Saturday, 3 October 2009

Benarkah Indonesia Dikuasai Asing?


Sinyalemen Indonesia dikuasai oleh asing sudah bukan hal aneh lagi. Belum lama berselang Indonesia dikejutkan dengan sebuah buku karangan penulis Amerika yang membuka kedok seorang mantan wartawan senior yang kemudian menjadi diplomat dan terakhir menjadi wakil presiden, sebagai agen CIA. Saya juga pernah membaca di majalah Sabili tentang Goenawan Muhammad, seorang wartawan senior dan budayawan terkemuka Indonesia yang menjadi agen utama CIA di Indonesia. Selain itu saya juga pernah membaca di tabloid Inteligen tentang kiprah Yayasan Tifa pimpinan Suciwati (istri almarhum pimpinan Kontras Munir) sebagi kepanjangan tangan George Soros serta isu jubir Presiden Dino Patti Djalal yang menjadi agen asing karena melindungi laboratorium Amerika yang kontroversial, NAMRU 2.

Dan saya juga masih terngiang-ngiang dengan sinyalemen Jendral Ryamizard Ryacudu tentang keberadaan puluhan ribu agen asing di Indonesia. Apalagi menjelang pemilu baru lalu kita disuguhi dengan isu tentang sosok agen-agen neoliberalisme dan mafia barkeley antek Amerika yang menjadi kandidat wapres, yaitu Boediono.

Tujuan agen-agen asing ini tentu saja sesuai dengan agenda asing yang tidak ingin Indonesia, negara yang luas, kaya dengan sumber alam, dan jumlah penduduk yang banyak, tumbuh menjadi negara kuat yang mampu menjadi pesaing mereka. Seperti Cina yang "lepas kendali" dan tampil sebagai kekuatan baru.

Saya telah mencoba menganalisis kaitan keberadaan agen-agen asing tersebut terhadap kehidupan bangsa Indonesia. Dari analisis singkat ini saya menyimpulkan: Indonesia memang dikuasai oleh agen-agen asing yang duduk di berbagai posisi strategis dalam pemerintahan dan dalam struktur sosial politik masyarakat Indonesia.

Beberapa indikator yang saya gunakan untuk menganalisis keberadaan agen-agen asing itu di antaranya adalah: 1. Pembangunan infrastruktur yang tertinggal. 2. Ketergantungan pada hutang asing. 3. Pengelolaan keuangan negara (APBN) yang boros dan tidak efektif. 4. Pelemahan TNI dan KPK. Tentu saja indikator-indikator itu tidak menafikan indikator lain seperti terpecah belahnya umat Islam dalam berbagai sekte, ormas dan parpol, serta merebaknya pornografi dan homonisasi (kampanye terselubung homoseksual di media massa).

Saya akan mencoba menjelaskan analisis saya sebagai berikut.

Pembangunan infrastuktur termasuk sangat tertinggal dan jauh dari kondisi ideal untuk menunjang pembangunan. Jangankan jalan antar propinsi di Kalimantan, Sulawesi atau Irian Jaya. Di Sumatera saja jalan antar propinsi sangat tidak layak. Tentu ini terkait dengan strategi pembangunan pemerintah yang "mengabaikan" faktor ini.

Ketergantungan hutang asing sangat mengganggu kinerja pembangunan Indonesia, karena pemerintah, yang sumber keuangannya dari pajak yang dibayar rakyat, harus mengalokasikan sejumlah besar dana untuk membayar cicilan hutang. Dalam setahun rata-rata pemerintah harus menyisihkan lebih dari 10% anggarannya untuk membayar cicilan dan bunga hutang. Itu masih belum termasuk komitmen-komitmen lain yang harus dikeluarkan pemerintah akibat kebijakan hutang luar negeri seperi beban bunga pinjaman BLBI yang mencapai Rp 30 triliun setahun. Tragisnya pemerintah tidak pernah punya niat untuk benar-benar melepaskan diri dari jerat hutang luar negeri. Ketika SBY gembar-gembor telah menyelesaikan hutang IMF, secara diam-diam ia menambah hutang asing dari sumber lain hingga $10 miliar setahun.

Salah satu strategi agen asing di Indonesia adalah menyusun APBN yang boros dan tidak efektif. Kita melihat bagaimana pemerintah lebih memprioritaskan pembangunan jembatan Suramadu yang tidak terlalu penting dibandingkan jembatan Jawa Sumatera. Kita juga menyaksikan betapa anggaran untuk para anggota DPR begitu tinggi sehingga mengusik rasa keadilan. Bahkan ketika rakyat menderita karena berbagai bencana yang terjadi, anggota DPR menghambur-hamburkan puluhan miliar rupiah hanya untuk seremoni pelantikan mereka.

