sorang mekanik menyapa sopan kepadanya, meminta ijin untuk memfoto Richthofen dengan anjingnya. "Mohon ma'af tuan. Bolehkan saya mengambil foto Tuan dengan anjing tuan di samping pesawat? Saya sangat bangga jika bisa memiliki foto seperti itu."

Seorang mekanik lainnya berteriak: "Jangan tuan. Anda tidak boleh berfoto. Itu akan membawa sial!", katanya. Bukan tanpa alasan mekanik ini memberi peringatan. Ia masih ingat betul kejadian yang belum lama berselang. Rekan Richthofen, Oswald Boelcke, yang juga seorang "ace" terkenal dalam Perang Dunia I, tertembak jatuh dalam misinya setelah sebelumnya berfoto di samping pesawatnya.

Sang Baron Merah, julukan yang diberikan kepadanya karena pesawat khususnya yang berwarna merah, tersenyum. "Ah itu hanya takhayul," katanya sembari memberi isyarat kesediaan untuk difoto.

Dan benar kekhawatiran sang mekanik. Sang Baron Merah tertembak jatuh dan meninggal hari itu juga.

Beberapa waktu sebelum presiden Soeharto jatuh dari kursi kekuasaan ada dua kejadian aneh yang bisa disebut takhayul. Pertama adalah peristiwa penandatanganan MOU pemerintah Indonesia dengan IMF yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto dan eksekutif IMF Camdessus. Pada saat Soeharto menunduk untuk menandatangani naskah MOU, Camdessus tiba-tiba saja melipat tangannya di atas dada, layaknya seorang tuan di hadapan pembantunya. Saat itu sebagian besar pemirsa peristiwa bersejarah itu tersentak melihat pemandangan yang sangat aneh seperti itu, Soeharto tampak seperti pembantu.

Adapun peristiwa kedua yang sebenarnya terjadi lebih awal, adalah lepasnya palu yang digunakan oleh ketua MPR Harmoko untuk mengesahkan kepemimpinan Soeharto.

Dan beberapa jam setelah kejadian "Bom JW Marriot II", saya kembali menemukan kejanggalan yang menimbulkan intepretasi tertentu yang bisa dikatakan sebagai takhayul. Entah dengan maksud apa, Presiden SBY tiba-tiba saja mengaitkan peristiwa pemboman dengan hasil pemilu. Selanjutnya SBY bahkan menuding seseorang, meski hanya tersirat, sebagai dalang peristiwa itu.

Peristiwa kedua yang juga dilakukan SBY adalah pidato kemenangannya setelah dinyatakan KPU sebagai pemenang pemilu 2009. Meski konstituennya adalah rakyat Indonesia, entah mengapa SBY memilih mengucapkan pidatonya dalam bahasa Inggris.

Saya melihat peristiwa Bom JW Marriot II dan pidato presiden tentang peristiwa tersebut serta pidato kemenangan presiden SBY dalam bahasa Inggris adalah sebagai bentuk isyarat dari alam bawah sadar bahwa kondisi Indonesia akan semakin memburuk di waktu mendatang. Semua itu mengisyaratkan di masa mendatang pemerintah akan lebih banyak menjalankan agenda asing ketimbang membela kepentingan nasional.

Tanda-tanda itu sudah mulai nampak dari pernyataan Polri untuk mengawasi para ustadz pemberi ceramah khotbah. Tidak lama lagi mungkin akan ada pembubaran beberapa ormas Islam yang dianggap radikal dan penangkapan beberapa tokoh "oposisi". Di sisi lain penguasaan asing atas aset-aset strategis nasional semakin besar, hutang pemerintah yang semakin menumpuk, serta kenaikan harga BBM yang mencekik leher.

Semoga kekhawatiran saya ini salah. Namun jangan pernah menyepelekan takhayul meski juga jangan terlalu percaya kepadanya.

ISU TERORISME, OMONG KOSONG TERBESAR



Keterangan gambar: Gedung WTC 7 yang tengah runtuh dengan sendirinya meski tidak terkena apapun dalam tragedi serangan WTC 11 September 2001

Pada tgl 11 September 2001 lalu dunia menyaksikan salah satu peristiwa paling menggemparkan dalam sejarah, yaitu tragedi World Trade Center yang menewaskan ribuan orang. Tidak saja karena skala tragedi yang terjadi, namun juga karena liputan media yang begitu gamblang dan disiarkan secara langsung ke seluruh dunia yang membuat peristiwa ini sangat dramatis.

Dan sejak saat itulah dunia mengalami perubahan yang sangat drastis. Semangat perdamaian yang diharapkan dapat terwujud menyusul berakhirnya perang dingin antara Amerika dan Uni Sovyet, hilang dalam sekejap dan digantikan dengan semangat berperang melawan terorisme yang ditandai dengan aksi penyerbuan Amerika dan sekutu-sekutunya ke Afghanistan dan Irak.

Kini dalam persepeksi politik global tidak ada isu lain yang lebih intens dibicarakan selain perang melawan terorisme yang dipicu oleh Tragedi WTC. Dan Indonesia adalah salah satu negara yang terseret dalam arus pemikiran itu, nyaris tanpa reserve sedikit pun. Ketika India menolak bantuan asing dalam penanganan serangan terosisme Mumbai, Indonesia tidak berdaya menerima "bantuan" atau lebih tepatnya indoktrinasi asing dalam penanganan terorisme di tanah air. Tanpa risih sedikit pun pemerintah menerima perintah Amerika untuk "menangkap" Ustadz Abu Bakar Ba'asyir, dua kali bahkan. Dan tanpa malu pemerintah menerima instruksi membentuk unit penanganan anti terorisme yang diberi nama Densus 88, merujuk jumlah korban serangan bom bali asal Australia.

Bahkan ketika telah terkuak bahwa isu terorisme adalah kebohongan besar, berdasarkan fakta-fakta yang akan saya sebutkan, pemerintah dengan corong media massa pro-status quo justru semakin bersemangat mencari dan mengejar-ngejar teroris yang tidak lain adalah agen binaan inteligen asing.

KEBOHONGAN TRAGEDI WTC

Tidak ada kebohongan sebesar tragedi WTC. Semua unsur maupun urut-urutan peristiwanya adalah kebohongan besar.

