Tuesday, 16 September 2008
ARUS BALIK ISREAL
“Cita-cita mewujudkan negara Israel Raya kini tidak relavan lagi. Siapa saja yang masih memimpikannya hanyalah menipu diri sendiri.”
(Perdana Menteri Israel Ehud Olmert dalam sidang kabinet awal September 2008)
Jerman sebelum Perang Stalingrad dalam Perang Dunia II, adalah kekuatan yang tak terkalahkan. Setelah menganeksasi Austria, mencaplok Chekoslovakia dan menginvasi Polandia, Jerman semakin tak terbendung dengan menguasai Skandinavia, Baltik, Belgia, Belanda, Luxemburg dan Perancis, negara-negara Balkan hingga Yunani, serta Afrika Utara. Dengan kemenangan-kemenangan yang relatif mudah itu Jerman semakin percaya diri untuk menyerang Uni Sovyet.
Serangan Jerman yang diberi sandi “Operasi Barbarossa” ini dimulai bulan Juni 1941 dengan tujuan menghancurkan kekuatan militer Sovyet melalui taktik serangan kilat blitzkrieg. Diharapkan dengan kehancuran tersebut Sovyet tidak mempunyai kekuatan lagi untuk melawan Jerman dan bersedia memberikan konsesi yang menguntungkan Jerman.
Pada mulanya pasukan Jerman dan sekutunya yang berkekuatan 190 divisi tentara dan tank serta didukung 5.000 pesawat tempur, memperoleh kemenangan yang gilang gemilang. Hanya dalam waktu 20 hari Jerman berhasil menerobos perbatasan Sovyet sejauh 400-600 km sepanjang front yang membentang dari Laut Hitam di selatan hingga Laut Baltik di utara. Dalam waktu kurang dari satu bulan kota Leningrad terkepung dan Moskow pun terancam, namun musim dingin menyelamatkan kedua kota penting Sovyet itu.
Pada musim panas bulan Juni tahun berikutnya Jerman melancarkan strategi baru, sembari meneruskan tekanan terhadap Leningrad dan Moskow, Jerman menyerbu ke selatan Sovyet untuk menguasai kawasan Kaukasus yang kaya minyak, serta kawasan delta Sungai Don dan Sungai Volga yang subur dan menjadi sumber pangan utama Sovyet. Strategi menguasai wilayah selatan Sovyet ini semakin penting mengingat di wilayah ini juga terdapat kota industri sekaligus pusat komunikasi dan transportasi Sovyet, Stalingrad.
Untuk melaksanakan strategi itu Jerman dan sekutunya mengerahkan hingga 266 divisi tentara. Separoh dari kekuatan itu diarahkan ke Kaukasus dan sisanya ke kawasan Sungai Don dan Sungai Volga dimana terdapat kota Stalingrad. Pada bulan Agustus dua pasukan besar Jerman, 6th Army dan 4th Panzer Army serta beberapa unit pasukan Italia dan Rumania, memasuki dan mengepung Stalingrad. Setelah melalui pertempuran sengit, pasukan berkekuatan 330.000 tentara dan ratusan tank itu berhasil menguasai 90% wilayah Stalingrad, namun gagal menguasai sisanya karena kegigihan perlawanan tentara dan rakyat Uni Sovyet.
Kemudian pada bulan November 1942 Sovyet melakukan counter offensive dan pada tanggal 23 berhasil mengepung pasukan Jerman yang sedang mengepung kota. Berbagai upaya dilakukan Jerman untuk menyelamatkan pasukan mereka, termasuk mengirimkan pasukan pembebas, namun gagal. Akhirnya setelah dua bulan terkepung oleh musuh serta hantaman musim dingin yang membekukan, sisa pasukan Jerman sebesar 90.000 tentara yang dipimpin panglimanya Field Marshal Von Paulus, menyerah.
Kekalahan di Stalingrad menjadi titik balik dari kejayaan Jerman. Kekalahan itu membuat moral pasukan Jerman runtuh. Sebaliknya moral pasukan Sovyet semakin tinggi sehingga secara pelan namun pasti Sovyet berhasil membalikkan keadaan dan mengusir pasukan Jerman dan menghancurkan pasukan itu di negerinya sendiri.
