Wednesday, 24 September 2008
ISLAM ABANGAN MODEL KRATON
Di tengah-tengah maraknya kontroversi rencana penetapan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi (UUPP) oleh DPR bulan September 2008 ini saya dikejutkan dengan aksi penentangan UUPP oleh GKR Hemas, permaisuri Sultan Hamengkubuwono XII.
Keterkejutan saya disebabkan karena saya terlanjur menganggap beliau sebagai seorang sosok yang santun, berkepribadian dan berakhlak mulia sebagaimana sering digambarkan oleh media-media massa. Mestinya beliau menyadari bahwa aksinya tersebut sangat melukai perasaan umat Islam Indonesia khususnya khususnya umat Islam Yogya yang sangat gigih memperjuangkan ditetapkannya UUPP sebagai filter untuk mencegah aksi-aksi pornografi dan pornoaksi yang mengancam akhlak dan moral manusia Indonesia. Apalagi kalau dilihat dalam konteks politik dimana sang suami tengah mencari jalan (meski masih malu-malu) untuk tampil menjadi presiden Indonesia pada Pemilu 2009, langkah GKR Hemas dapat menghambat langkah sang suami.
Namun keterkejutanku tidak berlangsung lama mengingat bahwa Kraton sebagai pusat kekuasaan dan budaya Jawa telah tercatat lama sebagai pusat kekuatan anti perkembangan Islam sehingga Islam di tanah Jawa, khususnya di daerah-daerah dimana Kraton masih memegang kekuasaan spiritual seperti sekitar Solo-Yogya, pesisir selatan dan Jawa bagian tengah, Islam hanya tumbuh maksimal sebagai agama budaya bernuansa Hindu yang dikenal sebagai Islam Abangan.
Hal ini tampak jelas pada literatur-literatur dan karya-karya sastra Kraton yang sangat jauh dari nilai-nilai Islam dan hanya menampilkan Islam sebagai sebuah ritual budaya tanpa makna. Di sana-sini dalam literatur-literatur dan karya sastra Jawa kuno dipenuhi dengan pornografi. Mungkin Anda masih ingat cerita kasus publikasi buku sasta Jawa Darmogandhul Gatoloco tahun 1960-an yang menghebohkan Indonesia. Buku sastra Jawa berbalut pornografi yang menghinakan Islam itu diprotes keras umat Islam Indonesia hingga kemudian dilarang pemerintah. Namun tahun 2000-an lalu saya melihat buku ini diterbitkan kembali di Toko Buku Gramedia dan tidak ada protes masyarakat sama-sekali.
Buku sastra Jawa kuno lainnya yang pernah saya baca adalah Babad Sultan Agung. Dalam buku itu digambarkan bahkan seorang Sultan Agung yang dikenal sebagai raja yang paling Islami, yang menunaikan ibadah Haji dan selalu mengenakan peci, ternyata adalah penganut paham seks bebas. Kegiatannya selain bersemedi dan terbang melayang-layang keliling dunia, adalah bercengkerama dengan kekasih gelapnya, Roro Kidul.
Dalam kadar yang lebih rendah dari Darmogandhul, Babad Sultan Agung dipenuhi dengan pelecehan terhadap simbol-simbol Islam. Diceritakan dalam Babad Sultan Agung suatu hari Sultan Agung terbang ke Mekkah untuk beribadah di depan Ka’bah. Saat tiba ternyata ia tertinggal oleh jema’ah lain sehingga hanya mendapat tempat di bagian belakang. Di deretan paling depan ditempati para wali dan empat Imam: Hanafi, Syafi’i, Maliki, Hambali. Karena berada di belakang, Sultan Agung berdo’a dalam keadaan marah. Akibatnya Ka’bah terangkat ke atas. Melihat itu para wali dan Imam terheran-heran dan mencari tahu ada apa gerangan. Setelah tahu keberadaan Sultan Agung, mereka meminta ma’af kepadanya dan memintanya untuk duduk di depan. Baru kemudian Ka’bah bisa turun kembali ke bumi.