Saya ingin menyampaikan peristiwa ini menurut versi resmi pemerintah Amerika. Sekelompok teroris yang baru lulus kursus menerbangkan pesawat ringan dan bersenjata pisau cutter menerobos sistem keamanan bandara paling canggih di Amerika. Mereka berpencar dalam beberapa pesawat sasaran dan setelah pesawat-pesawat itu terbang, mereka pun membajaknya.

Selama puluhan menit para pembajak beraksi di udara, dengan senjata pisau cutter, tanpa banyak perlawanan dari ratusan penumpang dan petugas keamanan pesawat yang bersenjata api. Kemudian dengan keahlian sangat tinggi para pilot pembajak yang baru lulus kursus itu melakukan manufer yang sangat mustahil dilakukan para pilot profesional sekalipun, untuk menabrakkan pesawatnya ke sasaran: dua pesawat menabrak menara kembar WTC, satu pesawat menabrak gedung Pentagon, dan satu pesawat jatuh sebelum mencapai sasaran.

Selama drama pembajakan yang berlangsung selama puluhan menit itu sistem pertahanan udara Amerika yang sangat canggih itu lumpuh total hingga gedung Pentagon sekalipun dengan mudah dihantam pesawat yang dikemudikan pembajak.

Selanjutnya terjadi keanehan-keanehan yang lebih besar:

1. Gedung WTC yang dirancang tahan terhadap goncangan gempa bumi dahsyat, termasuk tahan terhadap tabrakan dengan dua atau tiga pesawat jet sekaligus, runtuh dalam hitungan menit setelah ditabrak, dengan cara jatuh yang juga aneh: jatuh bebas seperti bola jatuh dari udara. Cara runtuh seperti ini hanya terjadi pada kasus peledakan yang disengaja untuk meruntuhkan suatu gedung tinggi. Lagipula tidak pernah ada kejadian dimana sebuah gedung pencakar langit runtuh karena kebakaran. Banyak kejadian gedung pencakar langit yang terbakar lebih hebat selama belasan jam, namun tetap kokoh berdiri.

2. Gedung pentagon ditabrak oleh pesawat jet komersial pada salah satu sisinya hingga runtuh. Namun keanehan-keanehan tidak kalah besar terjadi di sini, karena tidak ditemukan reruntuhan pesawat sebagaimana kecelakaan pesawat terbang lainnya. Lubang yang terjadi karena tabrakan di gedung pentagon juga tidak cocok dengan ukuran pesawat yang menabraknya, yaitu hanya selebar 5 meter sementara bentang pesawat yang menabrak mencapai puluhan meter. Rekaman CCTV yang merekam detik-detik terjadinya tabrakan juga sama sekali tidak menunjukkan adanya pesawat terbang komersial ukuran besar. (Catatan: Blogger telah melihat rekaman itu. Yang tampak hanya kelebatan benda berwarna putih berukuran kecil. Banyak analis yang memperkirakan benda itu adalah rudal jelajah, dan secara visual sama sekali bukan pesawat jet komersial).

3. Gedung 7 WTC berlantai 47 yang terletak beberapa ratus meter dari menara kembar WTC, dan di antara keduanya terdapat beberapa gedung lain, runtuh dengan sendirinya mesti tidak terkena dampak fisik apapun dari menara kembar WTC.

Selain itu masih terdapat segudang keanehan lain yang tidak bisa tidak menguatkan bukti bahwa serangan WTC tgl 11 September 2001 adalah sebuah "inside job", kejadian yang sengaja dibuat. Sebut saja misalnya hanya ada satu orang yahudi yang menjadi korban di antara 3000 korban. Padahal 50% lebih orang yang bekerja di WTC adalah yahudi dan WTC adalah markas besar orang yahudi di kota paling padat penduduk keturunan yahudi di seluruh dunia di luar Israel. Keanehan lainnya misal ditangkapnya beberapa mahasiswa Israel (kemudian diketahui sebagai agen Mossad setelah secara misterius kembali ke Israel) setelah merekam peristiwa tersebut.

Dan masih banyak bukti-bukti lain yang menunjukkan adanya sebuah "inside job", seperti keterangan banyak saksi yang mengakui mendengar ledakan-ledakan bom sebelum gedung menara kembar WTC runtuh. Bagaimana dengan CNN yang secara ajaib dapat melakukan siaran langsung tragedi WTC? Padahal untuk persiapan normal suatu siaran langsung membutuhkan waktu berjam-jam.

Jika saja pemerintah Amerika mau membentuk komisi independen untuk menyidiki tragedi itu, kemungkinan dapat terbongkar siapa pelaku sebenarnya dari tragedi WTC. Sayangnya pemerintah Amerika menolak hal ini.


TIPUAN AL QAEDA

Hanya beberapa menit setelah terjadinya tragedi WTC, media massa Amerika gencar menuduh organisasi Al Qaida pimpinan Osama bin Laden sebagai pelaku aksi terorisme tersebut. Tuduhan tersebut kemudian diformilkan oleh Presiden George W Bush.

Al Qaida tidak membantah, meski juga tidak mengakui secara terus terang sebagai pelaku serangan terhadap WTC. Padahal kalau memang mereka melakukannya, tentunya dengan motif politik tertentu, mereka akan mengakuinya secara terus terang. Hal ini tentu menimbulkan kebingungan, apakah mereka pelakunya atau bukan. Hal mana akan terjawab dalam analisis selanjutnya.

Al Qaida adalah organisasi bentukan dinas inteligen Amerika yang didirikan untuk melawan kepentingan Uni Sovyet di Afghanistan. Organisasi ini dipimpin oleh Osama bin Laden, agen Amerika yang merupakan anggota keluarga kerajaan Arab Saudi yang terlibat dalam banyak kegiatan bisnis di Amerika. Keluarga bin Laden bahkan menjalin hubungan dekat dengan keluarga Bush yang dua orang di antaranya menjadi presiden Amerika.

Beberapa bukti menunjukkan bahwa keluarga kerajaan Arab Saudi, sekutu kuat Amerika di Timur Tengah, terlibat dalam pendanaan Al Qaida. Berikut ini adalah bukti-bukti yang menunjukkan kaitan antara Al Qaida, kerajaan Arab Saudi dan pemerintah Amerika sebagaimana ditulis dalam blog berita alternatif 29 Juli lalu:

-------
Jul 29, 2009
Keluarga Kerajaan Saudi terlibat dalam mendanai Al-Qaeda

Pemerintah Barack Obama menggantikan pemerintah Bush dalam upaya menghalangi para anggota keluarga korban peristiwa 9/11 untuk mengungkap keterlibatan elit-elit keluarga Kerajaan Arab Saudi dalam memfasilitasi Al-Qaeda, baik secara finansial maupun strategis. Hal ini terjadi dalam sebuah persidangan yang memeroses kasus yang diajukan para keluarga korban 9/11 melawan keluarga kerajaan Saudi.

