Friday, 17 September 2010

Apa Sebenarnya Krisis Keuangan Itu?



Keterangan gambar: Kota tenda, fenomena baru di Amerika paska krisis keuangan global tahun 1998. Mereka adalah orang-orang yang kehilangan rumah karena krisis.


Apa yang sebenarnya terjadi pada sebuah negara saat dilanda krisis moneter atau krisis keuangan? Sungguh sebuah pertanyaan yang sangat-sangat penting namun sayangnya tidak pernah menjadi perhatian orang-orang kebanyakan. Masyarakat kebanyakan menganggap sebuah krisis keuangan yang melanda negaranya sebagai sebuah hal yang biasa, sebagaimana mereka menganggap fenomena inflasi sebagai hal yang alamiah. Padahal kedua-duanya adalah buah dari praktik kotor kriminal yang dilakukan secara sistematis.

Berani bertaruh, Anda pasti tidak mengetahui bagaimana terciptanya uang kertas hingga benda yang secara fisik tidak berharga ini berubah menjadi benda paling berharga di dunia? Saya coba bantu untuk menjelaskannya.

Pada jaman dahulu ketika emas dan perak masih menjadi alat tukar menukar dan pengukur nilai barang, banyak orang-orang kaya yang menitipkan emas dan peraknya pada orang-orang yang menjual jasa penitipan emas dan perak di samping jasa pembuatan dan jual beli perhiasan. Orang-orang ini biasa disebut goldsmith yang artinya kira-kira adalah orang yahudi tukang emas (gold=emas, smith=semit=yahudi). Adapun alasan menitipkan emas dan perak adalah karena menyimpan emas dan perak di rumah mengandung resiko tinggi.

Untuk setiap emas dan perak yang dititipkan biasanya si goldsmith memberikan semacam sertifikat atau surat keterangan yang menyebutkan jumlah emas dan perak yang dititipkan si pemilik dan pernyataan bahwa emas dan perak tersebut bisa diambil pemiliknya setiap saat dengan imbalan sejumlah uang jasa penyimpanan.

Seiring berjalannya waktu, sertifikat itu kemudian berubah fungsi menjadi alat tukar-menukar barang sebagaimana uang kertas sekarang. Ini terjadi karena orang percaya bahwa pemegang sertifikat tersebut dapat mencairkan emas dan perak yang tersebut di dalam sertifikat tersebut setiap saat, di samping alasan praktis dimana orang enggan untuk memboyong sejumlah emas dan perak ke sana kemari untuk bertransaksi.

Sampai suatu saat goldsmith melihat bahwa tumpukan emas dan perak yang dititipkan kepadanya menumpuk tak tersentuh selama waktu yang lama, karena orang sudah terpenuhi kebutuhannya akan alat tukar menukar barang dengan sertifikat yang dipegang. Maka timbul pikiran, mengapa tidak memanfaatkan emas dan perak itu sebagai pinjaman atau kredit? Bukankah hal itu merupakan rejeki nomplok, tanpa modal sendiri mereka bisa mendapatkan penghasilan tambahan berupa bunga pinjaman yang diberikan. Memang jaman dahulu bunga pinjaman diharamkan oleh agama dan masyarakat umum. Tapi bagi orang yahudi hal itu tidak masalah selama bunga itu dikenakan terhadap para peminjam goyim (non-yahudi), bukan kepada sesama yahudi.

Maka terjadilah apa yang dipikirkan goldsmith. Tanpa modal apapun dan tanpa kerja apapun dan hanya meminjamkan emas dan perak titipan pelanggannya, sang yahudi mendapatkan keuntungan. Sepanjang emas dan perak yang ditarik kembali oleh pemiliknya tidak melebihi emas dan perak yang dititipkan, sang yahudi bisa menjalankan bisnis ribanya itu.

Kemudian sang yahudi mendapatkan pemikiran baru yang lebih "cemerlang". Kepada orang-orang yang meminjam emas dan perak, ia cukup mengeluarkan sertifikat sebagaimana yang diberikan kepada orang-orang yang menitipkan emas dan perak. Dan setelah beberapa waktu, ia mendapatkan pengembalian berupa emas dan perak. Semakin banyak ia mengeluarkan pinjaman berupa sertifikat, semakin banyak ia mendapatkan keuntungan. Tidak ada bisnis yang lebih menguntungkan dibandingkan temuannya itu. Bermodal kertas, ia mendapatkan emas dan perak yang jumlahnya hanya bisa dibatasi oleh ketersediaan kertas. Sertifikat-sertifikat inilah yang kemudian berubah menjadi uang kertas hingga sekarang.