Dalam episode lain diceritakan Sultan Agung sengaja membunuh pembantu perempuannya yang lalai. Oleh hakim agama ia dijatuhi hukuman qhisos yang eksekusinya dilakukan sendiri oleh hakim agama. Ternyata eksekusi tidak dilaksanakan meski berkali-kali dicoba. Akhirnya justru hakim agama yang harus meminta ma’af kepada raja.
Kerajaan Mataram juga mencatat sejarah hitam sebagai penghancur kebudayaan Islam Jawa yang telah dirintis oleh kerajaan Demak. Alih-alih mempertahankan Jawa sebagai kerajaan maritim Islam yang disegani, Mataram lari ke pedalaman dan memilih menjadi negara agraris berselubung mistis. Untuk menutupi kelemahannya dalam aspek kemaritiman, penguasa dan sastrawan Mataram mengarang cerita "Roro Kidul Penguasa Laut Selatan". Raja-raja Mataram juga membenci Islam sebagai kekuatan sosial politik. Mereka menyerang Giri dan Tembayat, pusat-pusat pertumbuhan Islam. Raja Amangkurat I juga membantai para ulama karena takut wibawanya tersaingi oleh para ulama.
Babad Sultan Agung juga dipenuhi dengan cerita-cerita porno yang dilakukan kerabat istana, terutama sang putra mahkota. Diceritakan menjelang pernikahan putra mahkota, Sultan Agung memerintahkan dilakukan suwuk, alias pelatihan kehidupan rumah tangga, termasuk persetubuhan, selama beberapa hari dengan pelatih seorang pelacur profesional. Kemudian di tengah-tengah pesta pernikahan sang putra mahkota berselingkuh dengan ibu mertuanya sendiri sebelum meniduri istri barunya. Dalam satu malam putra mahkota meniduri dua perempuan anak beranak.
Kehidupan kotor istana Kraton juga tertulis gamblang dalam novel Trilogi Roro Mendhut karya YB Mangun. Disebutkan dalam novel tersebut bahwa raja Mataram Amangkurat I yang tidak lain adalah anak kandung Sultan Agung hidup dalam istana khusus di tengah-tengah ribuan wanita, tanpa seorangpun saingan laki-laki. Para pengawal pribadi raja adalah sepasukan wanita muda perawan berjumlah 30 orang yang disebut Trinisat Kenya (30 orang perawan) yang siap dipetik keperawanannya kapan saja dan dimana saja oleh raja sebelum dipersembahkan sebagai hadiah untuk bawahannya yang setia.
Semua urusan pribadi raja, termasuk mandi, dilayani oleh para pelayan wanita, selir dan permaisuri. Setiap sore para selir diperintahkan mandi di kolam sementara raja mengintip dari bilik khusus untuk menentukan selir mana yang akan menemaninya tidur, satu, dua, tiga atau bahkan sepuluh orang sekaligus. Para selir yang tidak pernah disentuh raja akan mencari pelampiasan sendiri, menjadi lesbian, atau selingkuh dengan siapa saja yang bisa didapat.
Ini adalah satu cerita terkenal di jaman raja kedua Mataram Sultan Hanyokrowati: Suatu malam seorang badut istana yang berperawakan cebol menyelinap ke istana raja yang sedang berburu di luar istana. Sang badut mengenakan jubah raja dan di tengah kegelapan menggilir satu per-satu para selir termasuk permaisuri. Kejadian ini terjadi berhari-hari sampai akhirnya ketahuan orang yang menggilir para wanita istana adalah badut istana (atau selama itu para wanita itu pura-pura tidak mengetahui siapa yang “mengerjai” mereka). Bukannya dihukum mati, sang raja yang takut dengan kesaktian sang badut membiarkannya hidup bebas hingga sang raja sendiri meninggal terlebih dahulu di tengah kehinaan harga dirinya, dengan cara yang tidak kalah hina, yaitu diseruduk banteng buruannya sendiri.
Jadi kalau kemudian GKR Hemas, seorang bangsawan tinggi Jawa, melakukan aksi penentangan pelarangan pornografi dan pornoaksi, ia hanya meneruskan tradisi leluhurnya.
Keterangan gambar: GKR Hemas dalam ritual perkawinan putrinya.
No comments:
Post a Comment