Indonesian Free Press -- Berbagai 'harapan' muncul setelah munculnya krisis diplomatik Saudi-Qatar bulan lalu. Banyak pengamat politik yang mengira bakal muncul kembali koalisi Saudi-Mesir-Suriah yang pernah mendominasi dunia Arab hingga sebelum Arab Springs. Yang lainnya mengira Saudi akan 'dibiarkan' menang di Yaman setelah mundur dari konflik Suriah yang telah menghancurkan reputasinya, juga uangnya.
Beberapa pengamat menganggap akhir konflik Suriah, yang kini semakin mendekati kenyataan, adalah kemenangan Turki dan Iran. Namun bagi Thierry Mayssan, wartawan dan pengamat politik senior dari Perancis, ini semua adalah kemenangan bagi Israel dan Turki.
"Dalam segala hal, Israel dan Turki hampir mendapatkan keuntungan dan kini tengah dalam perjalanan untuk menjadi pemenang dari perang ini," tulis Mayssan di Voltaire.org, 11 Juli.
Menurutnya dalam konflik multidimensi ini berbagai pihak mengalami kegagalan. Tidak hanya Saudi Arabia, namun juga Amerika, Inggris, Uni Eropa, hingga Palestina dan Muslim Brotherhood. Sementara bagi Suriah, meski secara fisik negaranya mengalami kehancuran, secara politis justru semakin kuat. Qatar, musuh Suriah dalam konflik, misalnya, telah membuka komunikasi dengan Damaskus.
Menurut Mayssan, pengakuan terhadap Turki telah diberikan oleh PBB, IMF dan Uni Eropa dalam pertemuan rahasia Crans-Montana awal bulan ini. Dalam pertemuan ini ketiga organisasi ini mendukung kehadiran militer Turki di Siprus, Suriah, Irak dan Qatar, meski dalam kasus Siprus, misalnya, jelas-jelas telah terjadi pelanggaran hukum internasional.
Selain itu, pertemuan President Rusia Vladimir Putin dan Presiden Amerika Donald Trump di sela-sela KTT G20 di Hamburg pada 7 Juli lalu, telah 'membalikkan meja'. Pertemuan itu molor dari jadwal awal, dari hanya setengah jam menjadi dua jam lebih. Dalam pertemuan itu, menurut bocoran yang diterima Mayssan, kedua pemimpin superpower itu sepakat untuk mengakhiri konflik Suriah dengan mengorbankan rakyat Palestina dan Kurdi, untuk menjadi santapan Israel dan Turki.
Kondisi Palestina saat ini sangat lemah. Faksi Fatah yang memerintah Tepi Barat dipimpin oleh Mahmoud Abbas yang sudah lama habis masa kepemimpinannya di Otoritas Palestina, korup dan sakit-sakitan karena tua. Dan juga publik Palestina mengetahui dengan jelas bahwa Abbas adalah agen Israel. Di sisi lain, Faksi Hamas yang menguasai Gaza juga tidak kalah lemah. Terutama oleh tindakannya yang 'tidak terhormat' dalam konflik Suriah, dengan mengkhianati Bashar al Assad yang selama bertahun-tahun menjadi pelindungan Hamas, Hamas telah kehilangan kepercayaan internasinal.
"Lebih memalukan lagi, Hamas, yang telah bersekutu dengan Mossad dan Al-Qaïda untuk membunuh para pemimpin kelompok PFLP di Kamp Pengungsi Yarmouk pada tahun 2012, harus meminta tolong Tel-Aviv untuk mendapat pengampunan," tulis Mayssan.
"Ini semua adalah dasar dari sebuah rencana besar untuk menyatukan kedua faksi Palestina, dengan menyingkirkan Mahmoud Abbas (82 tahun), dan menggantinya dengan pemimpin boneka baru, Jendral Mohammad Dahlan," tambah Mayssan.
Mohammad Dahlan sendiri adalah pemimpin yang tidak kalah buruk. Ketahuan sebagai agen Israel yang telah meracun pemimpin Palestina Yasser Arafat, ia melarikan diri ke Montenegro. Dalam beberapa tahun terakhir ia diketahui tinggal di Dubai, United Arab Emirates, menghabiskan 120 juta dollar dana yang dikorupsinya dari Otoritas Palestina. Ia akan disambut di Gaza oleh 'musuh-musuhnya' di Hamas, termasuk perdana menteri baru Yahya Sinwar, yang tidak lain adalah teman masa kecil Dahlan.
Untuk mengaburkan masa lalunya, Dahlan akan ditugaskan untuk memerangi kelompok Army of Islam, cabang Palestina untuk ISIS.
"Rencana ini, jika berhasil, akan menjadi sebuah tanda yang nyata dari berkhirnya Gerakan Perlawanan Palestina, setelah perjuangan selama 70 tahun," tulis Mayssan.
Dalam pertemuan Putin-Trump juga disepakati pembentukan tiga zona penyangga di Suriah dimana pasukan Amerika akan ditempatkan, termasuk di Golan. Dengan ini, pasukan Iran dan Hizbollah akan dijauhkan dari perbatasan Israel, dan Golan yang diduduki Israel secara ilegal tahun 1967, secara de fakto akan tetap dikuasai Israel. Kemudian, untuk mengukuhkan kedudukan Israel, pemilihan lokal akan digelar di Golan pada Oktober 2018.
Sementara itu di wilayah-wilayah yang direbut dari ISIS di Suriah utara-timur oleh milisi Kurdi, Turki akan dibiarkan untuk menyelesaikan masalahnya dengan orang-orang Kurdi. "Dengan kata lain, untuk membantai mereka (Kurdi)," tulis Mayssan.
"Persis sama dengan bagaimana dulu Amerika mendukung Kurdi melawan Saddam Hussein, sebelum meninggalkan mereka dalam semalam dalam impian negara Kurdistan. Pada akhirnya, Turki akan tetap menduduki Al-Bab, sebagaimana mereka kini menduduki Cyprus utara dan Bashiqa di Iraq," tulis Mayssan lagi.
Rakyat Palestina dan Kurdi harus membayar mahal atas kesalahan mereka berperang di luar negerinya sendiri. Demikian penutup Mayssan.(ca)
1 comment:
Harapan yang berubah menjadi keputusasaan..
Post a Comment