Tuesday, 6 October 2009
Semakin Jauh Fascisme Amerika
Jauh dari sangkaan orang, terutama orang-orang liberal demokrat penggemar program siaran Voice of America (VoA) yang disiarkan oleh MetroTV, Amerika semakin terjerumus ke dalam jurang fascisme. Terima kasih kepada orang-orang zionis yahudi yang menjadi penguasa belakang layar Amerika (meski layar itu sudah semakin terkuak). Langkah menyeret Amerika menjadi negara fascis tidak lain dimaksudkan untuk mengantisipasi munculnya "revolusi rakyat" yang kecewa dengan kondisi sosial, politik dan ekonomi yang melenceng dari nilai-nilai idel akibat korupnya sistem politik Amerika.
Menyusul berbagai undang-undang bernuansa totaliterisme anti-demokrasi seperti Patriot Act dll, penguasa belakang layar Amerika kembali berupaya mewujudkan negara Amerika yang fascis sekaligus menginjak-injak konstitusi yang telah ditetapkan oleh para pendiri bangsa. Dua undang-undang sekaligus yang bernuansa fascisme tengah diupayakan pemerintah dan anggota Congress untuk diundangkan, yaitu National Emergency Centers Establishment Act dan Handgun Safety and Registration Act.
National Emergency Centers Establishment Act (NECEA) mulai diintrodusir di parlemen Amerika (Congress) sejak bulan Januari lalu sedangkan Handgun Safety and Registration Act telah diintrodusir sejak tahun 2000 namun mendapat resistensi kuat dari masyarakat sehingga tertunda pengesahannya.
(NECEA) dirancang untuk melegitimasi Department of Homeland Security (lembaga setingkat kementrian, dipimpin oleh seorang yang dikenal luas sebagai lesbian, Janet Napolitano) untuk membangun National Emergency Centers (pusat pananganan bencana. Sering disebut juga kamp FEMA) di markas-markas militer. Saat ini sebenarnya telah ada 800 pusat penanganan bencana nasional di seluruh Amerika.
Para aktifis HAM Amerika yakin pusat-pusat penanganan bencana tersebut tidak lain adalah kamp-kamp tawanan yang digunakan untuk manahan warga negara Amerika yang menentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Kekhawatiran tersebut bukanlah tidak berdasar, selain bentuk pemerintahan yang semakin fascis, beberapa kamp penanganan bencana lebih menyerupai kamp tawanan perang dengan ribuan peti mati tertumpuk di tengah-tengah lapangan. (Lihat gambar di atas)
NECEA akan berfungsi sebagai "langkah pertama dalam proses legislasi untuk memberi otoritas membuka dan menetapkan fungsi dari fasilitas-fasilitas tersebut (pusat penanganan bencana) di masa mendatang." Penggagas utama undang-undang tersebut adalah, lagi-lagi yahudi, Steve Cohen.
NECEA dimulai dengan pembangunan kamp-kamp FEMA yang akan memberikan mandat bagi Department of Homeland Security menggunakan setidaknya 6 kamp FEMA yang telah ada untuk memberikan bantuan kepada individu atau keluarga-keluarga di saat terjadi bencana alam (atau bencana yang sengaja dibuat).
Kamp-kamp itu juga digunakan sebagai tempat latihan ketahanan sosial dengan peserta seperti tokoh-tokoh agama dan pekerja sosial yang akan membantu masyarakat di masa krisis bencana. Kamp-kamp tersebut dirancang untuk bisa ditinggali selama waktu yang cukup lama. Dana awal untuk program ini dianggarkan sebesar $360 miliar atau sekitar 3,6 kali lipat APBN Indonesia.
Terkait dengan NECEA adalah Handgun Safety and Registration Act yang diintrodusir di Congress sejak tahun 2000 oleh dua orang senator, Frank Lautenberg dan Charles Schumer. Tentu saja mereka adalah yahudi. Selain itu juga masih ada Federal Ammunition Accountability Legislation yang telah diperlakukan di 18 negara bagian. Ligislasi ini mewajibkan semua amunisi dicatat oleh pabrik pembuatnya. Amunisi yang sudah ada sebelum berlakunya undang-undang itu akan diranpas oleh aparat negara. Kedua produk hukum itu akan mengontrol keberadaan senjata dan pelurunya sekaligus.
Perlu diketahui bahwa konstitusi Amerika melindungi hak kepemilikan senjata api oleh warga negara. Bahkan karena hak inilah rakyat Amerika dahulu mengangkat senjata melawan penguasa Inggris yang ingin merampas senjata api milik seluruh rakyat Amerika. Namun karena kekhawatiran senjata-senjata api itu akan digunakan rakyat untuk melawan penguasa status quo yang semakin korup, para politisi boneka yahudi berusaha mengontrol kepemilikan dan penggunaannya.
