Thursday 23 December 2010

Pembangunan Kereta Api Supercepat Cina


Tgl 3 Desember lalu Cina sukses melakukan ujicoba kereta api supercepat CRH380AL yang melintas antara Beijing-Shanghai. Kecepatan maksimal yang dicapai adalah 486 km/jam, menjadi rekor dunia baru kecepatan kereta api komersial dan menjadi tonggak bersejarah perkerataapian Cina. Dengan ujicoba itu Cina berhasil membuktikan diri sebagai pemimpin teknologi perkereta apian dunia.

Sebenarnya hal itu bukan hal yang mengejutkan bagi para ahli perkereta apian Cina karena sebelumnya, pada tgl 28 September 2010, kereta api yang sama telah mencatatkan diri dalam rekor kecepatan kereta api komersial dengan catatan kecepatan 416 km/jam. Rekor dunia kecepatan kereta api memang masih dipegang oleh kereta api TGV Perancis dengan catatan 578 km/jam. Namun kecepatan itu dicapai oleh kereta api prototype yang tidak diproduksi secara komersial. Itupun dilakukan di jalur khusus dan bukan jalur komersial. Adapun rekor kecepatan kereta api komersial sebelumnya hanya sekitar 300 km/jam yang bisa dicapai oleh beberapa kereta api seperti TGV Perancis, ICE Jerman, dan Shinkansen Jepang.

Banyak pakar ekonomi yang skeptis program pembangunan kereta api cepat di negara seperti Cina, di mana sebagian besar wilayahnya adalah pedesaan dan pendapatan penduduknya belum terlalu tinggi untuk membayar biaya operasional kereta yang tinggi. Namun bagi para perencana pembangunan Cina, hal itu justru sebaliknya. Penggunaan kereta api dalam skala massal akan meningkatkan produktifitas nasional dan daya saing perekonomian dengan meningkatkan kapasitas transportasi dan menghubungkan pasar tenaga kerja. Memindahkan penumpang dengan kereta api cepat memungkinkan kereta barang bisa lebih banyak mengangkut barang, menambah pendapatan karena angkut barang lebih mahal dibandingkan penumpang. Dalam jangka pendek, pembangunan kereta api cepat menyerap banyak tenaga kerja, meningkatkan permintaan jasa konstruksi dan produk-produk konstruksi seperti semen dan baja, sehingga bisa menjadi solusi pada waktu terjadi krisis ekonomi. Sebagai contoh, pembangunan jalur khusus kereta api penumpang cepat Beijing-Shanghai menyerap 110.000 tenaga kerja. Selain itu program ini juga mendorong pertumbuhan kota-kota yang dilalui. Mengurangi kemacetan di kota-kota besar melalui koneksinya dengan jalur-jalur subway. Kereta api cepat juga mendukung kemandirian dan penghematan konsumsi energi serta mengurangi kerusakan lingkungan

Kereta api listrik membutuhkan energi yang lebih kecil untuk mengangkut garang dan penumpang dibandingkan moda transportasi lain, dan bisa menggunakan listrik dari sumber energi yang bervariasi. Tidak seperti mobil dan pesawat terbang yang lebih banyak menggunakan BBM impor. Tentu saja kereta api listrik juga lebih ramah lingkungan.

Dalam kasus Cina, teknologi kereta api cepat yang kini dimilikinya memungkinkan Cina bersaing dalam pasar produksi kereta api cepat global untuk meraup devisa yang menggiurkan. Cina kini telah mendapatkan kepercayaan untuk membangun sistem kereta api cepat di beberapa negara.

Padahal dalam hal perkereta apian cepat (kereta api dengan kecepatan di atas 200 km/jam), Cina sebelumnya jauh tertinggal dari negara-negara lain seperti Perancis, Jepang, Jerman, Inggris, Italia, Swedia bahkan Spanyol. Cina baru mencanangkan program kereta api cepat pada dekade 1990-an saat kementrian kereta api, Ministry of Railways (MOR) mengajukan program pembangunan jalur kereta api cepat Beijing-Shanghai dalam Kongres Rakyat Cina di bulan Desember 1990.

