Friday, 9 March 2012

SETELAH KALAH PERANG, KINI PERANG PSIKOLOGIS


Keterangan gambar: ratusan ribu penduduk Damaskus menyambut hasil referendum yang dilakukan pemerintah Syria.



Setelah beberapa hari "menyembunyikan" perkembangan Syria paska jatuhnya benteng pertahanan pasukan pemberontak Syria di Baba Amr, Homs, termasuk mengabaikan sambutan antusias rakyat Syria atas referendum yang digelar pemerintah Syria, media-media massa kembali membuat "kejutan" tentang Syria. Hari Kamis (8/3) dan Jum'at (9/3) saya melihat media-media massa besar Indonesia gencar memberitakan tentang pembelotan seorang wakil menteri Syria ke kubu pemberontak yang disebut sebagai "kekalahan regim Al Assad" serta tentang "pecah kongsi" Syria dengan Iran yang lagi-lagi disebut sebagai "kekalahan regim Al Assad". Koran "Kompas" bahkan menulis editorial tentang pecah kongsi Syria-Iran tersebut.

Kalau berita tentang wakil menteri yang membelot tidak terlalu menarik saya seperti tidak menariknya berita tentang "Ketua Tim Pemenangan Pemilu Partai Demokrat Menjadi Pengurus Partai Golkar", saya cukup penasaran dengan editorial "Kompas". Dan saya temukan sumbernya.

Sumber berita "Kompas" adalah bocoran "wikileaks" tgl 13 Desember 2011 yang berisi analisis Reva Bhalla, Direktur Analisis Stratfor, sebuah lembaga kajian strategis Amerika yang menyebutkan bahwa "para pemimpin Iran percaya bahwa cepat atau lambat Bashar al Assad akan kalah, sehingga mereka mulai melepaskan dukugan padanya". Lebih tepatnya analisis tersebut adalah sbb:

"Both Khamenei and Ahmadinejad have concluded that Asad’s regime cannot be rescued. It is perfectly understood that the regime in Damascus will fall along lines similar to the Libyan model. There will have to be a coup in Damascus, be it a military or political one.

One must not dismiss the pragmatism of Khamenei. Iran appears to be willing to use its influence in Syria to stage a coup, provided that it is able to ensure that the new leadership will continue to pursue excellent relations with Tehran. The Iranians have approached the Americans on this. In the past, Iran collaborated with the U.S. on the ouster of Saddam Hussein and Iran won big in Iraq. The Iranians would not mind working again on ousting Asad if they can secure good results in Syria. Syria’s contiguity to Iraq allows Iran to play a direct role in the affairs of Damascus.

The Iranians feel they need to act on Syria soon because the Turks have their own plans for Syria and are not coordinating with the Iranians. He says the Turks are moving slowly but systematically. Iran does not want to allow Turkey to take over Syria. Whereas the Turks are coordinating with the Brotherhood and the FSA, the Iranians prefer a palace coup in damascus in order to maintain their ties with Asad’s successors. What is delaying action in Syria is the fact that the U.S. has not yet decided on the shape of the post-Asad political system. Nevertheless, he insists that Asad’s regime will fall, although the future of Syria after the regime change remains nebulous.

.....
Alawite officers are aware that Asad is trying to find an asylum for himself and his family should his regime become unslavageable. This is upsetting many Alawites who are coming to realize that Asad will abandon them. If so, they reason that it would be suicidal to continue to win the wrath of the Sunnis."



Kita lihat sendiri, tidak ada pernyataan resmi dari pejabat Iran tentang Syria, apalagi klaim "Kompas" bahwa Presiden Ahmadinejad dan Pemimpin Tertinggi Sayyed Ali Khamenei telah menyampaikan sikap politik yang tidak lagi membela Syria. Semuanya hanya analis Reva Bhalla berdasarkan sumber dari "seorang anggota Hizbollah".

