Sunday, 2 August 2009

Vladimir Putin dan Pelajaran dari Rusia


Selain Palestina, saya melihat Rusia adalah musuh nyata yang telah menghunuskan pedangnya kepada kekuatan global yahudi. Tahun lalu Rusia memukul mundur petualangan yahudi di Ossetia Selatan yang meminjam tangan Georgia. Beberapa tahun lalu Rusia memberangus jaringan bisnis kriminal para oligarh yahudi yang merajai Rusia paska runtuhnya Uni Sovyet. Saat ini pun pemerintah dan rakyat Rusia terus "berkelahi" dengan para antek yahudi: orang-orang komunis, orang-orang liberal "useful idiots", dan kaum homo.

Perang antara Rusia malawan yahudi juga dapat dilihat dari berbagai peristiwa terakhir hingga peristiwa seputar kunjungan Presiden Barrack Obama ke Rusia baru-baru ini. Sebagaimana kita tahu, Amerika adalah salah satu zionist occupied goverment yaitu negara yang pemerintahannya telah dikendalikan kekuatan kapitalis yahudi.

"Amerika harus belajar dari sejarah Rusia," kata Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin dalam pidato pembukaan World Economic Forum di Davos, Switzerland pada tgl 28 Januari 2009 lalu menyinggung langkah-langkah politik yang dilakukan Amerika untuk memojokkan Rusia.

Kritikan, tepatnya saran Putin kepada Amerika hanya berselang beberapa hari setelah Presiden Amerika Barack Obama menunjuk Kenneth Feinberg, seorang zionis yahudi sebagai pengawas kompensasi (gaji) para pengusaha Amerika, menyusul jabatan-jabatan strategis lainnya yang dipegang orang-orang yahudi.

"Kita tidak boleh menutup mata terhadap fakta bahwa semangat kebebasan usaha, termasuk prinsip tanggungjawab pribadi para pengusaha, investor, dan pemilik saham, atas tindakan-tindakan mereka telah rusak. Tidak ada alasan untuk percaya bahwa kita dapat mencapai hasil lebih baik dengan memindahkan tanggungjawab itu kepada pemerintah," tambah Putin.

Dengan defisit APBN dan defisit perdagangan Amerika yang mencapai triliunan dollar, peringatan Putin sangatlah rasional, termasuk bagi Indonesia: "Kita harus menilai kembali situasi sebenarnya dan menghapuskan hutang yang sia-sia. Benar cara ini terasa pahit untuk sementara. Namun bila tidak dilakukan maka kita hanya akan memperpanjang krisis," tambah Putin.

Beberapa hari sebelum melakukan kunjungan Rusia tgl 6 Juli lalu, Presiden Obama melakukan "serangan" halus penuh makna terhadap Putin. Menurut Obama, Putin saat ini memiliki dua tempat pijakan kaki yang berbeda. Yang satu adalah model pemerintahan Uni Sovyet era Perang Dingin, dan satunya lagi model pemerintahan Rusia modern. Ia merujuk pada Vladimir Putin sebagai perdana menteri Rusia.

Dalam wawancara dengan Associated Press Obama mengatakan, "Saat kita bekerjasama dengan Presiden Medvedev, adalah penting jika Putin mengerti bahwa pendekatan model perang dingin antara Amerika-Rusia telah ketinggalan jaman. Saya rasa Medvedev memahami hal itu. Menurut saya Putin memiliki satu kaki berdiri dengan pendekatan lama dan satu kaki dengan pendekatan baru."

Selain menyerang Putin, Obama jelas berusaha memecah belah Presiden Medvedev dengan Vladimir Putin. Namun Putin melakukan reaksi yang tepat dan "berhasil mendaratkan pukulan jab balasan" ke muka Obama.

"Kami tidak mengerti bagaimana bisa berdiri dengan dua kaki terpisah. Kami berdiri dengan kukuh di atas dua kaki kami dan selalu melihat masa depan," balas Putin. Sementara responnya atas upaya pecah belah Obama, Putin menjawab, "Presiden Medvedev tidak kurang nasionalis dibandingkan saya."

Semua pengamat politik mengetahui bahwa Presiden Medvedev tidak lebih dari "murid yang patuh" terhadap Vladimir Putin. Bahwa ia mewakili wajah Rusia yang akomodatif terhadap kepentingan Amerika tidak lain karena memang demikian yang diinginkan Putin.

