Friday, 25 July 2008
ANTI HABIBIE
Pada suatu siang, di awal tahun 2000 di lobby Hotel Novotel Batam, aku bertemu secara aneh dengan Bill Saragih, musisi jazz senior Indonesia. Awalnya aku janjian dengan musisi Idhang Rasyidi untuk wawancara yang akan kutulis di koran tempat aku bekerja.
Saat kami tengah duduk-duduk menunggu Idhang, tiba-tiba tanpa kuduga muncul musisi jazz senior, Bill Saragih, yang langsung menyapaku dan duduk di kursi kosong di hadapanku. Tentu saja aku terkejut setengah mati karena kami tidak pernah membuat janji sebelumnya untuk ketemu. Memang pada malam sebelumnya kami sempat bertemu, namun tidak sempat berkenalan, apalagi ngobrol banyak.
Namun hanya sebentar aku terbengong-bengong karena segera sadar apa yang menjadi penyebab terjadinya pertemuan tak terduga ini. “Ini pasti kerjaan Idhang,” kataku dalam hati. Memang Idhang adalah seorang selebritis yang mempunyai selera humor yang tinggi. Setiap ngobrol dengan anak-anak Batam Jazz Forum, ia suka menceritakan kejadian-kejadian lucu yang dialaminya bersama rekan-rekan sesama musisi jazz. Tapi tentu saja aku gembira sekali bisa bertemu dengan salah satu musisi besar Indonesia. Dan bukan Bill Saragih namanya kalau tidak bisa mencairkan suasana saat aku dilanda kegugupan mengalami kejadian yang tak terduga itu. Hanya dengan beberapa saat saja kami sudah langsung terbawa dalam suasana akrab.
Tanpa sempat aku mengajukan satu pertanyaanpun, Bill sudah banyak bercerita tentang berbagai hal, tidak saja masalah musik jazz di Indonesia, namun juga masalah politik hingga masalah pribadinya. Dengan bangganya ia bercerita tentang latar belakangnya sebagai bangsawan Batak yang karena kerusuhan sosial pasca Perang Kemerdekaan di Sumatera Utara, harus kehilangan segalanya. Dengan modal nekad ia merantau ke berbagai penjuru dunia hingga akhirnya berhasil menjadi seorang tokoh musisi jazz kenamaan.
“Saya satu-satunya orang Indonesia yang fotonya pernah muncul di halaman satu USA Today (koran dengan tiras terbesar di Amerika, pen),” ungkapnya bangga.
Tanpa terasa hampir dua jam Bill “nyerocos” hingga cerita pun merambat ke bidang politik. “Kenapa sih Habibie lebih suka ke Timur Tengah? Apa sih yang sudah diberikan orang-orang Arab itu? Bandingkan dengan Amerika yang telah banyak membantu kita,” kata Bill suatu ketika.
Habibie saat itu baru beberapa bulan sebelumnya menyerahkan jabatan Presiden kepada Abdurrahman Wahid. Pada saat itu, sebagai seorang liberal, tentu saja aku setuju dengan pandangan negatif Bill terhadap Habibie sebagaimana halnya terhadap orang-orang Arab. Bagiku saat itu, Habibie adalah icon kebangkitan Islam di Indonesia. Dan identik dengan pandanganku terhadap orang-orang Arab, bagiku saat itu Islam adalah “kebodohan”. Aku menganggap Habibie dengan ICMI-nya telah menghambat arah modernisasi Indonesia yang telah berjalan mulus sejak Orde Baru berkuasa. Dan Soeharto, sebagai orang yang telah memberikan kesempatan Habibie untuk berjaya, tentu saja layak dilengserkan.
Sebagai manifestasi terhadap pandangan politik tersebut aku sering mengekspresikan kebencianku pada Habibie tidak saja dalam forum-forum perdebatan warung kopi bersama rekan-rekan wartawan maupun narasumber, tapi juga pada berbagai tulisan di harian tempatku bekerja. Aku pernah menulis opini berjudul “Habibie Bukan Allende” untuk mengekspresikan pandanganku bahwa Habibie tidak lebih dari boneka Soeharto yang tidak akan berani benar-benar memperjuangkan reformasi sebagaimana Salvador Allende berani mati memperjuangkan nasionalisme Chili.