Seperti dilaporkan dalam artikel the New York Times edisi 24 Juni 2009, dokumen-dokumen resmi pemerintah AS, baik itu yang dibocorkan kepada para pengacara keluarga korban 9/11 maupun yang diperoleh melalui Freedom of Information Act (FOIA; di Indonesia: UU Kebebasan Informasi Publik) mengungkapkan beberapa hal, antara lain:

Dokumen internal Depkeu AS yang diperoleh para pengacara keluarga korban 9/11 melalui FOIA menyatakan bahwa lembaga amal terkemuka Saudi, International Islamic Relief Organization, yang sangat didukung oleh anggota-anggota keluarga kerajaan Saudi, memberi "dukungan bagi organisasi teroris" setidaknya hingga tahun 2006.

Seorang operator Al-Qaeda di Bosnia mengatakan dalam sebuah wawancara dengan para pengacara itu, bahwa lembaga amal lain yang sebagian besar dikendalikan anggota keluarga kerajaan, yakni Komisi Tinggi Saudi untuk Bantuan ke Bosnia, menyediakan uang dan perlengkapan kepada kelompok-kelompok teroris pada tahun 1990-an dan menyewa operator-operator militan seperti dirinya.

Saksi lain di Afghanistan mengatakan dalam sebuah pernyataan tersumpah pada tahun 1998, bahwa ia menyaksikan seorang utusan untuk seorang pangeran terkemuka Saudi, Turki al-Faisal (Kepala Dinas Intelijen Saudi--Mukhabarat), menyerahkan cek senilai satu miliar Saudi riyal (atau bernilai sekitar 267 juta dollar) kepada seorang pemimpin Taliban.

Sebuah laporan rahasia intelijen Jerman memberikan keterangan mendetail mengenai puluhan juta dolar dalam beberapa dokumen transfer bank, lengkap dengan tanggal dan jumlah dolarnya, yang dilakukan pada awal tahun 1990-an oleh Pangeran Salman bin Abdul Aziz dan anggota lain dari keluarga kerajaan Saudi kepada lembaga-lembaga amal lain yang diduga membiayai kegiatan militan di Pakistan dan Bosnia.

Pengadilan federal AS berikut pengadilan tingkat bandingnya untuk kesekian kalinya telah mementahkan kasus yang diajukan oleh 7.630 orang dari anggota keluarga korban 9/11 ini. Alasannya, para keluarga korban itu tidak dapat mengajukan sebuah kasus di Amerika Serikat melawan sebuah negara yang berdaulat dan para pemimpin.

Mahkamah Agung AS diharapkan dapat memutuskan apakah akan memeroses kasasi atau tidak. Namun, prospek para keluarga korban pun redup setelah Departemen Kehakiman AS berpihak kepada keluarga kerajaan Saudi dengan klaim kekebalan negara (sovereign immunity; baca: the kings can do no wrong) dan mendesak Mahkamah untuk tidak mempertimbangkan kasasi. Departemen Kehakiman juga memerintahkan para pengacara untuk menghancurkan salinan dari dokumen-dokumen tersebut, dan bahkan meminta seorang hakim untuk tidak melihat dokumen-dokumen tersebut.


-------

Tipuan Al Qaida semakin kentara setelah juru bicara organisasi tersebut yang bernama Adam Yahiya Gadahn atau dikenal sebagai "Azzam the American", ternyata adalah seorang yahudi. Bukan orang yahudi jelata kebanyakan, ia adalah cucu dari seorang aktivis gerakan Anti Defamation League (ADL), LSM yahudi paling kuat dan agresif di Amerika. Padahal selama ini Adam paling sering mengutuki yahudi dan Amerika.

Apa yang dilakukan oleh Adam adalah sama dengan yang dilakukan Frank Collins, yahudi yang menyamar sebagai aktifis Neo-Nazi Amerika untuk menimbulkan paraoia neo nazi, sehingga yahudi terus-menerus mendapat simpati dan keistimewaan. Berikut adalah berita tentang Adam dari situs CNN.


=============
In a new anti-Israel, anti-U.S. video, an American al Qaeda member makes reference to his Jewish ancestry for the first time in an official al-Qaeda message.

In the video, Adam Yahiye Gadahn, also known as Azzam the American, discusses his roots as he castigates U.S. policies and deplores Israel's offensive in Gaza that started in late December 2008 and continued into January. [This is an obvious device aimed at associating sympathy for the besieged Palestinians with the evil ‘Al-Qaeda,’ perpetrators of the heinous 9/11 attacks, in the bemused mind of the average American -- 800]

"Let me here tell you something about myself and my biography, in which there is a benefit and a lesson," Gadahn says, as he elicits support from his fellow Muslims for "our weapons, funds and Jihad against the Jews and their allies everywhere."

"Your speaker has Jews in his ancestry, the last of whom was his grandfather," he says.

Growing up in rural California, Gadahn embraced Islam in the mid-1990s, moved to Pakistan and has appeared in al Qaeda videos before.

He was indicted in the United States in 2006 on charges of treason and material support to al-Qaeda, according to the FBI. Gadahn is on the FBI's Most Wanted List, with a reward of up to $1 million leading to his capture. FBI records show Gadahn's date of birth as September 1, 1978.

The video -- in which Gadahn speaks Arabic, with English subtitles -- surfaced on Saturday. This account is based on an English transcript provided by As-Sahab Media, the media production company used by al Qaeda.

Gadahn's Jewish ancestry has been reported in the news media. But terrorism analyst Laura Mansfield says it is the first time Gadahn acknowledged his Jewish ancestry in an official al Qaeda message.

Gadahn says his grandfather was a "Zionist" and "a zealous supporter of the usurper entity, and a prominent member of a number of Zionist hate organizations."

"He used to repeat to me what he claimed are the virtues of this entity and encouraged me to visit it, specifically the city of Tel Aviv, where relatives of ours live," says Gadahn, referring to Israel.

He says his grandfather gave him a book by Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu called "A Place Among the Nations" -- in which the "rabid Zionist" sets out "feeble arguments and unmasked lies to justify the Jews' rape of Muslim Palestine."