Tentara Israel sebelum Perang Israel vs Hezbollah bulan Juli hingga Agustus 2006 lalu adalah tentara yang tak terkalahkan oleh tentara Arab. Dalam lima kali perang antara Israel melawan bangsa-bangsa Arab, Israel tidak terkalahkan, sebaliknya mereka hampir selalu menang secara gemilang. Tahun 1948 Israel berhasil mematahkan ofensif pasukan negara-negara Arab dan mengusir bangsa Palestina dari tanah airnya. Pada perang tahun 1967 hanya dalam enam hari Israel berhasil menghancurkan angkatan udara Mesir, Siria dan Yordania dan merebut sebagian besar wilayah ketiga negara tersebut: Sinai dan Gaza milik Mesir, Dataran Tinggi Golan milik Siria, dan Tepi Barat Sungai Yordan termasuk Kota Jerussalem yang disucikan oleh ummat Islam yang sebelumnya dikuasai Yordania. Dalam perang Yom Kippur tahun 1973 Israel mematahkan ofensif Mesir dan Siria yang didukung negara-negara Arab lainnya sekaligus mengancam ibukota Siria, Damaskus dan ibukota Mesir, Kairo. Pada tahun 1982, hanya dalam waktu satu minggu serbuan ke Lebanon, Israel berhasil mencapai ibukota Beirut dan mengepungnya selama berhari-hari. Ofensif tersebut berhasil meraih tujuan yang diharapkan, yaitu mengusir para pejuang Palestina dari Lebanon.
Namun dalam perang melawan Hezbollah, satu kelompok pejuang “swasta” yang berkekuatan hanya 5.000 –an tentara, Israel mengalami kekalahan yang memalukan. Setelah satu bulan lebih menyerbu dengan lebih dari 30.000 pasukan dan ratusan tank, Israel hanya berhasil memasuki Lebanon beberapa ratus meter saja dari perbatasan. Sementara mereka harus kehilangan 123 tentara, 124 tank, 4 helikopter Apache, satu kapal patroli, satu kapal perang dan puluhan kendaraan perang.
Memang secara kuantitatif kekalahan itu tidak memberikan dampak berarti bagi kemampuan militer Israel yang mendapat dukungan tanpa batas dari Amerika. Namun hal itu cukup untuk meruntuhkan moral mereka. Sebaliknya bagi Arab, kemenangan itu sungguh sebagai suatu yang sangat berharga yang mampu membangkitkan kembali rasa percaya diri mereka dalam menghadapi konflik berikutnya melawan Israel. Berbagai komentar pun muncul di media massa Arab.
“Ini adalah pertama kalinya bangsa Arab bertempur dengan benar dan gigih dan menang sekaligus memberikan kekalahan kepada Israel, secara militer, ekonomi, moral dan politik. Kekalahan Israel di Lebanon ini sangatlah besar dampaknya. Dan Hizbullah… akan tetap menjadi bagian dari pemerintahan Lebanon dan sekarang telah menjadi pahlawan bagi dunia Arab, ” kata kolumnis Badrya Darwish dalam editorial Kuwait Times.
Para pengamat politik dan ahli strategi memandang kekalahan Israel ini sebagai sebuah momentum yang sangat penting yang akan memberikan inspirasi kepada kebangkitan bangsa Arab khususnya dan ummat Islam umumnya. Hampir dapat dipastikan dalam waktu tidak lama lagi akan terjadi perubahan peta politik di negara-negara Arab. Regim-regim “moderat” yang pro-Israel/Amerika seperti Arab Saudi, Mesir, Yordania, dan negara-negara teluk mau tidak mau harus merubah orientasi politiknya menjadi lebih keras kepada Israel dan Amerika atau mereka akan ditinggalkan rakyatnya sendiri.
Selain kekalahan perang, tanda-tanda kekalahan Israel tampak pula dalam konteks hubungan internasional. Venezuela, sebagai protes atas kekejaman Israel di Lebanon, menarik pulang perwakilannya di Israel. Sementara itu langkah lebih keras ditunjukkan oleh Costa Rica dan El Salvador, dua negara terakhir yang masih menempatkan kedutaan besarnya di Kota Jerussalem, kota pendudukan Israel yang diklaim Palestina dan diakui PBB sebagai bagian dari Palestina. Costa Rica dan El Salvador telah memindahkan kedutaan besarnya dari Jerussalem ke Tel Aviv tidak lama setelah Perang Lebanon pecah.
Namun kekalahan telak Israel di Lebanon terjadi dua tahun kemudian setelah rejim penguasa Lebanon yang didukungnya, tumbang di tangan Hizbullah dan diganti regin baru yang pro-Hizbullah dan pro-Syria, musuh utama Israel di Timur Tengah selain Iran.
Setiap bangsa, mempunyai umur. Setelah lahir, tumbuh, dan berjaya, bangsa tersebut akan mengalami titik balik sebelum runtuh. Hal itu terjadi di mana-mana sepanjang sejarah. Bangsa Babilonia, Mesir, Yunani, Romawi, Persia, Arab, Franka, Inggris, Ottoman, Nazi Jerman telah mengalaminya. Kini tampaknya gilirannya Israel dan Amerika.
Keterangan foto: Tentara Israel sering meledek tentara Arab sebagai "pengecut yang berlarian bila mendengar suara gemuruh tank". Namun dalam Perang Lebanon II tahun 2006 tentara Hizbullah berhasil menghancurkan puluhan tank Merkava Israel yang terkenal tangguh.
No comments:
Post a Comment