Saturday, 25 October 2008
SEANDAINYA PRESIDENKU ADALAH MORALES
Indonesian Free Press -- Beberapa hari ini aku sering membayangkan menjadi warga negara asli Bolivia. Alangkah bahagianya aku saat ini karena baru saja, tepatnya tanggal 22 Oktober 2008 lalu, parlemen negeriku menyetujui referendum undang-undang baru yang memberikan keadilan bagi penduduk asli yang selama ini hanya dinikmati sekelompok minoritas pendatang kulit putih dan indo mestizo (keturunan kulit putih dan indian) di lima propinsi yang terletak di sebelah timur dan utara Bolivia. Undang-undang baru tersebut termasuk pembagian kepemilikan tanah serta bagi hasil minyak dan gas yang lebih besar bagi kepada penduduk asli Indian.
Aku membayangkan negeriku akan segera dilimpahi keadilan dan kemakmuran sebagaimana Venezuela, negeri tetanggaku yang telah terlebih dahulu melakukan kebijakan negosiasi-ulang kontrak-kontrak karya migas dengan perusahaan-perusahaan asing dan nasionalisasi paksa perusahaan-perusahaan asing yang menolak kebijakan tersebut.
Aku berdo’a kepada Tuhan semoga memberkahi presidenku, Evo Morales, yang dengan tabah telah memperjuangkan keadilan di negeriku, tanpa takut kekuasaannya jatuh dan keselamatan jiwanya yang terancam karena pemberontakan orang-orang kaya kulit putih dan indo yang didukung patron-nya, Amerika Serikat.
Selama puluhan tahun etnis indian yang merupakan penduduk asli Bolivia yang jumlahnya mayoritas, hidup terpinggirkan di gunung-gunung dan kampung-kampung sebagai petani koka. Sementara itu kota-kota, lahan-lahan perkebunan yang subur, dan ladang-ladang minyak dikuasai kelompok minoritas. Dan dengan kekayaannya mereka mampu mengendalikan negeri ini, pemerintahan-birokrat dan aparat keamanannya, untuk menjaga sumber-sumber pendapatan negeri tetap dikuasai kelompok minoritas.
Setiap tuntutan keadilan yang disuarakan penduduk asli dibungkam dengan kekerasan. Pada bulan Oktober 2003 misalnya aparat keamanan Presiden Gonzalo de Sanchez yang merupakan antek kelompok minoritas membantai para demonstran indian hingga 70 orang di antaranya meninggal dunia. Bahkan setelah penduduk asli berhasil merebut kekuasaan secara demokratis melalui pemilu yang fair dengan menempatkan Evo Morales ---seorang etnis Indian--- menjadi presiden tahun 2005, kelompok minoritas tetap ngotot menguasai perekonomian negeri itu tanpa mau membaginya dengan penduduk asli.
Mereka memberontak tatkala Morales berusaha melakukan kebijakan ekonomi pro-penduduk asli yang mayoritas. Mula-mula mereka memaksakan referendum menolak kebijakan presiden di lima propinsi penghasil minyak bulan Mei-Juni 2008. Gagal memperoleh legitimasi (tidak diakui pemerintah dan negara-negara tetangga Amerika Selatan), mereka pun melakukan pembangkangan secara fisik dengan menduduki kantor-kantor pemerintahan dan kilang-kilang minyak. Puncaknya adalah pembantaian warga indian pendukung Morales pada 11 September 2008 yang menelan korban hingga 40 jiwa. Pembantaian itu terjadi menyusul diusirnya dubes Amerika di Bolivia karena tuduhan turut melakukan konspirasi melawan pemerintah Bolivia dan mengadu-domba warga Bolivia.
Dengan kesabaran yang tiada tara, Morales menolak melakukan tindakan keras terhadap para pemberontak, kecuali Gubernur Propinsi Tando yang ditangkap karena terbukti mendalangi pembantaian tanggal 11 September. Ia mengupayakan referendum untuk memperkuat kebijakan politiknya. Referendum pertama dimenangkannya pada bulan Agustus 2008 dengan suara 67%. Referendum kedua pun dimenangkannya dengan suara meyakinkan tanggal Oktober lalu. Ditambah dukungan negara-negara Amerika Selatan yang dinyatakan dalam KTT negara-negara Amerika Selatan 15 September di Chili, Morales memiliki landasan moral tinggi untuk meneruskan kebijakan politiknya sebagaimana diharapkan sebagian besar rakyatnya.
Usai kemenangan di parlemen tanggal 22 Oktober lalu Morales berpidato di hadapan pendukungnya di depan gedung parlemen: “Proses perubahan tidak dapat lagi dibendung. Para kapitalis neo-liberal tidak dapat kembali lagi ke Bolivia.”
Namun mimpi hanyalah sebuah mimpi. Aku hidup di Indonesia. Negeri kaya raya namun mayoritas rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Para pemimpin negeriku hanya bisa memikirkan kepentingan diri, keluarganya dan partainya tanpa peduli kekayaan alam negeri ini dicuri secara besar-besaran oleh para kapitalis asing. Tanpa peduli sebagian besar rakyat negeri ini tidak tahu apakah besok hari masih bisa makan atau tidak. Tatkala berita krisis keuangan Amerika merebak, pemimpin nasional kita bak cacing kepanasan. Rapat kabinet berkali-kali bahkan hingga tengah malam. Namun tidak ada satupun kebijakan yang jelas yang diambil kecuali himbauan-himbauan klise. Upaya membangun image sebagai pemimpin yang peduli masalah ekonomi, rakyat justru melihatnya sebagai suatu kebodohan.
Di sisi lain ancaman disintegrasi begitu jelas mengancam. Aceh dan Papua adalah dua wilayah yang secara pelan namun pasti mulai terlepas dari kedaulatan Indonesia menyusul Timor Timur yang telah terlebih dahulu melepaskan diri. Dan di sisi yang lain lagi lahan-lahan produktif baik di desa maupun di kota-kota secara perlahan namun pasti jatuh ke tangan kelompok minoritas.
Ah, seandainya presidenku adalah Morales.
No comments:
Post a Comment