Thursday, 22 January 2009
(Lagi-lagi) Paradoks Amerika
Ini hanya sebagian kecil dari banyak paradoks yang dimiliki Barrack Obama selain status kelahirannya yang tidak jelas: anak haram atau anak sah (ingat saat lahir ibunya baru berumur 17 tahun, jelas dilarang menikah dalam hukum Amerika), lahir di Kenya atau di Amerika (nenek dan kerabatnya yang di Kenya serta pejabat Kenya mengklaim bahwa Obama lahir di Kenya, plus Obama tidak bersedia menunjukkan kartu kelahirannya, sehingga secara konstitusi tidak berhak untuk menjadi Presiden Amerika yang mensyaratkan seorang presiden harus lahir di Amerika). Atau paradoks lainnya tentang kebisuannya atas tragedi kemanusiaan di Gaza akibat agresi Israel, padahal ia berteriak lantang bagaikan singa, tentang berbagai masalah dunia seperti masalah nuklir Iran, Afghanistan, Irak, dan tentang krisis keuangan global.
Menjelang pelantikannya sebagai presiden terbongkar kasus menteri keuangan pilihannya, Tim Geithner, mengemplang pajak selama empat tahun.
Seorang menteri keuangan mengemplang pajak? Orang dengan kecerdasan minimal saja tahu bahwa hal itu tidak pantas dan tidak bisa dibiarkan seperti tidak pantasnya seorang ulama berkunjung ke rumah bordil.
Namun apa kata Obama tentang kasus itu? "Oh itu adalah kesalahan yang tidak disengaja," katanya. Media massa pun, yang berjasa memoles Obama menjadi "ratu adil yang ditunggu-tunggu" itu setali tiga uang. "Oh begitu tuan Presiden?". Dan Geitner pun aman pada jabatannya
Bandingkan dengan kasus Eliot Spitzner, Gubernur New York yang tersandung kasus asusila hingga harus mengundurkan diri dari jabatan. Dengan keji media massa Amerika menguliti kejahatan Spitzner seperti ia adalah seorang pembunuh kejam yang telah membunuh belasan orang. Masa lalunya yang kelam pun dibongkar kembali meski harus menyakiti hati orang-orang terdekat Spitzner. Kesalahannya adalah: ia gemar "jajan" sebagaimana kegemaran hampir semua laki-laki dewasa Amerika.
Tragisnya kemudian media massa seluruh dunia termasuk Indonesia mengikuti dengan membabi buta. Beberapa media massa nasinoal bahkan menuliskan kasus itu lengkap dengan foto Spitzner di halaman depan. Sebuah group media terbesar Indonesia menulis kasus tersebut di halaman depan semua korannya yang jumlahnya puluhan. Tidak tanggung-tanggung, penulisnya adalah sang pimpinan tertinggi group media massa itu sendiri.
Fakta yang tidak diungkap media massa adalah Spitzner, meski berdarah Yahudi, sering mengungkap kejahatan orang-orang Yahudi di New York sehingga membuat komunitas Yahudi marah kepadanya. Setelah peringatan mereka tidak digubris, maka diputuskan: Spitzner harus dihentikan. Spitzner masih beruntung, karena keputusan seperti itu pada orang lain berarti dilenyapkan dari muka bumi.
Dan lihatlah kasus yang menimpa Gubernur Illinois, Blagojevich, yang ditangkap polisi setelah ketahuan berusaha menjual kursi jabatan senator yang lowong setelah Barack Obama terpilih sebagai presiden. Blagojevich, sebagai gubernur berhak menentukan siapa yang akan mengisi kursi tersebut. Sebagai warga negara kapitalis, yang upacara pelantikan presidennya saja dibisniskan (keuntungan bisnis pelantikan Barack Obama mencapai $8 miliar dengan asumsi jumlah tamu undangan yang membayar sebanyak 1 juta orang dan tiket undangan yang dijual seharga $8.000), wajar jika ia pun membisniskan kursi jabatan senator peninggalan Barrack Obama.
Namun tiba-tiba saja, sebagaimana kasus Spitnzer, pers Amerika berubah menjadi persnya rezim Taliban atau pers rejim Wahabi Arab Saudi yang sangat ketat menjaga akhlak ummat hingga ke urusan dapur.
Ketika Obama ditanya pers tentang kasus itu, Obama dan para penasihatnya mengklaim bahwa Blagojevich bertindak tanpa sepengetahuan Obama. Namun kemudian terbongkar fakta bahwa para penasihat terdekat Obama, Rahm Emmanuel dan David Axelrod, keduanya Yahudi (ma'af, bukannya masalah RAS) telah bertemu dengan Blagojevich sebelumnya membicarakan soal kursi jabatan tersebut.
No comments:
Post a Comment