Wednesday, 6 August 2008

Aku dan Dunia Wartawan

Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar sebenarnya aku telah bercita-cita untuk menjadi wartawan. Kesan pertama dunia kewartawanan kudapat dari seorang tetanggaku yang menjadi wartawan di kantor berita Antara di Jakarta. Meski jarang bertemu karena kesibukannya di ibukota, aku menangkap kesan menarik atas kehidupan wartawan. Kesan itu semakin kuat saat tetangga tadi memberi hadiah untuk Bapakku sebuah buku berjudul “Sekitar Tanggal dan Penggalinya” terbitan Yayasan Idayu, yang berisi polemik di media massa tentang tanggal penggalian Pancasila yang dipicu oleh buku karangan Profesor Nugroho Nutosusanto.
Hobiku membaca buku sejarah semenjak di bangku SMP juga telah menemukan para pejuang kemerdekaan Indonesia didominasi oleh kalangan jurnalis. Hal itu semakin membuatku mengagumi profesi wartawan. Puncaknya terjadi tahun 2000 setelah Aku membaca buku karangan Pramoedya Ananta Toer berjudul “Sang Pemula”. Buku itu menceritakan kiprah RM Tirtoadisoeryo, seorang pelopor wartawan Indonesia yang berupaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan membentuk organisasi modern berwawasan nasional pertama di Indonesia, Syarekat Dagang Islam/SDI. (Ada versi lain tentang pendiri awal SDI, yaitu H. Samanhudi. Yang jelas keduanya adalah sama-sama pelopor SDI. Bedanya RM Tirtoadisoeryo mendirikan SDI di Bogor, sedangkan H. Samanhudi di Surakarta).
Namun meski terobsesi, aku cenderung membuang keinginan itu ke alam bawah sadar. Kehidupan keluargaku yang berasal dari kalangan priyayi (meskipun miskin) termasuk orang tuaku yang menjadi pegawai negeri, membuatku cenderung bercita-cita untuk menjadi seorang pegawai atau birokrat, swasta ataupun negeri. Apalagi setelah pada tahun 1989 aku diterima menjadi mahasiswa sekolah “elit” sarangnya faham ekonomi kapitalis-liberalis Indonesia yang lagu kebanggaannya sewaktu ospek adalah “Paling Sial Jadi Menteri”. (Meski hiperbola, setidaknya aku melihat tiga orang teman se-angkatanku telah menjadi tokoh muda nasional yang siap menjadi menteri karena menempuh "jalur yang tepat”)
Meski demikian obsesi menjadi wartawan kembali muncul ke alam sadar setelah tulisan opiniku berjudul “Independensi Kehakiman di Indonesia” dimuat di Harian Kompas akhir tahun 1995 menjelang kelulusanku. Sebulan sebelumnya tulisan cerpenku juga dimuat di majalah remaja Aneka.
Mungkin karena obesesi itu aku tidak pernah betah bekerja selain sebagai wartawan. Setelah lulus dan bekerja di beberapa perusahaan dan memegang beberapa posisi jabatan di Jakarta, Batam dan Bali, akhirnya obsesiku tercapai saat aku diterima menjadi wartawan di sebuah harian nasional yang terbit di Batam, akhir tahun 1998.
Dan obsesi yang tergapai itu membuatkan mabuk kepayang. Dengan penuh gairah, meski bergaji rendah (gaji pertama hanya sebesar Rp 300 ribu), aku bekerja keras, bahkan sangat keras hingga tak terasa hampir setahun aku bekerja dari pagi sampai malam tanpa libur. Liburan baru aku dapatkan setelah aku tergeletak di rumah sakit. Pertama karena kecapaian, kedua karena terkena gejala demam berdarah.
Namun kerja kerasku, bersama-sama dengan teman-temanku sekantor, membuahkan hasil yang sangat manis, terutama bagi para pemilik saham perusahaan yang merupakan salah satu anak perusahaan sebuah group media terbesar di Indonesia. Oplah harian yang awalnya hanya 6 ribuan eksemplar dalam waktu satu tahun naik menjadi 20-25 ribu eksemplar serta berhasil menjadi salah satu koran berpenghasilan iklan terbesar di Indonesia. Dengan keuntungannya, koranku bahkan berhasil mendirikan beberapa anak perusahaan yang bergerak di berbagai bidang mulai dari media massa (termasuk televisi & radio), biro travel, perhotelan hingga property, tersebar di beberapa kota seperti Batam, Tanjungpinang, Pekanbaru, Banda Aceh dan Medan.
Karierku pun berjalan lancar. Dari mulanya seorang calon reporter, aku berhasil menduduki jabatan Editor Eksekutif hanya dalam waktu dua tahun.
