Friday, 25 July 2008

DAULAT KEBEBASAN


Suatu sore aku tengah melihat-lihat buku di toko Gramedia di Batam saat telepon genggamku berdering. Saat kuangkat terdengar suara yang sangat kukenal. LM, PR Manager PT Adhya Tirta Batam (perusahaan patungan Indonesia-Inggris yang menjadi penyedia air minum di Batam) dan mantan aktifis LSM termasuk pernah menjadi pengurus YLKI, meneleponku. Ia menyampaikan “salut” atas isi tulisanku di Harian Sijori Pos sehari sebelumnya tentang peranan wartawan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Itu adalah respons kedua yang kuterima berkaitan dengan tulisan tersebut. Yang pertama kuterima dari, Mayjend Jusuf Domi, Deputi Operasi Otorita Batam.

Tulisan tersebut terinspirasi oleh buku Pramoedya Ananta Toer yang termasyur, Sang Pemula, yang menceritakan perjuangan tokoh pergerakan nasional RM Tirtoadisuryo dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia untuk merdeka dari penjajahan Belanda.
Sebagai seorang liberalis saat itu, sudah pasti aku sangat mengidolakan Pramoedya yang karya-karyanya memberikan “pencerahan”, meski ia dicaci maki sebagai gembong PKI. Tidak heran kalau aku mengoleksi banyak buku-buku karya Pramoedya. Bagiku, hampir pasti juga bagi semua orang Indonesia yang merasa sebagai seorang demokrat liberalis, Pramoedya adalah seorang inspirator. Selain wawasannya yang sangat luas tentang eksistensi bangsa Indonesia sepanjang sejarah, sikapnya yang gigih membela kebebasan adalah sesuatu yang sangat mengagumkan. Belum lagi reputasinya di kalangan sastrawan internasional, sangat inspiratif.

Namun seiring berubahnya waktu, pandangan tersebut kini kikis sudah. Dengan segala hormat, penulis melihat Pramoedya tidak lebih dari jutaan orang-orang “bodoh” yang telah ditipu oleh teori-teori “dialektika politik” Karl Marx, atau ditipu oleh para seniman yang menyebarkan candu romantisme. Lebih jauh lagi penulis melihat kebenciannya sangat mendalam terhadap Islam, dan itu sangat tidak fair bagi seorang demokrat untuk membenci pandangan hidup orang lain dengan membabi buta. Dengan kata lain, di samping “bodoh” ia juga munafik.

Mari kita lihat beberapa karya Pramoedya. Beberapa saja, tidak perlu semuanya, di antaranya adalah Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Sang Pemula, dan Arus Balik. Pada ketiga buku tersebut Pramoedya menggambarkan tokoh-tokoh antagonis yang sama: berdarah Arab sebagai identitas pemeluk Islam. Dalam buku Arus Balik Pramoedya bahkan menjadikan tokoh antagonis berdarah Moor yang berasal dari Andalusia (Spanyol semasa diperintah Islam) sebagai sentral cerita. Meski ia agak respek terhadap Patih Unus, raja Islam Demak yang menyerang Portugis di Malaka, namun ia sangat sinis dengan politik Islamisasi Pulau Jawa oleh Raja Demak Trenggono dan menggambarkan pahlawan penakluk Jakarta sekaligus seorang “anggota” Wali Songo, Fatahillah, sebagai seorang petualang oportunis belaka.

Menurut Pramoedya, panaklukan Jakarta tidak lain terjadi karena Portugis tidak serius mempertahankan Jakarta setelah didudukinya. Terakhir, dengan keji, Pramoedya menuduh Trenggono sebagai seorang gay yang mati dibunuh oleh pasangan gay-nya sendiri. Padahal, bahkan orang Malaysia, menghormati namanya dengan mengabadikannya pada nama sebuah daerah: Trengganu.