Seiring berjalannya waktu, secara sistematis sang goldsmith berhasil menumpuk emas dan perak dengan imbalan uang kertas. Kemudian karena tidak ada lagi emas dan perak yang dimiliki masyarakat kecuali perhiasan yang dipakai, sang yahudi hanya bisa mendapatkan pengembalian berupa uang kertas yang dicetaknya. Maka muncullah ide selanjutnya. Ia menahan uang kertas hingga terjadi krisis keuangan atau krisis moneter (krismon) di tengah-tengah masyarakat karena ketiadaan uang di peredaran. Saat itu harga barang-barang mengalami penurunan tajam karena uang telah menjadi komiditas yang langka dan mahal. Suku bunga yang merupakan indikator harga uang pun melonjak tajam. Banyak perusahaan dan orang-orang kaya yang jatuh bangkrut. Pada saat itulah sang yahudi memborong barang-barang dan aset-aset perusahaan yang bangkrut. Bankan setelah uang kertas persediaannya habis, sang yahudi mencetak lagi uang kertas baru untuk memborong barang-barang yang diincarnya.

Modus ini kemudian menjadi kegemaran para goldsmith. Setiap saat ingin mengeruk kekayaan masyarakat secara besar-besaran, mereka cukup menahan peredaran uang hingga terjadi krisis keuangan atau krisis moneter untuk kemudian ia menggelontorkan uang untuk memborong barang-barang dan asset-asset dengan harga murah. Dengan variasi yang lebih maju, goldsmith membujuk atau berkonspirasi dengan pemerintah untuk mengeluarkan talangan (bailout) dengan menggunakan dana pinjaman para goldsmith untuk kemudian ditanggung oleh rakyat dengan pajak yang dibayarkan. Ingat, di jaman modern para goldsmith bukan saja berubah menjadi bankir swasta, tapi bahkan menjadi pemilik bank sentral yang berwenang mencetak uang.

Perekonomian memang kembali berjalan kembali setelah terjadinya penggelontoran uang, tapi sekaligus juga terjadi inflasi karena uang kertas yang beredar juga bertambah. Inflasi sebenarnya adalah kerugian yang ditanggung masyarakat karena harus menanggung kenaikan harga barang-barang yang diakibatkan oleh terus bertambahnya uang kertas. Penambahan uang kertas bahkan terjadi meski bank-bank milik goldsmith menghentikan pencetakan uang. Hal ini terjadi karena adanya sebuah mekanisme yang disebut "cadangan minimum".

"Cadangan minimum" adalah sebuah ketentuan yang mewajibkan bank menyimpan sebagian dari modalnya sebagai cadangan untuk mencegah kebangkrutan. Katakanlah undang-undang perbankan mewajibkan cadangan minumum bank adalah 10%. Jika sebuah bank memiliki modal sebesar 100 triliun, maka bank itu berhak untuk memberikan pinjaman (kredit) hingga 90 triliun dan 10 triliun sisanya untuk cadangan. Selanjutnya karena debitur tidak mungkin menyimpan semua dana pinjamannya di rumah, mereka menabungkannya atau mendepositokannya ke bank, sementara dana lainnya yang untuk investasi pun sebagian darinya kembali disimpan atau didepositokan di bank. Katakanlah dari 90 triliun kredit yang diberikan, separohnya atau 45 triliun kembali ke bank bersangkutan, maka bank bersangkutan mendapat tambahan modal sebesar 45 triliun. Oleh bank modal tambahan itu kembali dikreditkan sesuai ketentuan cadangan minimum, yaitu sebesar 40,5 triliun dan 4,5 triliun sisanya untuk cadangan. Kemudian dari 40,5 triliun kredit yang diberikan, separohnya lagi, atau 20,25 triliun kembali ke bank dalam bentuk tabungan atau deposito. Oleh bank, dana tersebut kembali dikreditkan dengan ketentuan cadangan minimun. Seterusnya sehingga bank terus-menerus bisa memberikan kredit yang hampir tak terbatas. Dengan demikian secara efektif jumlah uang beredar di masyarakat terus bertambah meski secara fisik jumlahnya tetap. Inilah yang menjadi penyebab terjadinya inflasi.

Saya ingin memberikan contoh kasus Bank Century. Dengan maksud mengeruk kekayaan masyarakat secara mudah dan dalam jumlah super besar, pemilik dan manajemen Bank Century menggelapkan dana simpanan masyarakat. Sedemikian besar jumlah yang digelapkan sehingga Bank Century mengalami krisis likuiditas. Dengan konspirasi otoritas moneter dan keuangan, Bank Century mendapatkan talangan senilai Rp6,7 triliun yang diambilkan dari dana Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang notabene adalah dana masyarakat (sebagian bahkan berasal dari APBN). Secara fisik sebenarnya dana yang digelapkan Bank Century tidak menguap di udara melainkan tetap ada, hanya berpindah tempat ke brankas pribadi manajemen dan owner bank, dapat dipastikan sebagiannya juga ke kantong para pejabat otoritas moneter dan keuangan. Akibat adanya kucuran dana bailout, maka jumlah uang beredar bertambah yang akibat selanjutnya adalah inflasi.

Semudah dan sesederhana itu. Soal dampak sistemik yang digembar-gemborkan para pejabat moneter dan keuangan, itu hanya bualan saja.

No comments:

Post a Comment