Dan seolah tanpa lelah berusaha mengekang kebebasan rakyatnya, para politisi Amerika terus berupaya mengesahkan berbagai undang-undang yang membatasi kebebasan rakyatnya. Pada tgl 22 Juni lalu misalnya senator Frank Lautenberg, lagi-lagi yahudi karena memang etnis yahudi telah menjadi mayoritas di parlemen dan di birokrasi, mengintrodusir Denying Firearms and Explosives to Dangerous Terrorists Act. Dengan undang-undang ini hak kepemilikan senjata api rakyat Amerika bisa diambil alih oleh Jaksa Agung setiap saat meski tanpa pernah melakukan tindakan kriminal, dan hanya karena kecurigaan semata.
Perlu dicatat bahwa sampai saat ini telah terdapat 1 juta lebih warga negara Amerika yang masuk dalam daftar pengawasan FBI karena kepemilikan senjata api dan dicurigai berpotensi menjadi teroris. Namun demikian FBI tidak pernah memberikan penjelasan alasan seseorang masuk dalam daftar pengawasan.
Setelah Al Qaida, Sekarang Warga Negara Sendiri
Saat ini regim penguasa status quo Amerika telah menjadikan warga negaranya sendiri sebagai musuh selain musuhnya yang lama, Al Qaida dan Osama bin Laden. Hal ini terungkap jelas dalam sebuah laporan yang dibuat oleh Department of Homeland Security yang dipimpin oleh lesbian Janet Napolitato (Orientasi seks yang menyimpang telah menjadi hal yang wajar dalam dunia politik Amerika. Setelah Medeline Albright menjadi menlu kabinet Bill Clinton dan Condoleza Rice menjadi menlu kabinet George W Bush, kini Obama mengangkat seorang lesbian yang lain sebagai menteri, yaitu Janet Napolitato. Keberadaan Janet sebagai seorang lesbian telah diketahui umum. Ia bahkan beberapa kali menjadi cover majalah khusus kaum lesbian) berjudul "Rightwing Extremism: Current Economic and Political Climate Fueling Resurgence in Radicalization and Recruitment" dan diterbitkan bulan April lalu.
Dalam laporan tersebut disebutkan: "Kita harus melindungi negara dari para teroris domestik tanpa melihat ideologi yang menjadi dasar mereka. Pemerintah akan bekerjasama dengan negara-negara bagian dan mitra-mitra lokal untuk mencegah dan melindungi negara dari ancaman potensial yang terkait dengan meningkatnya aktivitas para ekstremist."
Jelas sekali laporan tersebut merujuk pada meningkatnya aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan warga Amerika memprotes kondisi sosial ekonomi serta politik domestik yang semakin memburuk khususnya paska krisis keuangan global yang dipicu oleh krisis kredit perumahan Amerika tahun lalu. Selain itu para ekstremis yang menjadi incaran pemerintah Amerika adalah para penentang dominasi yahudi. Laporan mengenai ekstremis domestik tersebut menyebutkan: "Contoh terbaru dari potensi kekerasan yang disebabkan meningkatnya aktivitas ekstremis domestik adalah ditembak matinya tiga orang polisi di Pittsburgh, Pennsylvania tgl 4 April 2009. Aksi tersebut diduga dipengaruhi oleh idiologi rasis dan kepercayaan mengenai teori konspirasi terkait dengan isu kebijakan penyitaan senjata api, kamp-kamp tahanan, serta pemerintahan global yang dikendalikan yahudi."
Di bagian lain juga disebutkan: "Ekstremis-ekstremis domestik di dunia maya (internet) telah menfokuskan perhatian pada isu-isu ekonomi, masalah pengangguran yang meningkat, serta penyitaan rumah. Para ekstremis anti-yahudi telah menganggap semuanya itu disebabkan oleh konspirasi para "elit bisnis keuangan". Taktik ini digunakan untuk merekrut anggota-anggota ekstremis baru dan kemudian meradikalisasi mereka yang telah mempercayai keyakinan ekstremis. Pemerintah menilai trend ini semakin tinggi saat kondisi ekonomi mengalami kemunduran.
Upaya yang dilakukan pemerintah Amerika yang status quo dan fascis tentu mendapat perlawanan dari masyarakat. Salah satunya adalah The Catholic National Law Firm atau lebih dikenal sebagai Thomas More Law Center. Lembaga masyarakat ini mengeluarkan kecaman atas laporan yang dikeluarkan Department of Homeland Security. Menurut lembaga ini laporan pemerintah tersebut telah "melanggar kebebasan sipil warganegara Amerika khususnya para veteran perang yang menjadi target pengawasan pemerintah karena orientasi politik mereka dengan diberikan label ekstremis domestik (ekstremis sayap kanan).
Istilah "ekstremis sayap kanan" biasa digunakan oleh tokoh-tokoh dan LSM-LSM yahudi untuk "menyerang" para aktivis kulit putih kristen yang memperjuangkan nilai-nilai tradisi kristen. Yahudi tentu khawatir orang-orang kristen kulit putih akan bangkit kesadaran agamanya dan kemudian membebaskan diri dari kontrol yahudi atas kehidupannya.
Keterangan gambar: Sebuah FEMA Camps di Georgia, Amerika. Lebih mirip kamp konsentrasi dengan ribuan peti mati yang telah disediakan.
No comments:
Post a Comment