Thursday, 30 December 2010

Sang Terpilih (21)


Keterangan gambar: simbol freemason di satu lobi kantor media massa besar Indonesia. Simbol yang tidak ada kaitannya dengan falsafah, sejarah dan budaya bangsa Indonesia ini kini banyak muncul di kantor-kantor publik, termasuk bakal muncul di bakal gedung baru MPR/DPR RI.


Dialektika politik adalah permainan lama "organisasi". "Thesis, anti-thesis, dan sintesa" atau "masalah, kontra-masalah, dan solusi" adalah mantra yang jitu "organisasi" untuk terus berkuasa. Mereka sengaja menciptakan masalah, menciptakan gerakan perlawanan, dan terakhir menawarkan solusi menurut versi yang menguntungkan mereka.

Selama puluhan tahun masyarakat dunia terbuai ilusi dengan dialektika "kapitalis dan komunisme" sebelum akhirnya mengetahui bahwa masyarakat telah dikuasai oleh faham baru bernama "neo-liberalisme" yang mana kekuasaan "organisasi" justru semakin kuat dengan faham ini.

Lihat saja bagaimana mereka sengaja menciptakan faham "komunisme" setelah sebelumnya sengaja mendramatisir fenomena revolusi industri sebagai faham "kapitalisme". Dengan dana para kapitalis-lah sebenarnya "komunisme" diciptakan. Dan kemudian, setelah berhasil membuat dunia terpecah dalam dua blok yang saling bermusuhan selama puluhan tahun yang mana "organisasi" berhasil mengeruk keuntungan tiada tara dari kondisi itu, mereka sengaja meruntuhkan "komunisme" seperti bangunan kardus untuk memuluskan lahirnya faham baru "neo-liberalisme".

Belum memahami keanehan peristiwa "Revolusi Agustus" tahun 1991 yang menjadi momentum keruntuhan komunisme Uni Sovyet? Inilah gambaran singkatnya. Pada dekade akhir 1980-an di Uni Sovyet muncul satu pemimpin baru bernama Gorbachev yang membawa perubahan gaya pemerintahan drastis Uni Sovyet dengan slogannya: "glasnot" dan "perestorika", keterbukaan dan restorasi (perbaikan). Pada bulan Agustus 1991 terjadi kudeta terhadap Gorbachev yang dilakukan oleh para pendukung setianya sendiri. Orang-orang itu adalah wakil presiden Gennady Yanayef, perdana menteri Valentin Pavlov, kepala KGB Vladimir Kryuchkov, menhan Dimitri Yazov, wakil ketua Dewan Pertahanan Oleg Baklanov, mendagri Boris Pugo, kepala dewan perindustrian AI Tizyakov, dan ketua serikat pekerja Vasily Starodubtsev.

Dengan jabatan-jabatan strategis itu dalam kekuasaan, nyaris tidak ada lagi perlawanan terhadap kudeta, dan memang demikian. Gorbachev sendiri tanpa daya dijebloskan ke dalam tahanan. Satu-satunya perlawanan yang ada adalah seorang gubernur bernama Boris Yeltsin yang berdiri di tengah lapangan di tengah-tengah pendukungnya mengecam kudeta tersebut. Dan tiba-tiba saja para pelaku kudeta yang sudah biasa dengan praktik-praktik penindasan dan pembunuhan politik itu ketakutan sendiri dan segera membebaskan Gorbachev. Orang-orang komunis yang telah membunuhi puluhan juta rakyatnya sendiri demi meraih kekuasaan itu tiba-tiba saja lumpuh tanpa daya.

Maka Gorbacahev dan Yeltsin kemudian muncul dari kekacauan dengan "kemenangan gemilang". Dan berdua mereka dengan cepat menghancurkan Uni Sovyet dan Pakta Warsawa, blok superpower yang selama puluhan tahun menghantui masyarakat "demokratis" dunia.

Di Indungsia akhir-akhir ini pun muncul fenomena yang mirip dengan dialektika politik "kapitalis-komunis" ini. Memanfaatkan euforia gerakan reformasi serta kegagalan partai-partai lama dalam menjalankan pemerintahan Indungsia, "organisasi" berhasil membentuk partai baru bernuansa "demokratis" yang secara "de facto" dipimpin oleh Jendral Subagyo. Keberhasilan partai baru itu dalam menarik massa masyarakat liberal idiot Indungsia-lah yang membuat Subagyo muncul sebagai presiden Indungsia. Namun setelah dianggap sudah cukup memberikan layanan kepada "organisasi" sehingga citranya merosot tajam: di antaranya karena harus menaikkan harga BBM, terus menambah hutang luar negeri serta membuka pintu bagi penguasaan aset-aset strategis bagi investor asing, "organisasi" membangun parpol baru yang "lebih demokratis dan sekaligus nasionalis" bernama Partai Demokrat Nasional.

Kini di antara partainya Subagyo dan partai baru tersebut tengah terjadi persaingan tajam berupa perang citra hingga intrik politik. Intrik politik yang dimaksud adalah menyangkut status keistimewaan provinsi Ngayogjo. Mengetahui bahwa salah satu pendiri Partai Demokrat Nasional adalah Sultan Ngayogjo, yang berdasarkan UU keistimewaan Ngayogjo yang lama secara otomatis ditetapkans sebagai gubernur, Subagyo bermaksud merevisi UU tersebut dan membatalkan penetapan Sultan sebagai gubernur.

"Organisasi" masih menunggu sampai sejauh mana persaingan tersebut berlangsung. Seperti biasa, mereka cenderung membiarkan para anggotanya bersaing memperebutkan kekuasaan selama tidak mengancam kepentingan mereka. Dan memang demikian. Meski mengusung slogan "restorasi" dan mengklaim sebagai partai nasionalis, partai baru tersebut tidak menawarkan sesuatu yang baru. Tidak ada yel-yel "nasionalisasi", "anti modal asing", atau "anti-liberalisasi perdagangan", "anti-hutang luar negeri" dan lain-lainya yang selama ini telah menyesengsarakan sebagian besar rakyat Indungsia.

No comments:

Post a Comment