But Gadahn says that despite his youth at the time, he didn't heed his grandfather's words.

"How can a person with an ounce of self-respect possibly stand in the ranks of criminals and killers who have no morals, no mercy, no humanity and indeed, no honor?" he says in reference to Zionists and Israel.

"Isn't it shameful enough for a person to carry the citizenship of America, the symbol of oppression and tyranny and advocate of terror in the world?"

Mansfield thinks the video may have been made between late April and mid-May, before President Obama's speech in Cairo, Egypt, addressing U.S. relations with Muslims.

Gadahn notes Obama’s inauguration, Netanyahu's election in February, and Obama's speech in Turkey in April.

Specifically mentioning the Gaza offensive and citing other hot spots such as Iraq, Afghanistan, Chechnya and Somalia, where the "Zio-Crusader alliance" is fighting his "brothers," he says "this open-faced aggression" comes as Obama has risen to power. [By stressing the notion of a ‘Zio-Crusader alliance,’ Gadahn -- in actuality a Mossad operative -- is simply trying to make Al-Qaeda appear as a common enemy to both Christians and Jews, thus cementing the unholy alliance between badly misled ‘Christian Zionists’ and Israel -- 800]

He scorns Obama's statements in his inaugural address and in Turkey that America isn't and won't be at war with Islam, and "other deceptive, false and sugarcoated words of endearment and respect." He says Obama's language is similar to words Netanyahu uttered in the Knesset in 1996.

Gadahn also backs the idea of targeting "Zio-Crusader" interests anywhere in the world, not just "within Palestine."



==============

Dan berikut adalah strategi Amerika memanfaatkan Al Qaida dan kelompok-kelompok ekstremis Islam untuk kepentingan geopolitik Amerika.


Paul Joseph Watson
Prison Planet.com
Thursday, July 2, 2009

Recent revelations concerning the U.S. importing Taliban members into Iraq to foster false flag terrorism is merely the tip of the iceberg when compared to the U.S. intelligence complex’s multi-decade history in sponsoring Sunni Al-Qaeda affiliated terrorist groups around the world.

Wayne Madsen recently revealed how Taliban fighters were being imported from Afghanistan into Iraq to attack civilians and U.S. soldiers, as well as how Muqtada al-Sadr’s al-Mahdi Army was being allowed to import materials to make IEDs.

However, this is just one aspect of how the U.S. has used terrorist groups as pawns on the global chessboard, moving them around the globe in line with their geopolitical objectives.

As is voluminously documented, the U.S. first worked covertly with Osama Bin Laden and Al-Qaeda to fight the Soviets in Afghanistan from 1979-1989.

Following this, the Al-Qaeda pawns were moved on to Bosnia shortly after the outbreak of war in 1992 to fight against Bosnian Serbs who were subsequently the target of NATO air strikes.

Following the end of the war, “hundreds of Bosnian passports were provided to the mujahedeen by the Muslim-controlled government in Sarajevo,” according to Lenard Cohen, professor of political science at Simon Fraser University. This all happened with the approval of the United Nations and the United States, who had brokered the peace deal to end the war.

“They also set up secret terrorist training camps in Bosnia — activities financed by the sale of opium produced in Afghanistan and secretly shipped through Turkey and Kosovo into central Europe,” reports the National Post.

Shortly before the NATO bombing of Yugoslavia in 1999, the Sunni terrorist groups moved into Kosovo, Serbia’s southern province, to aid the Kosovo Liberation Army, the Albanian terrorist faction that was being supported by the U.S. and NATO in its terror campaign against Serbs in the region.

“The United States, which had originally trained the Afghan Arabs during the war in Afghanistan, supported them in Bosnia and then in Kosovo,” reports the Post.

With the help of Bin Laden’s terror network, backed up by the U.S. and NATO, no less than 90% of Serbians were “ethnically cleansed” and forced to leave the region, while the international media played its role dutifully in portraying the Albanians as the “victims” of Serbian aggression.

As Professor Michel Chossudovsky writes, “The fact of the matter is that the Atlantic Alliance had been supporting a terrorist organization. The KLA was not supporting the rights of ethnic Albanians. Quite the opposite. The activities of this terrorist organization on the ground, in Kosovo, provided NATO and the US with the pretext to intervene on humanitarian grounds, claiming that the Serb authorities had committed human rights violations against ethnic Albanians, when in fact the NATO sponsored KLA was involved in terrorist acts on behalf of NATO, which triggered a response from the Serb police and military.”

Barely weeks before 9/11, former members of Al-Qaeda who had subsequently joined the Kosovo Liberation Army were airlifted out of Macedonia by U.S. paratroopers.

As German sources reported, “Samedin Xhezairi, also known as Commander Hoxha, joined the Kosovo Liberation Army when armed conflict in Kosovo began, fighting in three operation zones. He was a fighter in Chechnya, trained in Afghanistan and acted as the commander of the Mujahideen 112th Brigade operating in the summer of 2001 in the region of Tetovo [Macedonia]. In August of the same year 80 members of the 3/502 battalion of U.S. paratroopers evacuated him from Aracinovo [Macedonia], together with his Albanian extremists and 17 instructors of the U.S. private military company MPRI which was training the Albanian paramilitary formations.”

“In other words, the US military was collaborating with Al Qaeda, which according to the Bush administration was involved in the attacks on the WTC and the Pentagon. Yet, the US military was working hand in glove with “enemy number one” barely a few weeks before 9/11, and we are led to believe that the Bush administration is committed to waging a battle against Al Qaeda,” wrote Chossudovsky.

Following the invasion of Afghanistan, MSNBC reported that in November 2001, hundreds of Taliban and Al-Qaeda fighters were rescued from Kunduz and flown out on Pakistani air force cargo planes. This could not have possibly happened without the approval of U.S. forces who had secured the region.

With the U.S. now attacking targets in Pakistan under the pretext of going after the Taliban, the lineage of how this situation developed, with the U.S. moving their pawns around the globe at the most opportune times, can be clearly traced.

All the more revealing therefore were the comments of Qari Zainuddin, a former Taliban leader who defected to the Pakistani government, alleging that the Taliban were senselessly attacking civilian targets and that they were working with U.S. and Israeli intelligence. A few days after he dropped this bombshell, Zainuddin was shot dead.

Meanwhile, in Iran, A senior member of the Jundullah terrorist group confessed in an Iranian court case to being trained and financed by the U.S. and Israel.

