Sunday, 19 July 2009

Antara Serdadu Israel dan Hitler


"Aku harus segera pulang. Ibuku sedang menungguku. Ia pasti khawatir kalau aku tidak segera pulang," kata Mona, gadis Palestina 9 tahun sembari mendekap perutnya yang berlubang dan mengucurkan darah segar akibat ditembak tentara Israel. Di tangan yang satunya masih tergenggam permen coklat yang baru dibelinya di kedai di ujung kampung.

Seorang tenaga medis yang kemudian datang menggendongnya tahu persis apa yang tengah di hadapi Mona, yaitu maut yang tidak mungkin lagi dielakkan. Bahkan bagi seorang laki-laki dewasa yang sehat, tertembak di bagian perut oleh tembakan jarak dekat, kecuali segera mendapat pertolongan intensif, akan membawa kepada kematian. Bukan kematian yang biasa karena kematian yang dihadapi adalah kematian yang diiringi dengan rasa sakit yang sangat hebat.

Namun Mona, dengan kepolosannya, masih dapat memikirkan ibunya, yang mungkin akan marah jika melihat baju barunya kotor karena rembesan darah yang mengucur deras dari lukanya.

"Aku harus segera pulang. Ibuku pasti khawatir karena aku tidak segera pulang." Tidak lama kemudian Mona, gadis kecil yang tidak berdosa itu pun menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan tangan masih menggenggam permen coklat.

Di sudut lain tidak jauh dari tempat Mona menghembuskan nafasnya, seorang tentara Israel yang telah menembak Mona, memandang dingin drama kemanusiaan yang menyayat hati itu. Ia, satu di antara sebagian besar orang Israel yang memandang nyawa orang-orang Palestina tidak lebih berharga daripada seekor lalat.

Di tempat lain, di waktu lain di Gaza Palestina, tepatnya pada tgl 15 Oktober 1994, Iman Darweesh Al Hams, gadis Palestina berumur 13 tahun tengah tergeletak di tanah dengan wajah tertelungkup. Ia menderita luka-luka karena tembakan patroli pasukan Israel yang memergokinya. Kemudian datanglah seorang perwira Israel berpangkat kapten. Dengan dingin ditembaknya Iman dari jarak dekat. Selanjutnya dengan tenang sang kapten memberikan perintah kepada pasukannya melalui radio, "Ini komandan. Setiap benda yang bergerak di dalam zona pengawasan, bahkan jika benda itu adalah seorang anak kecil berumur tiga tahun, harus dibunuh."

Seorang serdadu yang masih mempunyai hati nurani melaporkan tindakan sang kapten ke mahkamah militer. Sang kapten pun harus menjalani tiga persidangan militer dalam jangka waktu 2 tahun sejak kejadian penembakan. Dan tebak apa yang didapatkan oleh sang kapten kemudian? : Promosi menjadi Mayor dan ganti rugi senilai 83.000 shekel.

Saya ingat dengan kisah tentang Profesor Roger Garraudy, seorang muallaf asal Perancis saat masih muda. Ketika itu, ketika terjadi perang kemerdekaan Aljazair, Garraudy muda yang kala itu menjadi kader komunis, turut membantu pejuang Aljazair melawan tentara kolonial Perancis. Suatu saat ia tertangkap pasukan kolonial dan langsung dijatuhi hukuman mati.

Komandan pasukan kolonial memerintahkan para serdadu lokal untuk mengeksekusi Garraudy. Serdadu-serdadu lokal itu, yang beragama Islam, menolak dengan alasan orang Islam tidak membunuh orang yang sudah menyerah dan tidak bersenjata. Akhirnya, Garraudy pun urung dihukum mati. Dan karena terkesan dengan sikap para serdadu lokal Aljazair, Garraudy tertarik untuk mempelajari Islam. Roger Garraudy kemudian dikenal sebagai pembela rakyat Palestina yang tangguh.

Saya juga ingat dengan Hitler yang telah memerintahkan pasukannya untuk tidak "menghabisi" pasukan ekspedisi Inggris dan sisa-sisa pasukan Perancis yang terkepung di kota pantai Dunkirk di masa awal Perang Dunia II. Akibatnya ratusan ribu pasukan Inggris dan Perancis itu berhasil menyelamatkan diri dengan berlayar ke Inggris dan kembali berperang melawan Jerman.

Boleh jadi Hitler berusaha membujuk Inggris dan Perancis untuk tidak melibatkan diri dengan masalah yang sedang dihadapi Jerman dengan Polandia dan Uni Sovyet yang menurut Hitler telah menjadi "jew occupied nations" atau negara-negara yang jatuh dalam kekuasaan keji kaum yahudi dan karenanya harus dibebaskan. Namun yang pasti, Hitler masih lebih manusiawi dibanding sang kapten tentara Israel. Setidaknya Hitler tidak menembak mati seorang gadis berumur 13 tahun yang tengah terluka dan tergeletak di tanah dengan wajah tertelungkup.


Catatan:

Dalam rangka membujuk Inggris untuk tidak melibatkan diri dalam perang, Hitler mengutus wakilnya, Rudolf Hess untuk bernegosiasi dengan pemerintah Inggris. Namun bukannya menyambut Hess sebagai tamu negara pembawa perdamaian, Hess justru ditahan bak seorang kriminal dan kemudian dibunuh secara diam-diam di dalam tahanannya.

Hitler membunuh 6 juta orang yahudi? Anda pasti bercanda. Pada tahun 1990 lalu pemerintah Polandia telah merevisi jumlah korban holocoust di Polandia dari 4,5 juta menjadi 1,5 juta. Dan Anda masih berteriak-teriak 6 juta orang? Selain itu para pemuja holocoust tidak pernah bisa membuktikan satu orang pun, hanya satu orang saja di antara jutaan yang dituduhkan, yang meninggal karena gas beracun Jerman. Dan Anda masih berteriak-teriak 6 juta orang?

Keterangan gambar: Jenazah Mona dan ibunya.

No comments:

Post a Comment