Sepengetahuanku kebencian orang-orang Islam Liberal kepada Habibie muncul di awal tahun 90-an. Saat itu Soeharto yang merasa terancam kekuasaannya oleh koalisi Moerdani-Gus Dur yang didukung oleh militer, NU dan orang-orang non-Islam, mengalihkan dukungannya kepada kalangan Islam. Agar dukungan ummat Islam bisa lebih solid, Soeharto membutuhkan seorang icon. Dan Habibie dianggap orang yang tepat, karena di samping berlatar belakang keluarga ulama, kesetiannya tidak diragukan lagi karena ia mempunyai sejarah hubungan keluarga yang cukup dekat dengan Soeharto.
Dengan Habibie dan ICMI sebagai “tameng”, Soeharto pun membabat saingan potensialnya. Moerdhani dilengserkan dari jabatan Panglima ABRI, Soedhomo dan para teknokrat UI anggota Mafia Barkeley (para teknokrat pelaksana kebijakan ekonomi pro-kapitalis Amerika) dihantam dengan kasus Eddie Thanzil, Gus Dur digoyang dari posisinya sebagai Ketua NU, dan CSIS (lembaga kajian milik orang-orang Katholik) diganti dengan CIDES (lembaga kajian yang didirikan orang-orang ICMI). ABRI yang sebelumnya didominasi oleh kelompok Moerdhani (ABRI Merah Putih) pun disingkirkan dan diganti dengan ABRI Hijau. Adapun Arswendo Atmowiloto yang mencoba test case kekuatan Islam harus mendekam di penjara akibat kasus tabloid Monitor. Gus Dur cs yang mencoba membangun basis ekonomi dengan menggaet Group Bank Summa milik pengusaha keturunan Tionghoa, Williem Soeryadjaya, dihancurkan Soeharto dengan membongkar kasus Bank Summa.
Namun saingan Soeharto bukannya tinggal diam. Gus Dur secara terang-terangan berani menentang Soeharto dengan mengadakan istighosah kubro di Senayan. Ia pun menetapkan Hari Raya Idhul Fitri sendiri yang berbeda dengan versi pemerintah. Namun perlawanan yang paling menentukan di secara sporadis dan sistematis melalui gerakan LSM-LSM yang didukung media massa kapitalis-sekuler-non Islam. Sejak orientasi politik Soeharto berubah ke Islam, muncullah berbagai LSM yang mengusung methode demonstrasi. Habibie sebagai tameng Soeharto tentu saja paling banyak mendapat “hantaman”. Berkali-kali berita miring tentangnya muncul di media massa Kompas dan Tempo. Saat pemerintah melakukan perjanjian imbal-beli pesawat CN-235 dengan beras ketan Thailand, misalnya, Kompas menulisnya sebagai headline halaman pertama dengan nada sinis seolah-olah mengejeknya. Apalagi saat pesawat CN-235 jatuh, Kompas dan media-media sekulter dan kafir seakan berpesta pora menikmati “penderitaan” Habibie. Adapun Tempo melakukan faith accomply kepada Soeharto menjelang pemilihan wakil presiden tahun 1992 dengan menulis wawancara dengan Habibie dengan judul “Saya Siap”. Dengan melakukan itu sebenarnya Tempo berupaya menggagalkan Habibie menjadi wakil presiden, karena siapapun tahu Soeharto tidak suka “didahului”. Penulisan judul “Saya Siap” merupakan bentuk “pendahuluan” yang menyebabkan Habibie gagal melenggang ke kursi wakil presiden.
Namun hantaman paling keras terjadi pada kasus pembreidelan Tempo. Dengan gagah berani Tempo menulis masalah pembelian kapal perang eks Jerman Timur yang proyeknya ditangani Habibie. Tulisan itu bagaikan pedang bermata dua bagi Habibie dan Soeharto. Bila dibiarkan maka kekuatan yang menentang mereka akan semakin kuat. Namun jika ditumpas, kredibilitas mereka akan jatuh karena melakukan tindakan tidak populer terhadap “kebebasan pers”. Dan apa yang menjadi tujuan Tempo terjadilah saat Menpen Harmoko mem-breidel Tempo dan dua media lainnya yang mem-blow-up kasus kapal perang eks Jerman Timur. Tempo menjadi martir gerakan anti-Soeharto-Habibie yang mengantar pada kejatuhan Soeharto pada bulan Mei 1998.