Jundullah is a Sunni Al-Qaeda offshoot organization that was formerly headed by alleged 9/11 mastermind Khalid Sheikh Mohammed.

Under the 2007 program aimed at destabilizing Iran and fomenting regime change, the U.S. government is arming and bankrolling Jundullah to carry out terrorist attacks in Iran, such as the May bombing of a mosque in Sistan-Baluchestan which killed 25 people.

In addition, the fingerprints of another U.S. sponsored terror group, Mujahedin Khalq Organization (MKO), which was formerly allied with Saddam Hussein in Iraq, have been found in the recent election unrest in Iran. In addition to supporting terror groups from Iraq, the Anglo-American establishment has also staged terror attacks, such as the February 2006 Samarra mosque bombing.

And if there aren’t enough terrorists in supply, why not just dress up and pretend to be them? That’s what two British SAS members did when they were caught dressed in Arab garb with fake beards, driving a car full of explosives while shooting at Iraqi police officers in Basra in September 2005.

After the SAS men were caught in the act and taken to jail, U.S. and British forces launched a rescue operation, blowing up half the prison and allowing 150 inmates to escape.

All over the Middle East and the Balkans, from Afghanistan, to Bosnia, to Serbia, to Pakistan, to Iraq and to Iran, the United States, through black budget programs, has funded and armed Sunni Al-Qaeda terrorist groups to destabilize and topple regimes targeted by the Anglo-American establishment.

This documented fact debunks the “war on terror” as a cruel hoax and exposes how current events in Afghanistan, Pakistan and Iran are being carefully orchestrated while the media sells the public on the belief that manufactured sock-puppet enemies, and not geopolitical domination and control of resources and the global drug trade, are why these wars are being fought, when in reality groups like Al-Qaeda and the Taliban are firmly in the pocket of the U.S. military-industrial complex.



==========

Dan lihatlah Indonesia yang mengikuti permainan perang melawan terorisme ala Amerika. Setelah terjadinya pemboman JW Marriot II, isu terorisme menjadi menu sehari-hari masyarakat. Pada hari yang sama dengan peristiwa itu, media massa sudah mendapatkan bocoran rekaman CCTV peristiwa pemboman yang sebenarnya merupakan barang bukti milik penyidik, untuk disiarkan berulang-ulang.

Lihat pula betapa dramatismenya drama penyerbuan aparat keamanan di markas teroris di Temanggung dan Bekasi yang menewaskan semua teroris. Padahal semestinya polisi cukup menangkap hidup-hidup para pelaku untuk mendapatkan keterangan yang sangat berharga mengenai jaringan terorisme di Indonesia, kalau memang benar-benar ada dan bukan jaringan inteligen asing dan komprador lokalnya yang memanfaatkan orang-orang Islam "bodoh" untuk melakukan teror.

Dan lihatlah bagaimana aparat keamanan sengaja mengulur aksi penyerbuan itu sehingga semua media massa dapat meliput peristiwa tersebut. Merecoki masyarakat dengan paranoia terorisme dan melupakan hal-hal lainnya yang lebih penting seperti masalah sosial ekonomi rakyat yang masih belum terpecahkan seperti kecurangan pemilu, kemiskinan, pengangguran, jeratan neo liberalisme, disintegrasi Papua dan Aceh, kriminalisme, narkoba dlsb.

Dan atas dasar kebohongan itu semua pemerintah SBY telah merancang sebuah pemerintahan fasisme ala Orde Baru dengan langkah awal mengawasi para ustadz penceramah agama.

Tuesday 18 August 2009

Jejak Amerika dalam Kerusuhan di Cina


Setelah kerusuhan tragis tgl 5 Juli di Xinjiang, provinsi otonomi untuk etnis Uighur di Cina, yang menelan ratusan nyawa rakyat muslim dan menjadi berita hangat internasional selama beberapa pekan, jejak keterlibatan Amerika tampak sangat jelas.

Peranan Amerika dalam kerusuhan itu dimainkan oleh National Endowment for Democracy (NED), sebuah LSM bentukan Amerika yang bergerak di berbagai penjuru dunia mempromosikan kepentingan Amerika dan sekaligus melemahkan kepentingan lokal.

Uighur terletak di tempat yang strategis secara geopolitik, yaitu di persimpangan Asia-Eropa dan sangat penting bagi Cina dan negara-negara yang tergabung dalam kaukus Shanghai Cooperation Organization (SCO) yang merupakan rival potensial kepentingan Amerika dan sekutunya. Kerusuhan itu sendiri terjadi hanya beberapa hari setelah dilangsungkannya pertemuan SCO.

Namun alasan-alasan yang menjadi dasar keterlibatan Amerika dalam isu politik Cina, khususnya dalam kasus Provinsi Xinjiang, tenggelam oleh isu pelanggaran HAM yang dilakukan Cina terhadap etnis Uighur.

Jejak kepentingan Amerika terlihat dari keterkaitan antara World Uyghur Congress (WUC), LSM berbasis di Washington yang mengorganisir aksi-aksi demonstrasi menentang Cina di seluruh dunia, dengan NED. Menurut laporan yang dikeluarkan NED sendiri, WUC menerima sumbangan dari NED senilai $215.000 per-tahun.

Ketua WUC, seorang pelarian Uighur bernama Rebiya Kadeer yang memproklamirkan dirinya sebagai "bekas tukang cuci yang berubah menjadi jutawan". Kadeer juga menjabat sebagai ketua Uyghur American Association (UMA), yang juga hidup dari sokongan dana pemerintah Amerika melalui NED.

NED, bersama-sama dengan LSM bentukan George Soros, Open Society, bekerja bahu membahu mempromosikan "demokrasi" di negara-negara Asia dan Eropa Timur, namun sejatinya memperjuangkan kepentingan politik Amerika di negara-negara LSM itu bekerja. Mereka berada di balik berbagai gerakan revolusi seperti ”Crimson Revolution“ di Lhasa bulan March 2008, juga "Saffron Revolution" di Burma/Myanmar, hingga "Green Revolution" di Iran baru-baru ini yang berusaha menggagalkan hasil pemilu Iran. Gerakan "demokratisasi" ini juga berhasil menyingkirkan pengaruh Rusia di negara-negara Eropa Timur melalui beberapa "revolusi" seperti "Rose Revolution" dan "Orange Revolution" sebagaimana juga "Cedar Revolution" di Lebanon.