Pada saat itu jalur tersebut di atas telah mencapai titik jenuh dan program tersebut langsung mendapat tanggapan serius hingga proposal tersebut langsung dipelajari bersama-sama oleh Science & Technology Commission, State Planning Commission, State Economic & Trade Commission, dan MOR. Empat tahun kemudian, December 1994, Dewan Negara (State Council) menyetujui untuk dilakukan studi kelayakan atas proyek tersebut. Para perencana pembangunan berbeda pendapat tentang rencana tersebut. Para pendukung rencana itu menganggap program kereta api cepat akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sementara penentang rencana tersebut menganggap proyek tersebut tidak menguntungkan berdasarkan pengalaman banyak negara.

Pada tahun 1995 perdana menteri Li Peng mengumumkan rencana pembangunan kereta api cepat Cina jalur Beijing-Shanghai yang akan dimulai pada Repelita IX (1996-2000). Namun pembangunan konstruksi tidak pernah dijadwalkan hingga dekade pertama abad 21.

Sampai tahun 1994 kecepatan maksimal kereta api Cina hanya mencapai 160 km/jam, yaitu yang melayani jalur Guangzhou-Shenzhen, dengan lokomotif diesel buatan lokal DF-class. Saat itu kecepatan kereta api rata-rata di Cina adalah 54,9 km/jam dan kalah bersaing dengan moda transportasi pesawat udara dan mobil. Melalui lima tahapan pembangunan kereta api cepat Cina: April 1997, Oktober 1998, Oktober 2000, November 2001, dan April 2004, jalur kereta api penumpang sejauh 7.700 km dari jalur yang sudah ada, ditingkatkan kemampuannya sehingga bisa dilalui kereta api dengan kecepatan sub-cepat 160 km/jam. Pada tahun 1998 jalur Guangzhou-Shenzhen dielektrifikasi sehingga bisa dilalui kereta api listrik yang lebih cepat dari kereta api diesel. Kereta api listrik pertama yang melalui jalur itu adalah kereta api buatan Swedia X 2000 yang mampu melaju hingga kecepatan 200 km/jam dan menjadi kereta api cepat pertama di Cina.

Pada akhir tahapan program pada bulan April 2007, Cina telah memiliki 846 km jalur kereta api cepat yang bisa dilalui dengan kecepatan 250 km/jam, 6.009 km jalur yang bisa dilewati dengan kecepatan 200 km/jam, dan 14.000 km jalur bisa dilalui dengan kecepatan hingga 160 km/jam. Secara keseluruhan terjadi peningkatan kualitas jalur sepanjang 22.000 km atau 29% dari total jalur kereta api di Cina dan meningkatkan kecepatan rata-rata kereta api Cina hingga 70 km/jam. Pengoperasian jalur penumpang jarak jauh non-stop juga meningkatkan kecepatan rata-rata kereta api Cina. Misalnya saja jalur antara Beijing-Fuzou yang bisa dikurangi dari 33,5 jam menjadi kurang dari 20 jam.

Kecuali itu selain peningkatan kualitas track dan kuantitas skedul perjalanan, penggunaan rangkaian kereta api-kereta api cepat seri CRH (China Railway High speed) juga meningkatkan kecepatan rata-rata secara signifikan. Selama enam tahap program pengembangan kereta api cepat sebanyak 52 set kereta api cepat CRH1, CRH2 dan CRH5 telah dioperasikan dengan kecepatan maksimal operasional hingga 250 km/jam. Pada akhir tahun 2007 jumlah rangkaian kereta api cepat CRH telah mencapai 158 set. Dengan rangkaian baru itu beberapa waktu tempuh kereta api reguler berhasil dikurangi secara signifikan. Misalnya saja jarak Beijing-Shanghai (1.463 km) bisa berkurang 2 jam menjadi kurang dari 10 jam, Shanghai-Changsha (1,199 km) berkurang 1.5 jam menjadi 7,5 jam.

Peningkatan kecepatan rata-rata kereta api penumpang memungkinkan lebih banyak kereta api yang dioperasikan dalam satu periode dan meningkatkan kapasitas angkut. Namun kereta api cepat seringkali harus berbagi jalur dengan kereta barang yang biasanya memiliki rangkaian sangat panjang. Rangkaian itu kadang membutuhkan waktu hingga 5 menit untuk melintas. Maka untuk lebih meningkatkan kecepatan operasionalnya, para perencana kereta api Cina mulai mempertimbangkan jalur khusus untuk kereta penumpang cepat dalam skala besar.