TNI adalah satu institusi yang selain menjadi alat fungsional, juga memiliki simbol penting bagi kesatuan bangsa Indonesia. Salah satu strategi jitu untuk melemahkan Indonesia adalah dengan melemahkan TNI. Kita telah melihat pelemahan itu melalui alokasi anggaran yang kecil. Kita telah melihat bagaimana menteri keuangan Sri Mulyani memotong anggaran TNI. Pada saat yang sama ia mengucurkan triliunan rupiah untuk para kriminal di Bank Century (mayoritas sahamnya dimiliki warga asing), sekaligus mendeklarasikan diri keberpihakannya kepada kepentingan asing.

Di sisi lain KPK adalah satu institusi yang relatif berhasil mengurangi budaya korupsi di jajaran birokrasi Indonesia. Namun kita menyaksikan dengan gamblang adanya sebuah skenario untuk melemahkan KPK melalui kriminalisasi kewenangan pimpinan KPK atas restu presiden. Saya katakan presiden merestui hal ini karena sebenarnya presiden bisa mencegahnya, namun ia sengaja diam saja saat para pimpinan KPK diperkarakan oleh penyidik kepolisian.

Budaya korupsi merupakan ladang subur bagi kepentingan asing untuk menancapkan kekuasaannya. Dengan lemahnya KPK, maka dipastikan budaya korupsi di kalangan birokrat akan kembali menjadi-jadi. Dan para birokratlah sasaran utama kepentingan asing untuk dijadikan agennya.

Sebenarnya masih banyak indikator lainnya seperti keengganan pemerintah untuk mengembangkan energi alternatif, atau memberi subsidi sektor industri otomotif domestik. Presiden SBY awalnya antusias dalam program pengembangan energi alternatif. Ia pernah menggalakkan program biofuel dan membiayai proyek blue energy. Tapi kemudian ia menghentikan semuanya di tengah jalan meski dana yang sudah keluar tidak bisa dikatakan sedikit.

Proyek blue energy juga sarat dengan aksi intelejen asing. Awalnya Joko, sang pengembang teknologi ini diculik oleh sekelompok orang sehingga proyeknya terbengkalai. Setelah ditemukan kembali, media massa menjadikannya sebagai sosok pesakitan tanpa sedikit pun berupaya menguak motif di balik penculikan Joko, sebagaimana juga halnya dengan polisi. Ujungnya adalah pada kriminalisasi terhadap upaya Joko mengembangkan energi murah tersebut.

Kasus Joko tidak jauh berbeda dengan Stanley Meyer, pengembang energi alternatif hidrofuel. Setelah teknologinya terbuka ke umum, ia dikriminalisasikan oleh media massa dan terakhir ia tewas diracun. Bahkan situs wikipedia yang termasuk media pro-status quo tidak bisa menyembunyikan keanehan kematian Stanley. Sesaat setelah menandatangani kerjasama dengan seorang pejabat militer (agen inteligen yang menyamar) di sebuah restoran, Stanley mengalami sakit perut yang hebat. Ia dan dua orang saudaranya yang menyertainya berusaha menyelamatkannya ke rumah sakit terdekat. Namun saat berada di tempat parkir, Stanley Meyer menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Dalam satu wawancara Joko sebenarnya telah membuka rahasia di balik penculikannya. "Kita khan berhadapan dengan kekuatan besar di belakang bisnis energi minyak," demikian kata Joko. Dan sama dengan pembunuhan Stanley, kasus penculikan Joko juga masuk ke dalam peti es.

Di Indonesia ada satu blog yang dulu sangat populer yang isinya mendukung kebijakan pemerintah menjalankan agenda neoliberal berupa kenaikan harga BBM. Blog tersebut juga turut mengkriminalisasikan Joko dan teknologi blue energinya. Saya tahu pemilik blog itu adalah seorang agen asing kelas pemula.

Baik pemerintah Indonesia maupun Amerika kini tidak lagi peduli pada teknologi energi alternatif yang dikembangkan Joko dan Stanley. Padahal teknologi ini memiliki arti strategis yang sangat penting. Dengan teknologi ini maka dipastikan ratusan triliun uang yang dihanguskan untuk pembakaran BBM mesin setiap tahun bisa dialokasikan untuk hal lain yang berguna bagi kesejahteraan rakyat.

No comments:

Post a Comment