Allen Weinstein, salah satu pendiri NED, dalam satu wawancara di media massa tahun 1991 mengakui, "Banyak hal yang kita lakukan hari ini telah dilakukan secara rahasia oleh CIA 25 tahun yang lalu."

NED terkesan sebagai organisasi non-pemerintah dan yayasan nirlaba. Namun kenyataannya NED mendapat anggaran rutin yang disetujui Congress Amerika. Dana untuk NED mengalir melalui empat jalur utama: National Democratic Institute for International Affairs yang terkait dengan Partai Democrat, International Republican Institute yang terkait dengan Partai Republic, American Center for International Labor Solidarity yang terkait dengan federasi buruh Amerika AFL-CIO dan US State Department, serta Center for International Private Enterprise yang terkait dengan KADIN Amerika.

Lalu bagimana NED sampai bisa mendorong terjadinya kerusuhan massal di Xinjiang?

Pada tgl 18 Mei lalu pemerintah Amerika mengadakan seminar berjudul "East Turkestan: 60 Years under Communist Chinese Rule" yang dihadiri wakil dari LSM-LSM pengusung "demokrasi" binaan Amerika, termasuk UNPO (organisasi bangsa-bangsa yang tidak terwakili dalam PBB). Pendiri dan presiden kehormatan UNPO adalah Erkin Alptekin, seorang pelarian Uyghur yang mendirikan UNPO saat bekerja di US Information Agency (USIA) dan Radio Free Europe/Radio Liberty. Alptekin juga mendirikan World Uyghur Congress (WUC) pada tahun yang sama, 1991.

Misi dari USIA adalah “menanamkan pengertian, menginformasikan, dan mempengaruhi masyarakat internasional dalam rangka mempromosikan kepentingan Amerika" Alptekin adalah presiden pertama WUC, dan menurut keterangan situs resmi WUC website, adalah teman dekat Dalai Lama.

Pengamatan lebih mendalam membawa kepada pemahaman bahwa UNPO pada akhirnya merupakan organisasi impian strategis geopolitik Amerika. Organisasi ini dibentuk saat Uni Sovyet tengah runtuh dan kawasan Eurasia dalam kondisi chaos secara ekonomi dan politik. Sejak tahun 2002 direktur jendral organisasi ini dipegang oleh Archduke Karl von Habsburg dari Austria yang menyematkan gelar “Prince Imperial of Austria and Royal Prince of Hungary”, gelar yang tidak diakui oleh Austria maupun Hongaria.

Salah satu prinsip dasar UNPO adalah "hak menentukan nasib sendiri" bagi 57 kelompok masyarakat terpinggirkan yang merupakan anggota UNPO dengan bendera masing-masing. Rakyat yang diwakili UNPO diklaim mencapai 150 juta dengan ibukotanya di Hague, Belanda.

Di antara bangsa-bangsa terpinggirkan yang "bergabung" adalah Kosovo, Aborigin, hingga suku indian Buffalo River Dene Nation dari Canada. Anggota lainnya adalah Tibet, Crimean Tartar, minoritas Yunani Rumania, Chechnya, Democratic Movement of Burma, Democratic Republic of the Congo, Southern Azerbaijan (di Iran), dan Kurdistan Iran.

Pada bulan April 2008 NED juga menyelenggarakan seminar “leadership training” untuk World Uyghur Congress (WUC) dan UNPO di Berlin, Jerman. Lebih dari 50 orang Uighur dari berbagai penjuru dunia bergabung bersama para akademisi terkenal serta wakil dari beberapa pemerintahan mendiskusikan “Self-Determination under International Law.” Rebiya Kadeer menjadi salah satu pembicara utama.


Timing yang Mencurigakan

Kerusuhan di Xinjiang terjadi di ibukota Urumqi yang terletak di barat laut Cina, pada tgl 5 Juli lalu. Menurut keterangan resmi World Uyghur Congress, pemicu kerusuhan adalah aksi penyerangan oleh etnis suku HAN terhadap etnis Uighur di Propinsi Guangdong, selatan Cina, 26 Juni 2009. Dalam peristiwa yang terjadi di sebuah pabrik mainan anak itu disebutkan para pekerja etnis HAN menyerang pekerja suku Uighur hingga dua orang di antaranya tewas. Penyerangan itu sendiri disebutkan karena para pekerja etnis Uighur telah memperkosa dua orang pekerja etnis HAN.

Pada tgl 1 Juli atau empat hari sebelum kerusuhan, WUC cabang Munich menyerukan aksi demonstrasi di kedutaan-kedutaan besar Cina di seluruh dunia untuk memprotes aksi penyerangan di Guangdong, meski peristiwa di Guangdong sendiri masih dalam penyidikan kepolisian dengan banyak fakta yang masih misterius.

Pada tgl 5 Juli, hari Minggu di Cina namun di Amerika masih menjadi Hari Kemerdekaan tgl 4 Juli, WUC Washington mengklaim tentara Cina yang mayoritas dari etnis HAN menangkap semua orang Uighur yang ditemui di jalan yang kemudian memicu terjadinya kerusuhan massif di Urumqi selama tiga hari dengan korban tewas mencapai 140 orang akibat penembakan tentara.

Namun media massa Cina memberitakan kerusuhan tersebut dipicu oleh aksi penyerangan sekelompok demonstran Uighur terhadap warga etnis HAN serta aksi-aksi pembakaran fasilitas umum yang mendorong polisi bertindak keras.

Dua versi berbeda dari peristiwa yang sama. Media massa barat sudah barang tentu memihat versi WUC. Kantor berita AFP dari Perancis misalnya memberitakan tentara Cina menembak membabi buta para demonstran Uighur. Tidak mengherankan karena Perancis adalah sekutu Amerika dalam politik luar negeri.

Bukan kebetulan juga bahwa kerusuhan di Xinjiang terjadi hanya beberapa hari setelah pertemuan Shanghai Cooperation Organization di Yakaterinburg, Russia. SCO yang ditulangpunggungi oleh Cina dan Rusia merupakan rival potensial kepentingan geopolitis Amerika dan sekutunya. Apalagi dalam pertemuan tersebut juga dihadiri oleh presiden Iran Ahmadinejad.

Selama beberapa tahun terakhir di tengah-tengah politik luar negeri Amerika yang agresif, negara-negara Eurasia seperti China, Russia, Kazakhstan, Uzbekistan, Kyrgyzstan, Tajikistan telah menyatukan diri dalam kaukus kerjasama ekonomi politik yang diberi nama Shanghai Cooperation Organization. Organisasi ini bahkan kemudian membuka keanggotaan bagi Iran, Pakistan, India dan Mongolia.