Perdebatan antara Maglev dan Konvensional

Pada mulanya para perencana perkereta apian Cina memiliki dua pilihan antara mengembangkan kereta Maglev (magnetic levitation) dan kereta api cepat konvensional. Para pendukung Maglev berada di atas angin setelah pemerintah kota Shanghai pada tahun 2000 membangun kereta api Maglev untuk menghubungkan pusat kota dengan bandara internasional Shanghai. Kereta api buatan perusahaan TransRapid Jerman itu berhasil menghubungkan jarak 30,5 km dalam waktu kurang dari 7,5 menit dengan kecepatan maksimal mencapai 431 km/jam.

Namun karena pertimbangan biaya di mana kereta api Maglev membutuhkan jalur yang sama sekali baru dibandingkan kereta api cepat konvensional yang hanya memerlukan jalur lama yang di-upgrade, para perencana akhirnya mengabaikan pilihan Maglev. Proyek Maglev di Shanghai diperkirakan memakan biaya $1,3 miliar dan sampai saat ini menjadi satu-satunya kereta Maglev yang beroperasi secara komersial. Selain isu kesehatan yang dianggap mengganggu akibat radiasi elektromagnetik, akhirnya Maglev tidak jadi dikembangkan di Cina.

Sementara itu pengembangan kereta api cepat konvensional semakin menjadi perhatian penuh. Percobaan demi percobaan dilakukan Cina untuk mendapatkan kereta api cepat yang diinginkannya di jalur khusus antara Qinhuangdao-Shenyang sejauh 405 km, jalur standar (lebar 1,4 meter. Indonesia menggunakan 1,1 m), dua jalur berelektrifikasi yang dibuat antara tahun 1999 hingga 2003. Pada bulan Jun1 2002, sebuah kereta api buatan lokal berkode DJF2 mencatat kecepatan 292.8 km/jam. Disusul kemudian oleh kereta api yang dijuluki China Star (DJJ2) yang berhasil mencapai kecepatan 321 km/jam.


Sukses dengan Alih Teknologi

Meski mencatat sukses dalam hal kecepatan, kereta api DJJ2, DJF2 dan kereta buatan lokal lainnya dianggap kurang efisien untuk dioperasikan. Maka State Council memutuskan untuk menggunakan teknologi luar negeri dengan sasaran jangka panjang terjadinya alih teknologi sehingga nantinya Cina bisa membuat sendiri kereta api cepat yang efisien.

Pada tahun 2003, kementrian kereta api (MOR) hampir memutuskan untuk menjalin kerjasama secara esklusif dengan perusahaan pembuat kereta api Shinkansen Jepang untuk membuat seri 700 yang beberapa tahun kemudian diekspor Jepang ke Taiwan. Pemerintah Jepang menjamin Cina dengan pengalaman mereka selama 40 tahun sebagai negara pembuat kereta api cepat pertama di dunia selain janji untuk membantu pembiayaannya dengan imbalan memperoleh hak untuk membangun jaringan kereta api cepat sepanjang 8.000 km.

Namun kerjasama itu rupanya tidak disukai oleh sebagian rakyat Cina yang masih trauma dengan kekejaman Jepang pada PD II. Melalui dunia maya, para penentang kerjasama itu melakukan kampanye penentangan besar-besaran hingga mencapai 1 juta lebih penandatangan petisi menentang kerjasama tersebut. Hal itu memaksa MOR membuka penawaran kepada pembuat kereta api lainnya.

Pada bulan Juni 2004, MOR membuka penawaran untuk membuat 200 set kereta api cepat yang bisa berjalan dengan kecepatan 200 km/jam. Empat perusahaan mengajukan penawaran, yaitu Alstom dari Perancis pembuat TVG, Siemens Jerman pembuat ICE dan Velaro, Bombardier Transportation Jerman pembuat Regina dan konsorsium Jepang di bawah pimpinan Kawasaki pembuat Shinkansen. Dengan pengecualian Siemens yang berkukuh dengan penawaran awalnya senilai RMB(¥) 350 juta per set kereta api dan €390 juta untuk transfer teknologinya, semua penawar mendapatkan kontrak.

