Thursday, 31 July 2008
DEMOKRASI MILIK SIAPA?
Ketika para pendiri negara Amerika memproklamirkan kemerdekaan bangsa Amerika Serikat tahun 1774, mereka sama sekali tidak pernah membayangkan negaranya akan dibentuk sebagai negara republik seperti sekarang, dimana semua rakyat berhak menentukan pemimpinnya melalui pemilu yang diadakan secara reguler; kekuasaan dibagi-bagi antara eksekutif, legislatif, yudikatif; dan dan penguasa dibatasi masa kekuasaan¬nya. Dalam pikiran mereka sebenarnya adalah Amerika akan dibentuk sebagai sebuah negara kerajaan sebagaimana umumnya negara-negara lainnya di dunia saat itu. Permalahannya adalah siapa yang akan dijadikan sebagai raja. Untuk itulah para pendiri Amerika kemudian berupaya mencari calon raja yang tepat.
Pemimpin kemerdekaan George Washington pada awalnya ditawari menjadi raja, namun menolak karena merasa tidak pantas mengingat ia bukan bangsawan tinggi. Para pendiri Amerika kemudian mengalihkan pandangannya kepada Charles III Edward Stuart, mantan raja Inggris yang tersingkir dari perebutan kekuasaan di negerinya dan tengah menjalani kehidupan dalam pengasingan di Florence, Italia. Ia pun menolak karena menganggap Amerika negara barbar yang tidak setara dengan negara-negara Eropa saat itu.
Akhirnya, setelah tidak ada lagi calon raja Amerika yang tepat, para pendiri Amerika memutuskan membentuk negara sendiri yang berbeda dengan negara-negara lain pada umumnya saat itu.
Acuan mereka satu-satunya tentang negara republik adalah negara Romawi (berdiri abad 7 SM). Namun sebenarnya Romawi sendiri sebenarnya bukan sebuah contoh negara republik yang baik. Keputusan rakyat Romawi mengganti sistem kerajaan menjadi republik (abad 3 SM) dimana rakyat memilih sendiri pemimpinnya hanya menimbulkan berbagai pertikaian yang terus menerus hingga akhirnya muncul Julius Caesar, seorang penguasa diktator yang menobatkan dirinya menjadi kaisar sekaligus mengakhiri sistem republik (abad 1 SM). Selama keberlangsungan Romawi yang mencapai usia 2000 tahun (runtuh pada abad 15 masehi karena penyerbuan bangsa Turki), sistem republik hanya bertahan dua abad saja.
Hal berbeda terjadi saat pemimpin kita mendirikan negara Indonesia. Tidak ada keraguan sedikitpun di antara pemimpin kita untuk membentuk negara republik. Hal ini tidak lain karena sistem negara seperti itulah yang sedang ngetrend saat itu. Lagipula para pendiri bangsa Indonesia yang berpendidikan barat tentu saja tidak memiliki wawasan lain yang lebih jelas selain demokrasi barat.
Saat ini sistem negara kerajaan yang menjadi sistem sosial yang dianut oleh manusia hampir sepanjang sejarah telah menjadi sesuatu yang langka, ditinggalkan karena dianggap kuno dan terbelakang. Selama empat ratus tahun terakhir kita menyaksikan sebuah revolusi sosial yang tidak tertandingi dalam sejarah manusia. Dan layaknya sebuah revolusi, kita telah menyaksikan berbagai peristiwa tragis selama lima ratus tahun terakhir. Di Inggris terjadi pemberontakan parlemen dan hukuman mati terhadap raja Charles II. Di Perancis terjadi revolusi menggulingkan raja Louis XVI. Di Rusia terjadi revolusi menggulingkan Tsar Nicholas II. Pendek kata di seluruh permukaan bumi terjadi perubahan sosial besar-besaran yang berujung pada penumbangan kekuasaan raja-raja, bangsawan dan pendeta menjadi suatu tata dunia baru yang dinamakan demokrasi dimana kekuasaan berada di tangan rakyat. Raja terakhir yang terguling adalah raja Nepal belum lama ini.
Perlu dicatat setidaknya ada beberapa peristiwa besar lain yang mengakselerasi revolusi global tersebut, diantaranya Gerakan Reformasi yang memecah umat Kristiani menjadi Protestan dan Katholik, Perang Krim, Perang Dunia I, Depresi Besar, dan Perang II. Setelah itu semua hampir tidak ada lagi negara-negara kerajaan yang kuat dunia sementara negara kependetaan Vatikan hanya menjadi sebuah negara simbolis. Umat Islam pun mengalami akibat yang sama dalam bentuk runtuhnya kekhilafahan Turki dan berdirinya negara-negara nasionalis Islam yang terpecah-pecah.