Namun meski anti-Habibie, aku punya hubungan “cukup dekat” dengan keluarga Habibie di Batam. Sebagai mantan Ketua Otorita Batam keluarga Habibie memiliki basis ekonomi cukup kuat di Batam. Selain itu adik perempuan Habibie, Sri Rejeki Soedharsono, yang mempunyai bisnis pendidikan dan rumah sakit selain menjabat sebagai ketua sebuah LSM yang bergerak di bidang kesehatan, tinggal di Batam. Awalnya Sri hanya menjadi narasumber biasa bagiku. Tapi tidak lama kemudian aku menjadi wartawan “kesayangannya”. Pernah ia menunda sebuah acara penting yang diadakannya hanya karena menunggu kedatanganku untuk meliputnya.
Kembali ke Habibie, meski sempat menjadi ikon kebangkitan Islam di Indonesia, identifikasi Habibie dengan Islam semakin lama semakin pudar seiring pandangan politik Habibie sendiri yang kurang jelas membela aspirasi ummat Islam. Yang nampak justru sebaliknya, Habibie, saat menjadi presiden, lebih memperhatikan aspirasi kelompok non-Islam. Ia hampir tidak pernah mengeluarkan statemen politik, apalagi mengeluarkan kebijakan politik yang jelas-jelas pro-Islam. Kebijakan politik yang diambilnya, seperti kebebasan pers, otonomi daerah dan pembebasan tahanan politik lebih banyak memperhatikan aspirasi kalangan demokrat-liberal non-Islam seperti Christianto Wibisono, George Aditjondro, dan Arief Budiman. Dalam hal pembebasan tahanan politik bahkan ia menganaktirikan tahanan politik dari kalangan Islam. Salah satu kebijakan pertama yang dillakukan Habibie justru adalah memberikan penghargaan kenegaraan kepada istrinya sendiri, dengan alasan telah berjasa mendampinginya di masa-masa sulit selama pergantian kekuasaan.
Puncak “pengkhianatan” Habibie adalah pemberian opsi kemerdekaan kepada Timor Timur yang akhirnya berbuntut propinsi termuda itu jatuh ke tangan orang-orang non-Islam. Tidak saja dipermalukan di mata internasional karena integritas Indonesia sebagai sebuah bangsa besar telah tumbang, upaya-upaya Islamisasi yang telah susah payah diupayakan sebagian kalangan Islam di negeri mayoritas Katholik itu pun runtuh. Konon “pengkhianatan” Habibie ini hanya karena ia tergiur dengan iming-iming nominasi hadiah Nobel Perdamaian bila mau memberikan opsi kemerdekaan Timor Timur. Dan ternyata iming-iming itu hanyalah pepesan kosong belaka.
Kini, setelah jatuh dari kursi kepresidenan pun Habibie lebih memilih tinggal di Jerman, negara basis kekuatan Yahudi kapitalis internasional, daripada negeri yang telah melahirkannya. Sama seperti Christianto Wibisono, George Aditjondro dan Arief Budiman yang lebih memilih tinggal di negeri patronnya, Amerika dan Australia sembari terus mengkampanyekan kemerdekaan Papua, setelah Timor Timur lepas dari pelukan ibu pertiwi. Sesekali Habibie datang ke Indonesia, menjenguk kebun duriannya, atau bersama The Habibie Center-nya, mengurusi flu burung dan menjadi pengamat sinetron TV.
Sekitar bulan September 2006 Habibie meluncurkan buku Detik-Detik yang Menentukan yang menghebohkan karena menceritakan kontroversi pencopotan Pangkostrad Letjend Prabowo Subiyanto paska pergantian kekuasaan Soeharto ke Habibie. Entah apa maksud Habibie dengan menuliskan buku itu. Selain membuka aib dan memancing perseteruan, tidak ada satupun nilai tambah yang dihasilkan dari buku itu. Faktanya adalah Prabowo adalah salah seorang pendukung kuat Habibie. Tanpa Prabowo dan kelompok ABRI Hijau-nya, karier politik Habibie hampir tidak akan lebih tinggi dari seorang menteri biasa.
No comments:
Post a Comment