Dengan kontrak itu produsen diharuskan bekerjasama dengan perusahaan kereta api Cina, atau melakukan kerjasama joit venture dengan perusahaan lokal untuk mengembangkan kereta api cepat yang disesuaikan dengan kondisi Cina. Bombardier dengan dengan Sifang Locomotive and Rolling Stock Co (CSR Sifang), membentuk joint venture Bombardier Sifang Transportation Ltd (BST) membuat 40 set kereta api delapan gerbong berdasarkan disain kereta api Regina. Kereta api ini selanjutnya diberi nama CRH1 mulai dikirim tahun 2006.

Kawasaki membuat 60 set kereta api berdasar disain Shinkansen seri E2. Dari 60 set itu 3 set dikirim langsung dari Jepang, 6 set dibuat di workshop Sifang Locomotive & Rolling Stock dan sisanya dibuat di Cina melalui transfer teknologi. Kereta api ini kemudian diberi nama CRH2.

Alstom membuat 60 set kereta api berdasar disain New Pendolino yang dibuat Alstom dengan perusahaan Italia Ferroviaria. Sama dengan CRH2, kereta api yang kemudian diberi nama CRH5 ini 3 set dikirim langsung dari Perancis, 6 set dibuat di workshop Changchun Railway Vehicles dan sisanya dibuat di Cina dengan transfer teknologi.

Setahun kemudian Siemens kembali mengajukan penawaran dengan harga baru yang telah didiskon. Mereka mendapatkan proyek untuk membuat 60 set kereta api yang disainnya berdasar kereta api Velaro dan mampu berlari hingga kecepatan 300 km/jam.

Dengan teknologi yang diperoleh dari luar, Cina akhirnya berhasil membuat komponen-komponen vital kereta api super cepat yang sangat berharga nantinya untuk membuat kereta api cepat sendiri. Mitsubishi Electric mentransfer teknologi motor traksi MT205 dan transformer ATM9. Hitachi mentransfer teknologi motor traksi YJ92A, Alstom mentransfer teknologi motor traksi YJ87A, Siemens mentransfer teknologi pantograp seri TSG. Sebagian besar komponen yang digunakan untuk membuat kereta-kereta api cepat itu dibuat di dalam negeri.

Pada tahun 2005 Ministry of Railways kembali membuka penawaran proyek pembuatan kereta api super cepat yang mampu berlari dengan kecepatan 350 km/jam, sesuai dengan ambisi Cina membangun semua jalur kereta api cepatnya bisa dilalui kereta api dengan kecepatan 350 km/jam atau lebih. Proyek ini dimenangkan oleh Siemens dan CNR (China North Railway) Sifang yang membuat kereta api CRH3C, serta CSR (China South Railway) Sifang yang membuat 60 set kereta api CRH2C.

Dalam waktu dua tahun setelah kerjasama dengan Kawasasi, China South Railways (CSR) telah menguasai teknologi kereta api cepat Jepang. Maka untuk selanjutnya seluruh kereta api seri CRH2 dibuat sendiri oleh Cina tanpa bantuan perusahaan-perusahaan Jepang, termasuk kereta api CRH2B, CRH2C, dan CRH2E. Menurut Presdir CSR Zhang Chenghong, CSR "telah melakukan langkah maju untuk membuat platform dasar pembangunan kereta api cepat. Nanti kami akana membangun sendiri kereta api cepat yang bisa melaju hingga kecepatan 300 sampai 350 km/jam yang ditargetkan pada bulan Desember 2007."

Tidak sekedar berwacana, pemerintah Cina kemudian mencanangkan program pembangunan kereta api tercepat di dunia yang mampu melaju dengan kecepatan 380 km/jam yang dimulai pada bulan April 2008. Jalur khusus kereta api cepat pun dibangun antara Beijing - Shanghai pada tahun itu. Pada tahun itu pula MOR meluncurkan tiga program pembangunan kereta api super cepat yang bisa melaju dengan kecepatan 380 km/jam : Pertama adalah proyek CRH1-350 untuk membuat kereta api super cepat CRH380C/CL dengan kontraktor Bombardier dan joint venture-nya Bombardier Sifang. Kedua proyek CRH2-350 untuk membuat kereta api CRH380A/AL dengan kontraktor China South Railway). Ketiga proyek CRH3-350 untuk membuat kereta api CRH380B/BL dengan kontraktor China North Railway dan Siemens. Untuk semua proyek itu Cina memesan 400 kereta api super cepat. Yang pertama terealisasi adalah kereta api CRH380A yang segera melayani jalur reguler Shanghai-Hangzhou pada tgl 26 Oktober 2010 lalu.