Sementara dalam buku Sang Pemula, digambarkan RM Tirtoadisoeryo sebagai seorang pejuang yang berpandangan sosialis ekstrim yang menghalalkan cara-cara kekerasan. Padahal dalam kenyatannya RM Tirtoadisoeryo adalah seorang muslim yang turut mendirikan organisasi perjuangan Sarikat Islam. Sebagai seorang pejuang Islamis sudah barang tentu ia memiliki pandangan hidup dan perilaku Islami yang jauh dari kekerasan. Namun oleh Pramoedya hal tersebut dimanipulir sehingga timbul kesan bahwa Tirtoadisoeryo adalah seorang sosialis ekstrim. Fakta yang terjadi kemudian adalah Sarikat Islam terpecah menjadi dua, yaitu SI Putih dan SI Merah. Yang terakhir adalah SI yang telah terpengaruh dengan ajaran sosialis-komunis.

Dan fakta yang lebih mengejutkan lagi adalah bahwa Pramoedya kemungkinan besar adalah seorang antek Yahudi. Buktinya nama Bintang Timoer yang menjadi nama surat kabar yang dipimpinnya semasa Orde Lama adalah nama sebuah loge, atau semacam mason, yaitu perkumpulan yang didirikan Yahudi untuk mengendalikan dunia melalui golongan elit masyarakat yang secara tidak sadar dikendalikan Yahudi.

Dalam berbagai wawancara dengan media massa, Pramoedya selalu mengungkapkan pandangan hidupnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Dengan pandangan hidup itu, hukum dan undang-undang menjadi sesuatu yang tidak berarti, terutama bila berhadapan dengan berbagai isu yang sengaja dihembuskan melalui berbagai media, seperti HAM, demokrasi, pluralisme, kebebasan berekspresi, SARA, anti-semit, dan sekularisme.
Meski bagi sebagian negara independen seperti China, Korut, Iran, Kuba dan Venezuela isu-isu seperti itu tidak cukup berarti, namun bagi mayoritas negara-negara dunia yang tergantung kepada Amerika, termasuk Indonesia, isu itu masih sangat manjur. Buktinya RUU APP yang sudah disetujui pemerintah dan DPR dan didukung oleh mayoritas rakyat Indonesia, gagal diundangkan karena penolakan segelintir orang yang menganggap RUU tersebut bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Tidak dapat dibantah lagi, kekuatan Amerika melalui media massa dan antek-antek imperalisnya yang menguasai berbagai posisi strategis di Indonesia telah membuat pemerintah berpikir dua kali untuk mengundangkan RUU APP.

Benar, para pemuja kebebasan itu secara de facto kini telah menjadi penguasa Indonesia. Tidak mengherankan jika mereka menjadi sangat arogan dan sombong. AT, wartawan Tempo dan aktivis LSM yang mengusung bendera Koalisi Anti Kekerasan dalam sebuah acara diskusi di Metro TV tentang isu “Preman Berjubah”, beberapa kali memaki lawan diskusinya dari Majelis Muslim Indonesia.

Penulis juga masih ingat bagaimana Ayu Utami, penulis novel “porno” Saman, meremehkan Rhoma Irama dalam kasus perselisihan antara Rhoma dan penari “porno” Inul Dharatista. Pada sebuah acara infotaintment, Ayu meremehkan Rhoma dengan mengatakan: “Siapa sih dia (Rhoma)?”. Gadis kemarin sore yang baru menulis dua novel seperti Ayu, sangatlah tidak pantas menempatkan diri di atas Rhoma Irama, artis yang kebesarannya tidak tertandingi oleh artis manapun di Indonesia. Namun hanya karena merasa “benar” dengan paham kebebasan berekspresi yang dimilikinya, Ayu telah menjadi sombong dan lupa dengan jati dirinya sendiri.

Pada saat tulisan ini dibuat, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) baru saja memberikan penghargaan Tasrif Award kepada Gus Dur dan Gadis Artamevia karena penolakannya atas RUU-APP. Alasan AJI aksi penolakan Gus Dur dan Gadis telah memberikan “pencerahan” bagi masyarakat Indonesia dalam memandang berbagai masalah-masalah sosial yang kontroversial, khususnya masalah pornografi. Sama seperti aksi-aksi dukungan kepada “tukang fitnah” agen rahasia asing, Sydney Jones oleh beberapa waktu lalu oleh beberapa tokoh demokrasi nasional, aksi AJI dan “orang-orang yang disukainya” itu telah menunjukkan benang merah siapa sebenarnya AJI, sebuah organisasi yang “mengharamkan” bantuan pemerintah namun “menghalalkan” bantuan asing (Yahudi?).

No comments:

Post a Comment