Saturday 12 July 2014

PEMILU 2014, RAKYAT INDONESIA MENOLAK DITIPU

Alhamdulillah, apa yang saya impi-impikan telah mulai menjadi kenyataan. Yaitu saat rakyat Indonesia menyadari bahwa selama ini mereka telah dibohongi terus-menerus secara sistematis sehingga tidak sadar hak-hak paling dasar sekalipun bagi mereka, telah terampas.

Selama ini mereka tidak berdaya atas sekelompok kecil elit negeri ini yang telah menfasilitasi pengambil alihan sumber-sumber daya alam yang melimpah kepada orang-orang asing di luar negeri, ataupun aseng yang tinggal di dalam negeri dan mengeruk kakayaan Indonesia namun harta kekayaannya disimpan di Singapura, Hongkong atau Australia dan tidak menginvestasikannya di sektor-sektor yang vital bagi rakyat Indonesia.

Selama ini rakyat tidak berdaya menyaksikan tanah-tanah strategis di kota-kota besar, atau tanah-tanah subur di ladang dan hutan semuanya telah dikuasai oleh sekelompok elit negeri ini yang hanya memikirkan kepentingan diri dan patron asing dan aseng mereka.

Elit-elit negeri yang pada dasarnya kaki-tangan asing dan aseng itu dengan ketamakan yang luar biasa rela menjual aset-aset strategis demi komisi ala kadarnya: Indosat, BCA, LNG Tangguh, Blok Cepu, Blok Mahakam dll. Mereka bahkan rela mematikan atau menelantarkan industri-industri strategis demi menyenangkan patron-patron asing dan aseng mereka: IPTN, PAL, INKA, PINDAD dll.

Elit-elit negeri ini yang bekerja di birokrasi, media massa, aktifis sosial, pengamat politik hingga ulama bayaran juga membiarkan asing dan aseng menjadikan rakyat Indonesia sebagai sapi perahan: struktur APBN yang tidak efektif dan efisien, hutang luar negeri yang membengkak dengan konsekuensi beban bunga yang menumpuk, skema penyelesaian BLBI yang membebani rakyat, dll.

Elit-elit negeri ini juga membiarkan kartel distribusi bahan-bahan pokok mengeruk kekayaan di atas pundak rakyat Indonesia dengan mempermainkan distribusi dan harga barang-barang kebutuhan pokok. Belum lagi mafia migas dan mafia-mafia sektor lain yang kerjanya meraup keuntungan di atas beban rakyat.

Rakyat sudah sadar kini, terutama berkat kecanggihan informasi yang mudah diakses. Maka mereka menggugat kemapanan sistem yang selama ini membelenggu mereka, menipu mereka dengan pencitraan dan tipuan media massa. Mereka memilih figur yang dianggap bisa mengembalikan harga diri bangsa dan hak-hak rakyat Indonesia.

Rakyat memilih Pak Prabowo.

Tidakkah Anda menyaksikan fenomena ini?

Sampai 3 bulan yang lalu sebagian besar rakyat Indonesia hanya melihat satu calon presiden, yaitu Jokowi. Ketika belum ada pencalonan resmi pun "Mata Najwa" Metro TV menggelar diskusi berjudul "Siapa pendukung Jokowi", seolah tidak ada manusia di Indonesia yang pantas untuk menyaingi Jokowi dan hanya pantas untuk menjadi wakilnya.

Melihat fenomena ini para pendukung Jokowi pun sangat jumawa: "Potong leher saya kalau Jokowi kalah!" kata seorang dosen komunikasi UI dan mantan anggota Komisi Penyiaran Indonesia.

Pendukung-pendukung lainnya mengatakan: "Dipasangkan dengan sendal jepit pun Jokowi pasti menang!"

Ketika akhirnya ia resmi dicalonkan menjadi capres oleh PDI-P, media-media massa dan media sosial pun dengan gegap gempita mengelu-elukannya.

"Rupiah Menguat karena Jokowi!"
"Indeks saham menguat karena Jokowi!"

Demikian judul yang menghiasi halaman utama media-media nasional.

Ya, Jokowi memang bak seorang nabi akhir jaman, setidaknya media-media massa dan jejaring sosial mempersepsikannya kepada publik Indonesia.

Di sisi lain, seorang Prabowo Subianto yang dengan susah payah dan dengan kekuatan sendiri dan keluarganya membangun Partai Gerindra, tidak pernah dipandang sebelah mata. Selain partai pengusungnya hanya partai "gurem", persepsi publik terhadapnya sudah terlanjur buruk: pelanggar ham, otoriter, tukang culik, pemarah, tidak disukai dunia internasional, dan berbagai gambaran buruk lainnya.

Bagaimana mungkin Prabowo, dengan semua faktor itu bisa menandingi Jokowi?

Mari kita hitung kekuatan di belakang Jokowi: jaringan media massa utama (Group Tempo, Group Jawa Pos, Group Kompas, Group Merdeka, dll), konglomerat (ma'af) Cina yang menguasai 80% (atau silakan dengan angka lainnya, tapi yang pasti mayoritas) aset-aset dan kekayaan Indonesia, jendral-jendral korup, Jaringan Islam Liberal, kaum liberalis non-Islam, fundamentalis Kristen dan Katholik, jaringan seniman dan artis yang terafiliasi dengan media-massa, jaringan intelektual dan civic society hingga ulama yang dibesarkan media massa, jaringan neo-komunisme/sosialisme, kelompok-kelompok minoritas yang tercuci otaknya oleh persepsi media massa, dll. Namun yang paling membahayakan Prabowo adalah para politisi yang umumnya oportunis yang dengan gampang menjadi korban suap dan korupsi.