Lebih jauh MOR pada tgl 19 Oktober 2010 lalu mendeklarasikan proyek ambisius, yaitu membangun kereta api super super cepat yang mampu berjalan dengan kecepatan lebih dari 500 km/jam.


PERAN PEMERINTAH

Berbeda dengan sistem ekonomi liberal/kapitalis yang mengandalkan swasta sebagai motor ekonomi, yang pada akhirnya hanya memberikan semua keuntungan kepada segelintir pemilik modal dan membuat pemerintah serta sebagian besar rakyat hanya menjadi "pelayan"-mereka, sebagaimana dialami oleh Amerika dan Eropa, Cina tetap mengandalkan peran pemerintah dalam pembangunan kereta api cepat ini.

Seluruh program ini, mulai dari perencanaan, pengelolaan dan pembiayaan semua dilakukan pemerintah. Diuntungkan oleh efisiensi ekonomi dan fokus pada program-program pembangunan yang efisien dan efektif selama belasan tahun, pemerintah Cina mampu mengalokasikan dana yang luar biasa besar untuk program ini, sementara pemerintah Amerika harus berhutang kesana kemarin untuk membiayai belanja tahunannya. Investasi yang dikeluarkan pemerintah Cina mencapai $14 miliar pada tahun 2004, $22,7 miliar tahun 2006, dan $26,2 miliar untuk tahun 2007.Bahkan pada saat terjadi krisis keuangan global tahun 2008 dan 2009 pemerintah Cina justru menambah investasinya untuk menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi dengan nilai mencapai $49,4 miliar di tahun 2008 dan $88 miliar pada tahun 2009. Secara keseluruhan pemerintah Cina mentargetkan untuk menginvestasikan dananya hingga $300 miliar untuk membangun jaringan kereta api cepat sepanjang 25.000 km hingga tahun 2020. Dibandingkan cadangan devisa Cina yang mencapai angka triliunan dollar, jumlah sebesar itu belum apa-apa.

Beberapa ekonom mengkritik program ini sebagai pemborosan. Mereka mempertanyakan urgensi penerapan sistem trarsportasi super canggih yang mahal ini di negara yang sebagian besar wilayahnya masih berupa daerah-daerah yang belum berkembang, yang rakyatnya belum mampu membayar dengan harga tiket premium sehingga harus disubsisi pemerintah. Pemerintah Cina menjawab, justru dengan sistem transportasi canggih ini sumber-sumber ekonomi yang terpendam bisa dibangkitkan, sedang sumber-sumber ekonomi yang sudah terolah bisa menghasilkan nilai tambah yang lebih besar. Inilah yang disebut pertumbuhan ekonomi riel. Secara umum sistem transportasi canggih ini telah meningkatkan produktifitas nasional, meningkatkan efisiensi pembangunan, meningkatkan daya saing produk-produk dalam negeri, meningkatkan kualitas layanan publik, dan yang pada akhirnya memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Semua itu bisa tercapai karena independensi pemerintah Cina dari tekanan asing. Pemerintah bisa menentukan sendiri pembangunan yang menguntungkan rakyatnya sendiri tanpa direcoki oleh kepentingan asing yang tentunya hanya memikirkan kepentingan mereka. Indonesia mau mencoba seperti Cina, atau tetap menjadi pelayan asing?

Ah, seandainya saja independensi tersebut bisa kita raih, tidak ada alasan Indonesia untuk tidak lebih maju daripada Cina.


Sumber: wikipedia

2 comments:

  1. Semua artikel di blog ini bagus banget..menarik untuk di baca..semuanya detail dengan bahasa yang mudah di mengerti...salam

    ReplyDelete