Infrastuktur Energi

Xinjiang merupakan tempat yang sangat vital bagi kepentingan geopolitik negara-negara SCO terutama Cina. Sebagian jalur pipa migas Cina yang paling vital melewati daerah ini. Jalur pipa migas antara Kazakhstan dan Cina memungkinkan Cina mengurangi ketergantungan Cina pada pasokan migas dari tempat lain.

Presiden Kazakhstan Nursultan Nazarbayev pada bulan April lalu mengadakan kunjungan kenegaraan ke Beijing, dengan agenda utama pembicaraan kerjasama suplai energi dari Kazakhstan ke Cina dimana Kazakhstan menjadi suplaier dan Cina menjadi konsumen utamanya.

Salah satu hasil kunjungan tersebut adalah disetujuinya pembangunan pipa migas antara Atasu-Alashankou yang akan selesai pembangunannya tahun ini dan memungkinkan suplai migas dari Kazakhstan secara besar-besara ke Cina melalui Xinjiang. Di sisi lain perusahaan-perusahaan migas Cina diperkenankan membantu eksplorasi migas di Kazakhstan.

Menurut laporan US Energy Information Administration, daerah Kashagan di Kazakhstan memiliki cadangan migas terbesar di luar timur tengah dan kelima di dunia. Untuk mengeksplorasinya, Cina telah membangun jalur pipa migas sepanjang 613 mil yang menghubungkan antara kota Atasu di barat laut Kazakhstan dengan kota Alashankou di Xinjiang. ChinaOil merupakan pembeli eksklusif migas yang dialirkan melalui jalur itu.

ADapun jalur pipa migas itu sendiri dibangun bersama antara perusahaan migas Cina, CNPC dengan Kaztransoil dari Kazkhstan. Sebanyak 85,000 barrek per-hari minyak mentah mengaliri jalur pipa migas tersebut.

Pada tahun 2007 CNPC menandatangani persetujuan untuk menginvestasikan dana sekitar $2 miliar untuk membangun jalur pipa migas sepanjang 1.100 mil antara Turkmenistan mengalir melalui Uzbekistan dan Kazakhstan menuju Cina. CNPC juga telah merencanakan pembangunan jalur pipa migas kedua antara Kazakhstan dan Cina yang menelan biaya $7 miliar.

Selain itu Cina juga telah mengadakan kerjasama kuat mengenai suplai energi ke Cina. Kedua negara telah sepakat akan membangun jalur pipa migas yang menghubungkan Siberia di Rusia dengan Xinjiang. Siberia Timur mengandung sekitar 135 triliun kubik kaki cadangan gas. Dengan jalur migas itu kebutuhan migas Cina akan dijamin aman dalam 10 tahun ke depan.

Selama krisis keuangan global tahun lalu, Kazakhstan telah menerima bantuan kredit senilai $10 miliar yang separuh di antaranya untuk pembangunan sektor migas. Kedekatan antara Cina-Kazakhstan-Rusia melalui pembangunan jalur-jalur pipa migas antara ketiga negara merupakan hal yang mengkhawatirkan Amerika yang berambisi menguasai sumber-sumber energi global dalam rangka mewujudkan hegemoni politik globalnya. Dengan membuat Xinjiang bergejolak, maka kekuatan SCO akan terlemahkan dan kekuatan Amerika semakin dominan.

Komunisme di Balik Regim Obama


“Obama learned his lesson well. I am proud to see that my father’s model for organizing is being applied successfully beyond local community organizing to affect the Democratic campaign in 2008. It is a fine tribute to Saul Alinsky as we approach his 100th birthday.” (L. DAVID ALINSKY)


Apakah Barack Obama adalah satu produk dari sebuah konspirasi besar komunisme yang dibentuk untuk menguasai Amerika? Jawabnya, ya! Dan berikut ini adalah fakta-faktanya.

Untuk membuka jaringan labirin ini kita harus memulainya dengan sosok yang bernama George Soros (George Schwartz. Catatan blogger: yahudi seringkali menyembunyikan nama aslinya untuk menyembunyikan latar belakang etnisnya, atau untuk menyembunyikan sejarah masa lalunya yang hitam. George Soros adalah sosok yang oleh PM Malaysia Mahathir Muhammad sebagai konspirator terjadinya krisis moneter Asia Timur tahun 1997).

"Soros telah teridentifikasi sebagai tangan kanannya keluarga Rothshild. Bisa dimengerti kalau dirinya dan juga Rothschild tidak menginginkan fakta ini terbuka ke publik. Hubungan Soros dengan jaringan keuangan global keluarga Rothschild bukanlah hubungan yang biasa atau sekedar kebetulan," kata William Engdahl, seorang jurnalis, sejarahwan dan peneliti ekonomi, dalam satu artikel yang ditulisnya tahun 1996.

Lebih jauh Engdahl menulis, "Sejak pertama Soros membangun perusahaan investasi miliknya tahun 1969, ia berhutang budi pada keluarga Rothschild."

Soros melalui LSM-nya, Open Society Institute (OSI), menggelontorkan $300 juta setiap tahunnya kepada organisasi-organisasi dan LSM liberal-demokrat-sosialis, termasuk MoveOn.org. Adapun di Indonesia Soros membentuk Tifa Foundation yang dipimpin oleh Suciati, istri almarhum Munir, sebagai LSM payung yang bertugas menyalurkan dana ke LSM-LSM liberal-demokrat-sosialis di Indonesia.

Menurut analis politik Anton Chaitkin, Soros jugalah yang telah membuat Barack Obama mampu tampil sebagai presiden Amerika mengalahkan lawan-lawan politiknya. Ia menulis, "Barack Obama mendapatkan sponsorship khusus dari Soros dalam kampanye untuk menjadi anggota senat tahun 2004. Setelah kemenangannya, Obama kemudian menemui Soros di rumahnya."

Lebih jauh Chaitkin menulis dalam artikel online-nya “Soros Runs British Foreign Office Coup Against U.S. Elections” mengungkapkan, “Pada tgl 4 Desember 2006, dua tahun setelah menjadi senator, Obama menemui Soros di kantornya di New York untuk membicarakan jabatan yang lebih tinggi bagi Obama. Pertemuan dihadiri juga oleh para miliuner mitra Soros. Dengan dukungan Soros, Obama pun segera mengumumkan pencalonannya sebagai presiden."


