Friday 23 December 2016

Membelah Gelombang

Oleh Hendrajit*

Indonesian Free Press -- Kalau Nabi Musa as membelah gelombang, untuk membawa umatnya dari dunia kegelapan menuju dunia pencerahan, maka kalau penguasa membelah gelombang yang ingin kembali ke UUD 1945 asli dan Aksi Bela Islam, maka berarti sedang menggiring bangsa ini ke dunia kegelapan.

Karena kembali ke UUD 1945 asli dan Aksi bela Islam, sejatinya merupakan menyatunya kembalinya gelombang Nasionalisme dan Islam. Menyatunya dua gelombang yang kemudian melahirkan Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

Upaya membelah gelombang yang ingin kembali ke UUD 1945 asli dan Aksi Bela Islam, merupakan bukti nyata dari Serangan Asimetris asing, sebagai suatu Perang Gaya Baru, untuk melayani Skema Penjajahan Gaya Baru (Neokolonialisme).

Salah satu langkah taktis membelah gelombang kembali ke UUD 1945 dan Aksi Bela Islam ada tiga:

1. Tebar Isu bahwa Yang kembali ke UUD 1945 itu berarti mendukung kembalinya Orde Baru. Sedangkan yang mendukung Bela Islam itu pro Fundamentalisme Islam.

2. Menciptakan kesan seolah-olah telah terjadi persekutuan antara yang ingin kembali ke UUD 1945 dan yang ingin makar menjatuhkan pemerintahan. Padahal yang ingin kembali ke UUD 1945 itu justru ingin mengembalikan segala tata kelola kenegaraan dan landasan idiil kenegaraan sebagaiman semestinya. Melalui sarana-sarana konstitusional yang dimungkinkan melalui pasal-pasal yang termaktub dalam UUD 1945 asli itu sendiri. Yaitu MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Bukan untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah.

Sehingga adalah merupakan sebuah kesalahan strategis manakala ada yang mencoba menyandingkan aspirasi kembali ke UUD 1945 dengan makar terhadap pemerintahan yang ada sekarang. Karena itu ibarat menyatukan air dan minyak. Nggak nyambung.

Menyatunya Gelombang Nasionalisme dan Islam, bukan saja mengkahawatirkan bagi penguasa, namun terlebih-lebih lagi, sangat mengkhawatirkan bagi negara negara adikuasa baik Amerika Serikat, Inggris, Jepang dan Cina. Karena Nasionalisme dan Islam, merupakan basis sosial dan basis kultural bangsa Indonesia. Pikiran, Jiwa dan Hati bangsa Indonesia.***


*Hendrajit, pengamat internasional dari Global Future Institute. Dicopas dari status Facebook beliau.

No comments: