Oleh: Murtadha Muthahhari
Dalam blog Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia; 2011
Musim panas akan segera berakhir. Namun sengatan udaranya masih terasa mencekik penduduk kota madinah. Kering sepanjang tahun, dan harga barang-barang yang semakin mahal, menambah penderitaan penduduk kota itu. Musim memetik kurma tiba. Penduduk Madinah baru hendak bernafas lega, Tiba – tiba Nabi, disebabkan berita dan ancaman pasukan Romawi terhadap kaum Muslimin yang berdomisili di Timur Laut, mengumandangkan jihad dan memerintahkan kaum Muslimin bersiap – siaga.
Penduduk Madinah baru melalui musim kemarau dan ingin menikmati buah – buahan yang segar. Tidak mudah memang, meninggalkan panen dan buah-buahan, terlebih lagi setelah melewati musim kemarau; lalu berjalan ke Syam dalam jarak yang begitu jauh. Orang-orang munafik mempunyai alasan untuk melakukan provokasi. Namun udara panas musim kemarau dan usaha provokasi orang-orang munafik, tidak dapat menghambat kepergian pasukan Islam yang berjumlah 30.000 orang, untuk menghadapi kemungkinan serangan pasukan dari Romawi itu.
Nabi dan sahabat – sahabatnya bergerak melalui padang pasir, di bawah panas terik matahari dan kekurangan kendaraan serta bekal yang dibawa. Hal ini sebenarnya, tidak kurang bahayanya dari ancaman musuh itu sendiri. Di tengah jalan, sebagian yang lemah iman merasa menyesal setibanya di medan. Tidak diduga, tiba – tiba seseorang yang bernama Ka’ab bin Malik pulang.
“Biarlah," kata Nabi. “Kalau memang kehadirannya akan membawa kebaikan, Allah tentu akan mengembalikannya kepada kalian, dan jika tidak, berarti Allah telah menyelamatkan kalian dari bahayanya.”
Tidak lama kemudian, sahabat yang lain berkata: “Ya Rasulullah, Mararah bin Rabi’ juga pulang.”
“Biarlah, kalau memang kehadirannya membawa kebaikan, Allah tentu akan mengembalikannya kepada kalian. Dan jika tidak, berarti Allah telah menyelamatkan kalian dari bahaya.”
Sejenak kemudian, sahabat berkata lagi, “Ya Rasulullah, Hilal bin Umayyah juga pulang!” Rasulullah tetap menjawab seperti yang dikatakannya untuk dua orang sebelum ini.
Sementara itu, unta Abu Dzar yang tadinya berangkat bersama – sama dengan rombongan kafilah, tiba – tiba mogok di tengah jalan. Betapapun Abu Dzar berusaha menggerakkan untanya itu, namun hasilnya tetap saja sia – sia. Tiba – tiba sahabat sadar bahwa Abu Dzar ternyata tidak ada.
“Ya Rasulullah, Abu Dzar juga tidak ada!” Mereka berteriak.
Dengan tenang Nabi menjawab: “Biarkanlah! Kalau memang kehadirannya akan membawa kebaikan, Allah tentu akan mengembalikannya kepada kalian, dan jika tidak, berarti Allah telah menyelamatkan kalian dari bahayanya.”
Betapapun Abu Dzar berusaha untuk mendorong untanya agar dapat mengejar kafilah, namun hasilnya masih tetap sia – sia. Akhirnya diambilnya barang – barangnya, dan dia berjalan kaki meninggalkan untanya. Matahari dengan dahsyatnya menyengat kepala Abu Dzar. Dia amat sangat kehausan. Tidak dihiraukannya dirinya lagi. Yang dipikirkannya hanyalah keinginannya untuk segera sampai ke kafilah Nabi dan sahabat – sahabatnya, serta bergabung dengan mereka.
Dengan semangat baja. Abu Dzar terus melangkahkan kakinya menelusuri padang pasir. Entah bagaimana. Tiba – tiba matanya terpandang pada segumpalan awan yang hinggap di suatu sudut langit. Abu Dzar berkesimpulan bahwa hujan baru saja turun, beberapa saat lalu. Dibelokkannya jalannya ke rah itu. Di sana dia menjumpai batu besar yang menampung sedikit sisa – sisa hujan. Abu Dzar menghirupnya sedikit, dan tidak meneguknya sampai puas.
“Sebaiknya air ini kubawakan untuk Rasulullah, mungkin beliau merasa haus dan tidak mempunyai persediaan air yang cukup,“ pikirnya.
Dituangkannya air itu ke dalam qirbah (tempat air) yang dibawanya, lalu dipikulnya bersama – sama barang bawaannya yang lain. Dengan semangat yang tinggi, dia menelusuri tinggi rendahnya padang pasir, hingga dari kejauhan, tampak bayangan hitam pasukan kaum Muslimin. Hatinya semakin bergelora, dan dia memacu jalannya lebih cepat lagi.
Dari jauh pula, salah seorang prajurit Islam melihat bayangan hitam tengah mendekati mereka. “Ya Rasulullah! Seakan – akan ada seseorang yang tengah datang ke arah kita,” katanya kepada Nabi.
“Alangkah baiknya kalau itu Abu Dzar,“ jawab Nabi.
Bayangan tadi bertambah dekat. Tiba – tiba seseorang berteriak: “Demi Allah, dia adalah Abu Dzar.!”
Lalu Nabi berkata: “Semoga Allah ampunkan Abu Dzar. Abu Dzar hidup sendirian, mati sendirian, dan akan dibangkitkan sendirian.”
Nabi menyambut Abu Dzar. Diambilnya pikulan Abu Dzar dari pundaknya, lalu diletakkannya di tanah. Karena terlalu letih dan haus, Abu Dzar pun terjatuh tanpa daya.
“Ambilkan air. Beri dia minum, dia sangat haus.”
“ Ya Rasulullah, aku punya air,” sahut Abu Dzar.
“Engkau mempunyai air, tapi kau tidak minum?” tanya Nabi.
“Betul Ya Rasulullah. Demi Allah, tadi aku melihat batu besar yang menampung air dingin sekadarnya. Setelah kuhirup sedikit, kukatakan kepada diriku: tenggorokan ini tidak akan meneguknya sebelum kekasihku, Muhammad Rasulullah, meneguknya.”
CATATAN BLOGGER:
Ketika masih menjadi orang liberal saya suka terharu hingga menangis membaca kisah-kisah sentimentil dalam novel maupun cerita-cerita pendek. Di antaranya yang paling membuat saya terharu adalah kisah "Saijah dan Adinda" karya Douwes Dekker yang membuat saya bercucuran air mata membacanya.
Namun setelah membaca kisah-kisah para sahabat dan keluarga Rosul, semua cerita tersebut di atas menjadi kurang berarti bagi saya. Karena jika kecintaan Saijah kepada Adinda dimotifasi oleh nafsu, maka kecintaan para sahabat kepada Rosul adalah berdasar kecintaan kepada Sang Pencipta. Apakah ada kecintaan yang lebih indah dari kecintaan seorang Mushab bin Umair kepada Rosul dan agamanya? Mushab, seorang pemuda yang tumbuh di tengah-tengah keluarga berada yang sangat menyayanginya, yang selalu berpakaian indah dan tidak pernah kekurangan apapun, meninggal dalam keadaan berpakaian compang-camping dan hanya meninggalkan kain yang tidak cukup panjang untuk menutupi jasadnya, di medang Perang Uhud, karena membela Rosul dan agamanya.
Atau adakah kisah yang lebih indah dari syahidnya Abu Dujanah, yang menjadikan punggungnya sebagai tameng hidup dari senjata-senjata musuh, demi melindungi nyawa Rosul? Bahkan murid-murid dan pengikut paling setia nabi Isa (Yesus) pun berlarian meninggalkannya saat beliau hendak ditangkap orang-orang yahudi.
Atau adakah yang lebih hebat dari kisah para sahabat Rosul yang rela meninggalkan keluarga, harta dan bendanya, untuk memulai hidup baru di negeri asing yang jauh, karena kecintaannya kepada Rosul dan agamanya? Atau sebagaimana kisah tentang Abu Dzar di atas?
Namun Abu Dzar mengalami hal yang sangat menyedihkan jika dikenang. Ketika Rosul telah meninggal dan kekuasaan beralih pada orang-orang yang mengedepankan nafsu, ia diperlakukan kejam oleh penguasa. Ia didera karena mengkritik pemerintah yang korup dan nepotis. Dan karena ia tidak bisa juga dibungkam, akhirnya ia dibuang ke tengah padang pasir yang tandus hingga meninggal bersama seluruh anggota keluarganya.
Tidak hanya itu. Bahkan setelah meninggalnya-pun orang-orang tega membuat-buat hadits palsu mendeskreditkan dirinya. Dalam satu riwayat hadits palsu tersebut disebutkan bahwa Abu Dzar telah telah meminta jabatan tertentu kepada Rosulullah dan ditolak Rosulullah dengan alasan ia tidak memiliki kecakapan untuk itu.
“Semoga Allah ampunkan Abu Dzar. Abu Dzar hidup sendirian, mati sendirian, dan akan dibangkitkan sendirian.”
Sungguh Suatu Ceritera Yang Bagus, Mungkin Ada Yang Lain Lagi .... ?.
ReplyDelete