Saul Alinsky

Pada tgl 19 Juni 2008 Michele Obama, sang istri Barack Obama berpidato, "kita akan merubah tradisi dan sejarah kita." Kemudian pada tgl 25 Agustus tahun yang sama Michele berpidato, "kita semua dikendalikan oleh pemikiran sederhana bahwa dunia seperti apa adanya dan tidak perlu kita ubah. Kita memiliki kewajiban untuk berjuang mewujudkan dunia seperti yang kita inginkan."

Michele yang bersaudara sepupu dengan seorang pendeta yahudi kulit hitam mengutip apa yang dikatakan oleh Saul Alinsky, seorang komunis eksteyahudi dari Chicago yang telah menulis buku "Rules for Radicals".

Salah satu patron Alinsky adalah banker walstreet Eugene Meyer yang menjadi gubernur bank sentral Amerika Federal Reserve th 1930-1933. Meyer juga pemilik koran terbesar Amerika, The Washington Post yang menjadi promotor Alinsky melalui artikel berserinya yang berjudul ‘The Orderly Revolution’.

Untuk mengimplementasikan rencana pengambil-alihan Amerika, sebuah jaringan rumit harus dibentuk yang tangan-tangannya menjangkau seluruh aspek kehidupan masyarakat. Salah satu jaringan yang mereka gunakan adalah Tides Foundation, dimana Soros menyumbang $13 juta antara tahun 1997-2003. Didirikan oleh aktifis anti-perang berdarah yahudi, Drummond Pike pada tahun 1976, yayasan bebas pajak ini memainkan banyak fungsi, termasuk money laundering. Menurut pengamat sosial politik Ben Johnson dalam tulisannya di majalah Front Page Magazine bulan September 2004, organisasi itu “memungkinkan figur-figur terkenal untuk membiayai organisasi-organisasi ekstremis sekaligus mencuci uang mereka melalui Tides Foundation.”

Menurut Johnson, dengan komisi 10% atas jasa pencucian uang yang diterima, Tides Foundation mampu menyumbang jutaan dolar beberapa organisasi dan figur ekstremis seperti pembunuh polisi Mumia Abu-Jamal, LSM MoveOn.org serta siapa saja yang memperjuangkan hak aborsi dengan jaminan namanya tidak akan dikaitkan dengan organisasi dan individu tersebut.

Selain Drummond, eksekutif Tides Foundation lainnya juga berdarah yahudi seperti senior vice president Gary Schwartz, dan executive vice president Ellen Friedman. Drummond juga telah membantu Wade Rathke, salah satu pimpinan ACORN (organisasi sosial-politik kulit hitam Amerika) yang terkena masalah keuangan.

Barack Obama memulai karier politiknya sebagai trainer di ACORN yang saat ini tersandung masalah hukum di 14 negara bagian karena penipuan surat suara. Mentor Obama di organisasi ini adalah Gerald Kellman, teman dekat Saul Alinksy. Adapun penyandang dana utama Obama, menurut Clarice Feldman dari American Thinker, adalah apa yang disebutnya “Gang of Four”— Soros, Peter Lewis, Stephen Bing and Herbert dan Marion Sandler. Semuanya jutawan yahudi.


Marilyn Katz

Salah satu pendukung utama Obama Marilyn Katz, lagi-lagi yahudi, direktur keamanan SDS (Students for a Democratic Society) yang mengajarkan taktik gerilya melawan polisi. Sosoknya mirip dengan teman Obama lainnya, William Ayers dari Weather Underground, organisasi anarkhisme lainnya. Katz menjadi salah satu pengumpul dana sumbangan bagi kampanye Obama. Ia juga menjadi ketua delegasi dari Illinois dalam konvensi nasional partai Demokrat tahun 2008.

Tides Foundation mengontrol Apollo Alliance, sebuah LSM payung berbasis di San Francicso yang memiliki idiologi "pemerintah adalah solusi final atas semua masalah ekonomi dan sosial”.

Apollo Alliance didirikan untuk mengkoordinasikan elemen-elemen dan organisasi-organisasi "kiri" maupun partai-partai hijau. Apollo juga menjadi salah satu konseptor kebijakan stimulus Barack Obama.

Van Jones, pembantu Obama yang terlibat dalam aksi kerusuhan rasial di Los Angles tahun 1992 mengatakan tentang Apollo Alliance: "penyatuan terbesar dari gerakan-gerakan progresif kiri.”

Van Jones, yang dijatuhi hukuman penjara 10 tahun karena aksinya dalam kerusuhan tahun 1992 itu pernah memberikan pengakuan kepada media massa. "Setelah hukuman itu dijatuhkan, maka saya adalah komunis."

Jaringan komunisme di sekitar Obama semakin lengkap dengan adanya SEIU (Service Employees International Union) yang menjadi think tank dari program socialized health care Obama. Andy Stern dan Anna Burger yang menjadi pemimpin tertinggi SEIU, keduanya adalah yahudi sekaligus kroni dari George Soros. Wakil mereka Gerald Hudson juga yahudi.

Orang yang mendorong program stimulus untuk beberapa media massa adalah yahudi Robert Borosage dari Institute for America’s Future (juga penerima donor dari Soros). Sedangkan yang mengawasi program stimulus untuk sektor perumahan dan industri tidak lain adalah Barney Frank, yahudi lain yang menjadi ketua House Financial Services Committee. Terakhir orang-orang terdekat Obama tentu saja adalah Axelrod, Lawrence Summers dan Rahm Emanuel yang semuanya adalah yahudi. (Rahm Emanuel adalah warga negara Amerika berkewarganegaraan ganda karena yang bersangkutan juga warga negara Israel, bahkan pernah berdinas di angkatan perang Israel. Orang tua dan saudara-saudaranya tinggal di Israel).

Semua hal yang agak rumit dan membingungkan ini menjadi jelas dengan adanya pengakuan dari tokoh teori pendidikan David Solway. Pada tgl 7 Juli lalu ia membuat pengakuan, "Kami orang yahudi adalah orang-orang yang licik. Memang menyakitkan mengakui hal ini, namun ini kenyataan yang harus diterima... Cara terbaik membuat Amerika bangkrut, melemahkan kemauannya untuk hidup, membuatnya menghancurkan diri sendiri, adalah melakukan segala yang kami mampu untuk membawa Barack Obama ke gedung putih."