Obama dengan tim kampanyenya dan mesin politik yahudi Chicago-nya boleh jadi sukses menjadi superstar di Amerika. Namun di Rusia, ia tidak lebih sebagai presiden biasa yang kalah populer jauh dibandingkan Putin. Bahkan lebih jauh lagi, Obama berubah menjadi seorang murid yang patuh di hadapan Putin.

Dalam satu jamuan makan pagi yang diadakan Putin untuk menyambut Obama tgl 7 Juli lalu, Putin selama satu jam tanpa jeda menguliahi Obama mengenai visi Rusia atas dunia. Putin yang mengetahui maksud kedatangan Obama untuk meminta bantuan Rusia menyediakan bantuan logistik bagi kepentingan militer Amerika di Afghanistan memanfaatkan kesempatan itu untuk menunjukkan kepada Obama bahwa Rusia-lah yang kini memegang kartu as dalam konstelasinya melawan Amerika.

Obama sendiri akhirnya mengakui ketangguhan Putin. Dalam wawancara dengan Fox News, Obama berkata: “Saya melihat Putin sebagai pribadi yang tangguh, cerdas, tidak sentimentil dan sangat pragmatis."

Dengan semua sifat-sifat yang disebutkan Obama itu Putin kini menjadi satu-satunya pemimpin dunia yang mampu menjadi lawan tangguh dominasi global yahudi, meski negara-negara ZOG (zionist occupied goverment) Amerika dan NATO-nya berupaya setengah tenaga untuk mengepung dan melemahkan Rusia. Dalam satu konflik terbuka pertama Rusia melawan ZOG di medang perang Georgia tahun lalu Rusia telah membuktikan mampu menangani konflik global yang dihadapi dengan tepat.

Apalagi dengan kekuatan sumber energi gas alam, minyak dan nuklir yang dimilikinya, Rusia lebih mudah memainkan kartu. Dan Obama, yang tidak labih dari pion dari kekuatan besar kapitalis yahudi global, tidak labih dari pemain catur amatir dibandingkan sang master Vladimir Putin.

Putin adalah pemimpin progresif yang mampu melepaskan negerinya dari jeratan kekuasaan yahudi yang telah menghancurkan negerinya paska runtuhnya Uni Sovyet akhir dekade 1980-an. Ia mengetahui sejarah Rusia dan apa yang harus dilakukannya.


PELAJARAN DARI RUSIA

"Selama bertahun-tahun kaum Yahudi tidak hanya secara bertahap menguasai setiap sektor bisnis, mereka juga menguasai tanah dengan membelinya atau mengolahnya menjadi lahan pertanian. Dengan sedikit kekecualian mereka memiliki semacam lembaga khusus yang mencurahkan perhatian untuk menguasai negeri ini dengan cara-cara kotor, menipu penduduk asli termasuk yang paling miskin.” Tsar Alexander III)


Beberapa tahun yang lalu saya pernah menulis sebuah artikel berjudul sama dengan judul artikel ini, yaitu Pelajaran dari Rusia. Tulisan yang terilhami oleh romantisme novel Boris Pasternak: DR Zhivago dan buku John Reed: Ten Days that Shocked the World itu memaparkan dialektika politik Rusia menjelang dan paska Revolusi Bolshevik tahun 1917. Pesan moral yang saya sampaikan dalam tulisan itu adalah bahwa kaum komunis bolshevik berhak untuk memerintah Rusia daripada para pengikut Tsar.

Saya bersyukur tulisan itu tidak jadi dimuat di media massa, sehingga saya tidak merasa berdosa telah melakukan kebohongan kepada publik. Pasalnya banyak fakta yang tidak terungkap dalam tulisan tersebut yang membuat opini penulis tanpa sadar melenceng jauh dari fakta sebenarnya tentang sejarah Rusia.

Fakta pertama adalah para pemimpin komunis Rusia adalah Yahudi, dan fakta kedua adalah Yahudi berusaha menghancurkan Tsar Rusia karena kebencian rasialis dan ketamakan untuk berkuasa. Fakta terakhir yang paling penting namun paling banyak disembunyikan media massa dan buku-buku sejarah adalah bahwa kaum komunisme Bolshevik Rusia telah membunuh puluhan juta penduduk Kristen Rusia sebagai jalan bagi penguasaan Yahudi atas Eropa dan dunia. Pustakawan Frank Weltner bahkan menyatakan kaum komunis Yahudi membunuh 65 juta rakyat Kristen Rusia.

