Indonesian Free Press -- 'Point of no return', demikian orang Inggris menyebutnya. Yaitu suatu kondisi dimana seseorang atau orang-orang tidak memiliki alternatif pilihan kecuali satu pilihan satu yang ada.
Seperti inilah halnya kondisi sosial-politik di Indonesia saat ini. Satu-satunya pilihan itu adalah bentrokan antara kelompok-kelompok Islam-Nasionalis melawan kelompok-kelompok anti-Islam, liberalis dan pro-aseng/asing. Dalam perspektif IFP kelompok-kelompok anti-Islam berada di belakang jokowi-ahok.
Pilihan ini sepertinya tidak mungkin lagi bisa dihindarkan, terlihat dari semakin intensifnya bentrokan antara kedua kelompok itu. Terakhir adalah bentrokan antara LSM GMBI melawan FPI di Bandung beberapa hari lalu. Sementara polisi, yang dalam perspektif IFP berada di dalam blok pro-ahok, sangat kentara tengah mengincar pemimpin PFI dan inspirator aksi 411 dan 212 Habib Rizieq untuk dijerat ke jeruji penjara. Pada saat yang sama Ketua PDI-P Megawati mengikuti jejak Ahok dengan turut melecehkan Islam dengan menyamakan keyakinan tentang hari akhir sebagai 'ramalan' belaka. Dan ditambah lagi oleh Kapolri yang juga melecehkan Islam dengan menyebut Fatwa MUI sebagai 'meresahkan' dan anti-Bhinneka Tunggal Ika.
Tidak ada dalam sejarah INdonesia paska pemberontakan PKI tahun 1965 dimana ummat Islam secara sistematis dan massif dimarginalkan seperti di era jokowi ini. Tidak berlebihan jika Ketua MUI Dien Syamsuddin, dalam sambutannya di acara rapat Dewan Pembina MUI hari Jumat (18 Januari) lalu mengatakan bahwa saat ini tidak ada keadilan bagi umat Islam di Indonesia.
Din menegaskan bahwa salah satunya terlihat dalam bidang ekonomi. Terlebih dugaan adanya ekonomi baru (non-Islam) yang mendapat dukungan dari negara. Din juga merasa kecewa dengan banyaknya tuduhan negatif kepada umat Islam di Indonesia. Terlebih saat melakukan aksi damai untuk meminta agar pemerintah menegakkan keadilan bagi pelaku penistaan agama, ummat Islam justru dituduh oleh pemerintah sebagai anti-kebhinekaan.
Mengapa semua ini terjadi? Jawabannya sederhana saja. Yaitu karena kelompok anti-Islam pemodal aseng memaksakan diri untuk menguasai sektor politik, setelah sebelumnya mereka telah menguasai sektor ekonomi. Dan saat ini, ketika mereka merasa dengan uang mereka telah menguasai lembaga-lembaga dan institusi negara, dan berhasil mendudukkan presiden wayang di kursi kekuasaan, mereka melihat kesempatan untuk menghantam ummat Islam yang masih menjadi ganjalan bagi ambisi mereka.
Di manapun di seluruh penjuru dunia, ketika sekelompok minoritas menguasai sektor politik, hal itu akan memicu ketegangan sosial-politik. Apalagi setelah sebelumnya kelompok minoritas itu telah menguasai sektor ekonomi. Mau menguasai dua sektor strategis sekaligus, politik dan ekonomi? Ini sudah tergolong ambisi nekad dan bahkan tidak masuk akal. Tapi mengapa justru itu pilihan kelompok minoritas tersebut?
Nafsu serakahlah yang telah mendorong mereka bertindak tidak rasional. Mereka tidak berfikir bahwa mereka akan tergulung dengan cepat setelah bentrokan itu terjadi, seperti tergulungnya PKI tahun 1965 dulu, meski kala itu mereka mendapat perlindungan Presiden Soekarno dan memiliki jutaan massa pendukungnya yang radikal.
Peringatan tentang bahaya disintegrasi bangsa Indonesia karena ulah aseng-asing telah lama disuarakan banyak ahli politik. Sebagai sebuah bangsa, dengan keunggulan sumber daya alamnya, sumber daya manusianya yang cerdas dan nasionalis serta letak geo-strategisnya, Indonesia sangat berpotensi untuk tumbuh menjadi bangsa besar dan kuat. Hal ini tentu sangat tidak diinginkan oleh kekuatan-kekuatan politik global yang mengiginkan INdonesia tetap lemah dan menjadi sapi perahan mereka. Maka berbagai rekayasa dan konspirasi pun diterapkan untuk membuat Indonesia selalu dilanda konflik dan ketegangan sektarian dan tidak lagi memiliki energi untuk tumbuh menjadi bangsa besar.
Salah satu cara untuk menjadikan Indonesia terus dilanda konflik adalah dengan memicu konflik sektarian yang telah dipraktikkan sejak pemerintahan kolonial Belanda. Untuk mengurangi bahaya konflik sentarian, para pemimpin bangsa Indonesia tidak pernah membiarkan etnis Cina menguasai dua sektor strategis sekaligus.
Presiden Soekarno sangat membatasi kekuatan ekonomi para pengusaha etnis Cina, meski beliau relatif memberi keleluasaan etnis Cina untuk berkiprah secara politik. Soekarno menjalin hubungan erat dengan pemerintah Cina, namun melarang orang-orang Cina berdagang ke daerah-daerah. Sementara Soeharto sangat membatasi kiprah mereka di dunia politik, meski beliau memberi keleluasaan bisnis kepada mereka.
Para pemodal aseng itu melihat, inilah saatnya untuk merebut kekuasaan. Selain kekuatan internal dengan menguasai simpul-simpul kekuasaan, mereka juga merasa percaya diri dengan perlindungan pemerintah Cina yang juga tengah berambisi menciptakan 'ruang hidup' bagi 1,5 miliar warganya dengan sumber daya alamnya yang terbatas dan mengincar Indonesia untuk dikuasai sebagaimana Kaisar Mongol Kubilai Khan dahulu mengincar INdonesia.
"Sekarang atau tidak sama sekali. Sekarang atau kembali seperti jaman Soekarno dan Soeharto," demikian tekad mereka.
Mereka terlalu bodoh untuk belajar dari sejarah, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat nasionalis, yang telah dipupuk sejak jaman raja Singosari Kertanegara, diwujudkan oleh Majapahit, ditempa oleh imperalisme Mongol, kolonialisme Purtugis dan Belanda, ekspansi Jepang dan pengkhianatan komunis.
Seperti Kertanegara yang tidak mau tunduk pada imperalisme superpower Mongol dan Raden Wijaya yang berhasil menghancurkan balatentara Mongol, dan para pejuang yang berhasil mengusir penjajah Belanda dan Jepang, bangsa Indonesia adalah bangsa yang tidak pernah rela dijajah oleh bangsa asing. Dan satu hal lagi, bangsa INdonesia adalah bangsa yang diberkahi Allah, dengan sumber daya alamnya yang kaya, letaknya yang strategis dan keimanan pada Allah Tuhan yang Maha Esa.(ca)
1 comment:
BarathaYudha akan terjadi sekali lg demi tegaknya keadilan dan kebenaran dibhumi nusantara..
Post a Comment