Analisis yang sangat-sangat subyektif, tidak lebih dari harapan pribadi sang analis. Sangat jelas dari analisis Reva Bhalla bahwa "para pejabat Alawite kecewa dengan Assad karena Assad merencanakan menyelamatkan diri sendiri (dan karenanya mereka juga meninggalkan Assad)". Kalau pun benar Assad melarikan diri atau meninggal, orang-orang Alawite (sekte dalam Islam yang dekat dengan keyakinan Shiah, banyak terdapat di Syria dan Turki) dan orang-orang Druze (sekte agama yang menggabungkan keyakinan Kristen dengan Islam, banyak terdapat di Syria dan Lebanon) serta Kristen akan "bertempur habis-habisan" demi mempertahankan diri dari serangan pemberontak Salafi yang akan membantai mereka jika berkuasa. Mereka sudah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana pemberontak Salafi membantai dan memutilasi aparat keamanan Syria yang diculik. Selain itu Iran juga tidak akan pernah meninggalkan Assad. Iran dan Hafez, ayah Bashar al Assad, telah lama bertempur bersama-sama melawan Israel-Amerika dan sekutu-sekutunya di Lebanon. Syria adalah cakar Iran di muka Israel sang musuh utama. Tidak mungkin Iran memotong cakarnya sendiri. Sebagaimana Rusia tidak ingin kehilangan Syria, Iran terlebih lagi.

Tragisnya, media massa justru mengabaikan "fakta" yang lebih menarik. Dari sumber yang sama Reva Bhalla menulis, "SOF [special operation forces] teams (presumably from the US, UK, France, Jordan and Turkey) are already on the ground, focused on recce [reconnaissance] missions and training opposition forces.”

Bhalla mengklaim telah menghadiri pertemuan para pejabat Amerika dan NATO di Pentagon akhir tahun 2011 membahas perkembangan di Syria yang mana dalam pertemuan tersebut ia mengetahui bahwa personil militer barat, Turki dan Arab telah berada di Syria untuk melakukan operasi militer melawan pemerintah Syria. Padahal selama ini barat, Turki dan Arab membantah keterlibatan langsung personilnya di Syria yang tidak lain merupakan tindakan ilegal dalam hukum internasional.

Dan menambah bias pemberitaan media-media nasional tentang Syria, "Kompas" dan koran-koran turunannya pada hari Sabtu (10/3) menulis lagi berita tentang Syria dengan judul "Ditemukan Kuburan Massal Baru di Syria". Tragisnya setelah panjang lebar menuduh regim Basar Al Assad sebagai regim yang membunuhi rakyatnya sendiri sembari mengabaikan fakta bahwa 2.000 aparat keamanan ditambah korban sipil pendukung pemerintah, "KOmpas" mengakui bahwa berita yang ditulisnya dalah berita "sampah". "Berita ini belum bisa dikonfirmasi kebenarannya karena akses informasi yang tertutup di Syria," tulisnya di bagian akhir berita. Lho kok gitu? Bukankah berita semacam itu tidak layak dimuat? Atau setidaknya penjelasan ketidak valid-an berita tersebut semestinya ditulis di awal tulisan supaya pembaca tidak terjebak. Apa yang ditulis "Kompas" tidak berbeda dengan BBC, CNN dan yang lainnya yang menayangkan gambar demonstran pro-pemerintah yang diklaim sebagai demonstran anti-pemerintah, dan jauh hari setelahnya setelah dikritik pembacanya baru meralatnya dengan pernyataan "minta ma'af".

Tidak bisa dipungkiri bahwa setelah kekalahan militer yang menyakitkan, zionis internasional akan meningkatkan perang psikologis, terutama mengantisipasi digelarnya dokumen-dokumen yang bakal membongkar keterlibatan mereka dalam konspirasi atas Syria, oleh pemerintah Syria. Sayangnya media-media nasional turut dalam kampanye itu, entah apa sebabnya, silakan pembaca mencari jawabnya sendiri.

No comments:

Post a Comment