Namun dunia wartawan ternyata bukan seperti yang aku obsesikan seperti wartawan jaman Tirto Adisoeryo. Memang banyak enaknya jadi wartawan di daerah “basah” seperti Batam. Amplop bertebaran di sekitarku. (Setelah jadi redaktur tidak lagi berupa amplop, tetapi bentuk lain yang lebih menggiurkan). Ditambah berbagai “servis” dan “fasilitas” yang disediakan para “narasumber”, serta power dan ketenaran yang didapat karena kedekatan dengan orang-orang penting di daerah. Bagaimanapun kepentingan bisnis pemilik modal seringkali bertentangan dengan idealisme seorang wartawan. Beberapa kali aku ditegur atasan karena tulisan-tulisanku yang dianggap mengancam keberadaan koran.
Aku masih beruntung, tidak seperti rekanku yang mendapat kiriman berlembar-lembar kertas fax dari pimpinan (yang tengah berada di luar daerah) yang dengan panjang lebar mendikte bawahan dengan kalimat terakhir: “Siapa yang mengatakan si Fulan adalah raja judi?”.
Soal amplop yang beterbangan awalnya aku segan menerimanya. Namun mengingat standar gaji wartawan yang rendah meski koranku telah menjadi mesin uang yang besar, ditambah fakta tidak ada wartawan yang kutemukan bersih dari amplop hatta wartawan media besar nasional sekali pun, aku pun tidak bisa lagi menolak.
Setelah meninggalkan Batam aku masih berharap bisa menemukan dunia jurnalisme yang kuidaman dengan bekerja sebagai wartawan di Medan. Namun lagi-lagi kondisi tidak terlalu jauh berbeda, bahkan di Medan kondisinya lebih parah. Di Batam profesi wartawan masih jauh lebih dihargai dibandingkan daerah lain di Indonesia, bahkan termasuk Jakarta, karena masih ada banyak wartawan idealis di sana.
Kini, setelah banyak membaca dan mengkaji berbagai fenomena sosial-politik masyarakat, aku semakin mengenal sisi gelap dunia kewartawanan. Hampir semua wartawan (kecuali beberapa wartawan idealis yang tersisih dari mainstream dunia jurnalisme) bekerja untuk kepentingan kapitalis lokal. Kapitalis lokal itu sendiri pada akhirnya bekerja untuk kepentingan kapitalis asing.
Lihat saja bagaimana para wartawan diam seribu basa tentang keterlibatan Syamsul Nursalim atas kasus suap Arthalita terhadap jaksa Urip. Atau lihat saja bagaimana mereka begitu gencar memberitakan tuntutan pembubaran FPI seraya menyembunyikan tuntutan pembubaran Ahmadiyah. Atau bagaimana mereka begitu gencar mengkampanyekan pornoaksi goyang Inul dan “bencongisasi” televisi.
Aku sempat bermimpi menjadi seorang wartawan senior terkenal dan berpengaruh saat bertemu IRs, seorang musisi jazz terkenal tanah air. Kepadaku ia mengaku sebagai pejabat intel setingkat jendral bintang dua. Ia mengaku kenal dengan para petinggi group media tempat aku bekerja dan berjanji akan membantu karierku di dunia jurnalisme. Melalui jaringannya yang terkait dengan kepentingan asing, sangat mungkin seorang wartawan lokal seperti aku berubah menjadi seorang wartawan senior berpengaruh seperti GMh yang dulunya hanya orang desa miskin bukan siapa-siapa itu (kebetulan aku berasal dari daerah yang sama dengan GMh, hanya dia lebih udik). Tentunya setelah melalui "jalur yang tepat": mengikuti kursus atau sekolah jurnalisme di Amerika dengan beasiswa asing, menduduki jabatan strategis di media massa tempat bekerja, membentuk atau bergabung dengan LSM “pejuang demokrasi, HAM dan kebebasan”, menulis buku atau artikel-artikel kontroversial yang mendekonstruksi nilai-nilai lama, terutama agama (tidak peduli hanya sekedar menjiplak ide orang lain), dan menunjukkan loyalitas kepada kepentingan asing (seperti membela aliran Ahmadiyah atau membela aktifis LSM asing yang dideportasi pemerintah).
Jangankan hanya menjadi wartawan senior, menjadi menteri atau bahkan presiden pun sangat mungkin sekali. Di Indonesia, kepentingan asing dengan leluasa mendapatkan semua yang diinginkan: Timtim-Blok Natuna-Blok Cepu “lepas”, Playboy-Aceh-Namru 2-Abu Bakar Ba’asyir-Habib Rizhieq “aman”, Ahmadiyah-RUU APP “quo vadis”.
Tapi segera kubuang jauh-jauh mimpi itu karena aku tidak yakin betul atas pengakuan IRs mengingat ia adalah seorang entertainer yang suka becanda. Lagipula tidak lama kemudian aku pun keluar dari koran tempatku bekerja.
Kini aku tidak lagi menjadi wartawan. Namun aku masih terus menggeluti dunia tulis-menulis. Karya tulisku sudah lebih dari cukup untuk dibuat menjadi sebuah buku. Tinggal diedit sedikit dan menyiapkan sejumlah uang untuk modal cetak, maka bukuku yang terregistrasi (ISBN) sudah siap beredar di toko-toko buku.
Namun aku telah menemukan sarana lain yang lebih baik untuk mengekspresikan jiwa kewartawananku, yaitu blog ini.

No comments:

Post a Comment