Mengingat tidak ada revolusi tanpa penggeraknya maka timbul pertanyaan, siapa penggerak revolusi itu? Para tokoh intelektualkah seperti Immanuel Kant, JJ Rosseau, dan Montesque yang tulisan-tulisan mereka dianggap menjadi pelopor ide–ide tentang demokrasi modern? Tentu tidak karena hanya dengan tulisan-tulisan mereka tidak akan mampu menggerakkan seratus orang untuk berdemonstrasi di jalan-jalan. Para senimankah seperti Michael Angelo, Leonardo da Vinci dan Bottichelli? Mereka pun setali tiga uang. Para jendralkah seperti Cromwell, Napoleon dan Bismarck? Mereka pun tidak akan mampu mengumpulkan seribu tentara untuk berperang terus-menerus selama sebulan saja.
Aku tidak ingin menebak-nebak figur-figur di balik revolusi dunia tersebut. Aku hanya bisa sedikit menganalisa bahwa figur-figur itu adalah orang-orang yang mempunyai kekayaan luar biasa besar sehingga bisa mempublikasikan secara massal karya-karya para filsuf dan intelektual yang mampu mem-brainstorming rakyat dan menggerakkan ribuan rakyat untuk menentang pemimpin-pemimpin mereka sendiri, membiayai petualangan jendral Cromwel dan Napoleon, membiayai Revolusi Bolshevik Rusia, serta memborong dan menjual saham-saham hingga menimbulkan kepanikan pasar pemicu peristiwa Depresi Besar.
Kita tentu sadar bahwa selama ini pikiran kita telah dimonopoli oleh beberapa “kebenaran” yang sudah diterima umum selama berpuluh tahun seperti demokrasi, liberalisme, sekularisme, persaingan bebas, dan sebagainya. Namun meskipun selama ratusan tahun “nilai-nilai ideal” tersebut diterapkan oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia, keadaan dunia jauh dari kondisi ideal: peperangan, kerusuhan, penindasan, kemiskinan, ketidak adilan dan kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana.
Hal ini pun sangat dirasakan oleh rakyat Indonesia beberapa tahun terakhir, justru sejak gerakan reformasi berhasil menumbangkan kekuasaan tiran rejim Orde Baru. Sejak reformasi Indonesia dipuji-puji sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Namun kondisi riel rakyat justru semakin sengsara. Pertikaian dan kerusuhan terjadi di mana-mana karena pilkada. BBM dan sembako semakin langka dan harganya terus membumbung naik. Aset-aset nasional semakin banyak dikuasai orang asing. Fenomena gizi buruk semakin banyak terjadi dimana-mana.
Program-program hebat jaman Orde Baru seperti intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, transmigrasi, pembangunan infrastuktur dan pengembangan industri pun kini hanya impian kosong belaka karena pemerintah terlalu sibuk mengurusi berbagai kerusuhan, distribusi sembako, korupsi, narkoba dan kriminalitas, sementara dana APBN yang bocor di sana-sini lebih banyak untuk membayar subsidi bagi para pengemplang BLBI, membayar bunga hutang dan membiayai gaya hidup boros para pejabat publik.
Aku berfikir, setelah kegagalan model pemerintahan demokrasi selama ini, mungkin kinilah saatnya untuk kembali ke model pemerintahan lain, yaitu pemerintahan yang berlandaskan agama (theokrasi) seperti Iran, atau ke model pemerintahan diktator seperti Rusia dan China. Pilihan pertama tidak melanggar konstitusi karena UUD kita secara gamblang menyebutkan negara Indonesia lahir karena kehendak Tuhan. Pilihan kedua juga beralasan mengingat justru di negara-negara diktator seperti Rusia dan Cina pembangunan bisa dilaksanakan dengan terarah dan teratur, sehingga kesejahteraan rakyat lebih mudah tercapai. Hal ini sama dengan Indonesia di masa-masa awal dan pertengahan pemerintahan Orde Baru sebelum terbelit budaya KKN.
Dalam hal ini aku tidak sendirian. Survey yang dilakukan oleh Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Indonesia (GMPI) tahun 2006 di beberapa universitas top di Indonesia menyebutkan sebanyak 80% mahasiswa memilih syariah Islam sebagai dasar negara (Kompas, 4/3/08). Forum Rektor dalam Konvensi Kampus III di Yogyakarta tahun 2006 juga telah mengusulkan agar dilakukan kaji ulang terhadap konstitusi negara. Maka boleh jadi kinilah saat yang tepat untuk mencoba model pemerintahan alternatif tersebut.
No comments:
Post a Comment