Sunday, 7 November 2010
Sang Terpilih (10)
Keterangan gambar: Beberapa anggota tingkat tinggi "organisasi"
Jika ditanyakan kepada para lembaga-lembaga keuangan internasional itu, bagaimana jika Indungsia tidak sanggup lagi membayar cicilan dan bunganya yang mencekik leher? Mereka dengan senang hati akan memberikan tambahan hutang lagi kepada Indungsia yang khusus digunakan untuk mencicil piutang mereka. Lalu bagaimana jika hutang-hutang yang mereka berikan kepada Indungsia dilunasi saja? Mereka pasti akan keberatan, karena dengan demikian berarti mereka tidak lagi akan mendapatkan keuntungan dari bunga pinjaman yang mereka berikan.
Ya, tidak lebih karena lembaga-lembaga keuangan internasional itu adalah kumpulan rentenir yahudi. Namun di tangan mereka, praktik yang dikutuk agama-agama sepanjang peradaban manusia itu berubah menjadi sebuah "kebajikan". Media-media massa menyebut setiap pemberian pinjaman berbunga mencekik leher itu sebagai "bantuan". "Indungsia Mendapat Bantuan $4 Miliar dari IMF", adalah contoh dari ilusi yang dilakukan "organisasi" melalui media massa kaki tangannya. Yang semestinya adalah "IMF Kembali Menjerat Indungsia dengan Tambahan Hutang $4 Miliar".
Salah seorang wartawan senior binaan "organisasi" kini menjadi direktur sebuah BUMN strategis. Ialah yang telah berani membangkang Presiden Subagyo dengan memadamkan listrik di bandara internasional ibukota. Dahulunya ia hanya seorang wartawan bodhong yang setiap hari nongkrong di warung kopi berdiskusi dengan teman-teman sesama wartawan bodhong tentang siapa yang bisa "ditanduk" hari ini. Nasibnya berubah drastis setelah ia mendapatkan "wangsit" melalui mimpinya bertemu dengan seorang pendeta shaolin untuk mengubah namanya dengan membalikkan namanya dari belakang ke depan. Nama aslinya Budiman Sholeh kemudian digantinya menjadi Heloh S Namidub. Selain itu dalam wangsitnya itu ia juga diperintahkan untuk mendirikan patung kuda perunggu di dalam rumahnya. Ia yang adalah putra seorang kiai kampung, memenuhi wangsit itu. Aneh bin ajaib, nasibnya kemudian berubah 180 derajat.
Sejak saat itu Heloh S, yang nama aslinya adalah Sholeh, menjadi terobsesi dengan segala hal yang berbau Cina. Hampir setiap bulan ia pergi jalan-jalan ke negeri tirai bambu itu. Ia mendirikan yayasan kerjasama antar pengusaha Cina-Indungsia. Putra semata wayangnya pun dikawinkan dengan putri seorang pengusaha Cina. Dan ketika ia mengalami penyakit ginjal yang membuat ginjalnya harus diganti, ia memilih dirawat di Cina dan mendapat donor ginjal dari seorang warga Cina. Satu lagi, konon ia menjalin affair dengan direktur keuangan tempatnya bekerja, seorang wanita Cina tentu saja. Namun seorang wartawan senior, sesama wartawan bodhong teman sepermainan Sholeh yang nasibnya tidak juga berubah, mempunyai kisah sendiri. Menurutnya sejak kecil Sholeh memang telah terobsesi dengan Cina karena cintanya kepada seorang gadis keturunan Cina tetangganya, ditolak mentah-mentah.
Selain media massa, para ekonom birokrat "teh botol" adalah orang-orang yang paling bertanggungjawab atas terjadinya pemerasan lintah darat berkedok "bantuan" tersebut. Bagi mereka hutang adalah kewajiban dan meminta mereka berfikir bagaimana agar Indungsia terbebas dari hutang adalah seperti meminta seekor kucing untuk beranak anjing. Dan salah satu "teh botol" itu tentu saja adalah Budiloyo. Dalam acara debat politik di televisi menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden, seorang kandidat menyampaikan sebuah program yang cemerlang, yaitu menunda pembayaran hutang selama beberapa tahun agar anggaran pemerintah bisa digunakan untuk membangun infrastuktur dan investasi pembangunan sehingga perekonomian negara menjadi cukup kuat untuk menanggung beban hutang yang menumpuk. Secara moral sebenarnya Indungsia bahkan berhak untuk menyatakan menolak membayar hutang yang dipupuk oleh regim-regim korup selama ini yang lebih banyak masuk ke kantong pribadi para pejabat dan pengusaha kroninya. Tapi oleh Budiloyo ide tersebut disindirnya sebagai "tidak realistis". Tentu saja karena Budiloyo adalah kader "organisasi" yang baik.
Sebagaimana Subagyo, Budiloyo tidak pernah menjadi seorang Islam yang sebenarnya meski ia selalu berusaha mencitrakan diri sebagai seorang Islam, khususnya setelah terpilih sebagai kandidat wakil presiden. Tiba-tiba saja ia yang dari SD hingga SMA sekolah di sekolah kristen, mengaku sebagai mantan kader ormas Islam terbesar. Istrinya pun, seorang kristen Jawa bernama Christina, tiba-tiba disuruhnya berkerudung. Sebagaimana juga Subagyo, Budiloyo tetap menjalankan ritual-ritual penyembahan berhalanya seperti kebiasaan membakar kemenyan di tiap hari Jum'at, serta percaya pada angka-angka keramat. Kalau Subagyo menyukai angka 9, maka Budiloyo menyukai angka 13.
No comments:
Post a Comment