Dengan semua lini yang dikuasai kubu Jokowi itu tampak sekali tidak ada peluang bagi Prabowo untuk menang. Prabowo hanya bisa mengandalkan kekuatannya pada sebagian umat Islam, TNI, dan kalangan intelektual yang terikat oleh jiwa nasionalisme, atau sebagian umat Islam yang takut mengalami marginalisasi sebagaimana terjadi di masa Orde Lama dan masa awal Orde Baru.

Dua kelompok terakhir ini-lah yang bahu-membahu, secara sporadis dan tidak melalui perencanaan sistematis dan strategis, melakukan perlawanan aktif melalui media sosial melawan hegemoni Jokowi.

Alhamdulillah, perlawanan sporadis ini secara pelan namun pasti berhasil mengikis pengaruh Jokowi dan sekaligus meningkatkan elektabilitas Prabowo Subianto.

Kita memang masih harus menunggu hasil penghitungan akhir pilpres 2014 oleh KPU tgl 22 Juli nanti. Namun berdasarkan data-data yang sudah masuk, pada pendukung Prabowo sangat optimis, pilihan mereka akan memenangkan pilpres 2014. Insya Allah.

Perselingkuhan Kurdi-Israel-AS

Seluruh analis politik menyimpulkan bahwa ada sebuah konspirasi sistematis di balik aksi offensif kelompok teroris ISIS di Irak akhir-akhir ini.

“Timur Tengah” diciptakan oleh kekuasaan kolonial Inggris dan Perancis hampir satu abad yang lalu dengan cepat runtuh begitu saja ketika ISIS dengan cepat membangun kekuasaan dari pinggiran kota Aleppo ke Tikrit dan dari Mosul ke perbatasan Yordania-Irak.

Wilayah geografi buatan, yang didirikan di tengah-tengah Perang Dunia I melalui  perjanjian Sykes-Picot tahun 1916, kini terancam. Bukan kebetulan jika ISIS itu sendiri, meskipun memimpikan kekhalifahan, juga menekankan tujuan sebenarnya.

“Negara-negara yang terbentuk dari fragmentasi Kekaisaran Ottoman itu kini semua berisiko. Dalam pusaran geopolitik ini elektron bebas utamanya adalah pastinya adalah gagasan pembentukan Kurdistan Raya.”

Demikian kesimpulan jurnalis senior Pepe Escobar dalam tulisannya di Russia Today awal bulan lalu, menyikapi fenomena kemunculan kelompok teroris ISIS di Suriah dan Irak.

“Irak tengah hancur di depan mata kita dan tampak bahwa pembentukan sebuah negara Kurdi merdeka adalah sebuah kepastian.”

Itu adalah kesimpulan Menteri Luar Negeri Israel, Avigdor Lieberman akhir bulan Juni lalu, seolah menunjukkan kegembiraan pemerintah Israel atas munculnya negara merdeka Kurdi.

Apa yang selalu dikatakan Lieberman kepada Menteri Luar Negeri AS John Kerry pekan ini terutama adalah fakta bahwa Pemerintah Otonomi Kurdistan di Irak (KRG), adalah pengekspor minyak ke Israel.

Dengan semua tujuan praktis, milisi Kurdi Peshmergas, sekarang juga mengendalikan wilayah kaya minyak Kirkuk yang menjadi sengketa antara pemerintah pusat Irak dan KRG, setelah penarikan memalukan tentara Irak di depan gerak maju ISIS. Presiden KRG Masoud Barzani pun dengan lantang mengatakan: “Kami akan membawa seluruh kekuatan kami untuk mempertahankan Kirkuk.”

Monday 7 July 2014

Sentimen Anti "Tatanan Dunia" Amerika di Rusia

"Konflik di Ukraina hanya puncak dari gunung es. Para pemikir Rusia seperti Dugin menganggap ini hanyalah satu perang dari sebuah konflik yang jauh lebih besar. Dan pada akhirnya, mereka melihat satu hari dimana hanya ada satu pihak yang bertahan."

Demikian tulis Michael Synder dalam satu artikelnya di situs The End of the American Dream tanggal 13 Juni lalu: "Does ‘Putin’s Brain’ Believe That The United States Is The Kingdom Of Antichrist?"

Tulisan tersebut membuka satu sisi menarik dalam konflik antara Rusia dan Amerika, yaitu "Teori Konspirasi". Dan hal itu tidak bisa dilepaskan dari sosok bernama Alexander Dugin.

Orang yang dikenal sebagai "otaknya Vladimir Putin" ini menduduki tempat terhormat dalam dunia intelektualisme Rusia. Ia adalah seorang profesor di universitas elit di Rusia dan seringkali menjadi bintang tamu acara-acara talk show televisi-televisi utama Rusia. Lebih dari itu, bukunya berjudul "Eurasian Union" dianggap sebagai landasan politik luar negeri Rusia, terutama di bawah kepemimpinan Vladimir Putin.

Jika kita mau jujur, sikap politik Vladimir Putin, terutama dengan kegigihannya melawan dominasi AS dan sekutu-sekutunya, tidak lain adalah bersumber dari pandangan-pandangan Dugin. Demikian Michael Synder dalam artikelnya.

Dugin percaya bahwa "Tata Dunia Baru" yang dipimpin Amerika saat ini adalah satu rezim "kerajaan anti-Tuhan" yang cepat atau lambat akan berkonflik dengan Rusia hingga berhasil dihancurkan.

Pandangannya tentang tata dunia masa depan adalah bahwa dunia akan terpolarisasi menjadi 3 kutub: kutub Eurasia yang dipimpin oleh Rusia dengan beranggotakan negara-negara di kawasan Eropa Tengah dan Asia, kutub World Island yang didominasi oleh Amerika dan Eropa Barat serta kutub Rimland, yaitu negera-negara di luar kedua kutub di atas.