Winston Churchill, sejarahwan dan pemimpin dalam sebuah artikel yang dipublikasikan London Illustrated Sunday Herald tahun 1920 mengatakan: “Bolshevisme adalah sebuah konspirasi global untuk menghancurkan kebudayaan dan membentuk masyarakat baru yang berdasarkan “pembangunan diktatorial, pelanggaran hak-hak asasi, dan ilusi persamaan hak. Tanpa kesulitan kita dapat mengetahui bahwa penggerak gerakan ini adalah orang-orang Yahudi”.

Menurut Mark Weber, sejarahwan Institute for Historical Review, menjelang dan saat Revolusi tahun 1917, Yahudi menguasai posisi puncak kekuasaan kaum komunis Bolshevik. Dari 12 anggota Central Comitee yang memutuskan melakukan kudeta Revolusi Oktober 1917, 6 di antaranya adalah Yahudi. Sedangkan tujuh anggota Politbiro yang bertugas melaksanakan aksi kudeta, empat di antaranya adalah Yahudi. (The Jewish Role in the Bolshevik Revolution and Russia's Early Soviet Regime. Assessing the Grim Legacy of Soviet Communism)

Fakta sebenarnya lebih mengagetkan lagi. Bila Churcill dan Weber tidak mengetahui Lenin dan Stalin (dua orang pemimpin tertinggi Uni Sovyet pertama dan paling berpengaruh) sebagai Yahudi, Frank Weltner, pendiri The Jew Watch Project yang merilis situs internet terkenal jewwatch.com mengungkapkan bahwa keduanya adalah Yahudi. Menurut Weltner, Lenin yang lahir tahun 1870 adalah cucu buyut dari Moishe Itskovich Blank dan cucu dari Srul Moishevich Blank yang berdarah Yahudi. Untuk menyembunyikan identitas ke-Yahudi-annya nenek Lenin mengubah nama Srul Moishevich menjadi nama Rusia, Alexander Dmitrievict, tak lupa membaptiskan diri sebagai penganut Kristen.

Adapun Stalin bernama asli Joseph David Djugashvili, nama yang sangat Yahudi dimana nama Djugashvili bermakna “sang Anak Yahudi”. Selama masa revolusi Stalin mengubah namanya penggilannya menjadi “Kochba” yang tidak lain adalah nama seorang pemimpin Yahudi kuno. Orang Rusia asli tidak pernah mengubah namanya, kecuali Yahudi. Ke-Yahudi-an Stalin semakin tinggi karena ia menikahi tiga orang wanita yang semuanya adalah Yahudi. Ekaterina Svanidze, Kadya Allevijah, dan Rosa Kaganovich. Yang terakhir adalah adik perempuan Lazar Kaganovich, seorang pejabat ekonomi Sovyet.

Seorang putri Stalin, Svetlana Stalin, pindah kewarganegaraan menjadi WN Amerika tahun 1967. Di sana ia kawin dengan Mihail, anak laki-laki Lazar Kaganovich. Selanjutnya Svetlana kawin lagi dengan tiga orang laki-laki, dua di antaranya Yahudi.

Wakil Stalin di Sovyet, Molotov (terkenal dengan bom bensin temuannya), juga menikahi wanita Yahudi yang merupakan adik dari Sam Karp, seorang businessman asal Connecticut, Amerika. Selain fakta beberapa kapitalis Yahudi Amerika seperti Josept Schif menggelontorkan dana puluhan juta dolar kepada kaum bolshevik selama revolusi, semuanya itu menambah daftar hitam rekayasa yahudi dalam menciptakan komunisme guna menciptakan “Tata Dunia Baru” yang tak lain adalah tata dunia dimana Yahudi sebagai penguasa menggantikan kekuasaan Kristen-Eropa.

Mengenai pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh kaum komunis Yahudi terhadap rakyat Rusia, cukup menjadi bukti adalah fakta-fakta yang diungkapkan oleh para sejarahwan Rusia sendiri. Dmitri Volkogonov, kepala sebuah komisi khusus Parlemen Rusia baru-baru ini mengungkapkan bahwa: "dari tahun 1929 sampai 1952 sebanyak 21.5 juta warga Uni Soviet ditahan. Sepertiga di antaranya ditembak, sisanya dipenjara dimana sebagian diantaranya meninggal di penjara." Olga Shatunovskaya, seorang anggota Komisi Pengawas Partai Komunis semasa pemerintahan Perdana Menteri Khrushchev tahun 60-an mengatakan: "Dari bulan January 1935 sampai 22 Juni 1941, sebanyak 19,840,000 warga yang dianggap musuh negara ditangkap. Tujuh juta di antaranya ditembak di penjara dan sebagian besar sisanya meninggal di kamp tawanan.

Sementara itu Robert Conquest, sejarahwan Rusia terkenal mengatakan: “Sangat sulit membantah bahwa kematian warga Rusia setelah tahun 1934 melebihi 10 juta jiwa. Masih ditambah sekitar 10 juta lagi korban wabah kelaparan antara tahun 1930-1933, korban sistem kerja paksa Gulak, dan program anti-petani yang dilakukan pemerintah. Total keseluruhan adalah sekitar 20 juta jiwa.

Perlu dicatat bahwa angka-angka tersebut dibuat oleh orang-orang Rusia di bawah kekuasaan komunis yang represif. Angka-angka yang dikeluarkan ahli-ahli di luar Rusia tentu jauh lebih besar lagi. Beberapa sejarahwan menyebutkan angka 60 juta. Sebagian lainnya bahkan menyebutkan angka 100 juta.

Di antara pembunuhan-pembunuhan itu pembunuhan Tsar Nicholas II dan keluarganya adalah yang paling terkenal karena menjadi momentum kehancuran kekaisaran Rusia yang telah berlangsung ratusan tahun sekaligus menjadi kejatuhan Eropa keseluruhan dalam kekuasaan Yahudi. (Eropa sempat bangkit di bawah kepemimpinan Hitler dan Mussolini, namun hanya sebentar saja. Kini Eropa dan Amerika, kecuali Rusia yang bangkit melawan Yahudi di bawah kepemimpinan Vladimir Putin, telah jatuh bulat-bulat ke dalam kekuasaan Yahudi).

Tsar Nicholas II dibunuh oleh kaum komunis pada malam hari tanggal 17 Juli 1918 di dalam sebuah istana tempat ia menjalani tahanan setelah digulingkan. Bersama dia turut meninggal secara keji adalah permaisuri, seorang putra remaja dan empat putri kecil sang Tsar. Pembunuhan tersebut sangatlah keji mengingat Tsar adalah seorang raja dari dinasti Romanov yang telah berkuasa selama tiga abad lebih. Ia masih memiliki pertalian darah dengan raja-raja Eropa dan dikenal rakyatnya sebagai raja yang bijaksana.

Sebelumnya orang-orang Yahudi telah membuat makar yang menyebabkan Raja Charles dari Inggris dan Raja Louis XVI dari Perancis digulingkan dari singgasana dan dihukum mati oleh rakyatnya. Namun setidaknya Charles dan Louis masih dapat menjalani kematian secara terhormat karena melalui proses pengadilan, sementara Tsar Nicholas tidak. Selain itu keturunan Charles dan Louis masih sempat meraih kembali kekuasaannya meski kemudian hilang kembali, sementara Tsar Nicholas selain kehilangan tahta selamanya juga harus kehilangan seluruh keluarganya.

Beberapa saat setelah pembunuhan Tsar, koran resmi regim komunis Rusia menulis: Tanpa ampun kita akan membunuh musuh-musuh kita, ratusan bahkan ribuan. Biarkan mereka tenggelam dalam kubangan darah mereka sendiri. Demi darah Lenin dan Uritskii, biarkan membanjir darah orang-orang borjuis, lebih banyak darah, sebanyak-banyaknya.

Sementara itu tokoh komunis Grigori Zinoviev dalam sebuah pidato di sebuah rapat partai komunis tahun 1918 dengan dingin mengatakan: Kita harus menyelamatkan 90 juta dari 100 juta penduduk Rusia bersama kita. Adapun sisanya sejumlah 10 juta, mereka harus dihabisi.

Lembaran hitam kekejaman Yahudi itu kini menjadi kesadaran kolektif masyarakat Rusia sehingga kini mereka mendukung sepenuhnya program anti Ologarki dan Mafia-Yahudi yang dilancarkan Presiden (kini Perdana Menteri) Vladimir Putin.


Keterangan gambar: Vladimir Putin tengah memberikan briefing kepada Barack Obama.

No comments:

Post a Comment