Saturday, 14 July 2012

PENGHANCURAN MASJID-MASJID DI ISRAEL

Ini adalah ejekan bagi mereka yang mengaku sebagai "mujahid" namun ternyata adalah para teroris srigala berbulu domba, yang membunuhi orang-orang tak bersalah di tempat-tempat yang tidak semestinya. Di negeri Palestina, tempat dimana saudara-saudara seiman dijajah dan diusir dari tanah airnya, yang tempat-tempat sucinya dilecehkan setiap hari, di sanalah semestinya Anda berjihad (perang). Bukan di Syria, Libya, apalagi di Indonesia. Atau kalau perlu berjihadlah di tanah suci untuk mengusir tentara-tentara kafir yang berada di sana, melecehkan Rosulullah yang telah mengusir orang-orang musrik dan kafir dari tanah suci 14 abad yang lalu.

Sebuah foto lama yang diambil oleh pesawat Zeppelin tahun 1930-an telah membuktikan bahwa saat Israel menduduki Al Quds (Jerussalem) tahun 1967 (setelah tentara-tentara Arab Jordania pengecut mengundurkan diri dari medan perang), mereka telah menghancurkan sebuah masjid kuno yang didirikan pada jaman Saladdin al Ayyubi dan berada tidak jauh dari Masjid Al Aqsa.

Penghancuran masjid "Sheikh Eid" itu menjadi bagian dari kebijakan penghancuran masjid-masjid di negeri Palestina oleh penjajah Israel. Dan isu ini kembali menjadi perhatian setelah munculnya aksi-aksi vandalisme oleh orang-orang yahudi akhir-akhir ini di berbagai tempat di tanah pendudukan baik di Jerussalem maupun di Tepi Barat.

Menyusul pembakaran sebuah masjid di Ramallah oleh orang-orang Israel dua minggu lalu, Dan Halutz, mantan kastaf AB Israel mengakui dengan terus terang bahwa pemerintah Israel sama sekali tidak mau mengambil tindakan hukum atas aksi-aksi vandalisme terhadap masjid-masjid di Palestina.

"Jika mau kami pasti sudah akan menangkap pelaku perusakan," katanya pada radio tentara Israel.

Isu penghancuran masjid "Sheikh Eid" kini menjadi perdebatan antara para ahli Israel dan Palestina. Israel tentu saja bersikeras masjid tersebut sudah tidak ada saat mereka menduduki Al Quds, meski bukti-bukti menunjukkan sebaliknya.

Sebelum penemuan foto kuno tersebut di atas, tahun ini juga, pembangunan di atas bekas lokasi dimana masjid itu berada, telah memicu kerisauan para arkeolog karena dianggap menghancurkan peninggalan-peninggalan kuno yang berada di bawah masjid, termasuk makam beserta tulang belulang Sheikh Eid, ulama besar yang tinggal di masjid tersebut.

Masjid "Sheikh Eid" berada di samping kompleks suci Haram al-Sharif tempat berdirinya Masjidil Aqsa, dan berdampingan pula dengan Tembok Ratapan, tempat paling suci umat Yahudi. Setelah pendudukan Jerussalem oleh Israel tahun 1967 (seandainya saja yang mempertahankan Jerussalem kala itu adalah para pejuang Hizbollah, tentu ceritanya akan lain) Israel secara efektif menjadi penguasa Masjidil Aqsa yang oleh orang-orang Israel dianggap berdiri tepat di atas kuil Sulaiman, tempat paling suci umat Yahudi yang dihancurkan orang-orang Romawi tahun 70 Masehi.

Dari tahun ke tahun muncul tuntutan yang samakin besar di antara orang-orang yahudi untuk beribadah di kompleks Haram al-Sharif. Beberapa kelompok agama ekstrem bahkan mengancam untuk meledakkan Masjid Al Aqsa dan membangun kuil yahudi di atasnya. Pada tahun 2000 tokoh zionis Ariel Sharon yang kala itu menjadi pemimpin oposisi bahkan melakukan tindakan provokatif dengan memasuki kompleks Al Aqsa  hingga memicu terjadinya gerakan Intifada II.

Kini di kompleks bekas masjid "Sheikh Eid" tengah dibangun sebuah tempat penampungan bagi ziarawan yahudi. Pembangunan itu adalah bagian dari rencana Israel untuk memperluas tempat ibadah bagi ziarawan yahudi yang memicu keteganan dengan orang-orang muslim Palestina karena mau tidak mau pembangunan itu mengerus tempat-tempat suci Islam. Pembangunan-pembangunan itu tentu saja bertentangan dengan hukum internasional yang menganggap Jerussalem adalah tanah pendudukan yang harus dikembalikan kepada Palestina.

Benjamin Kedar, wakil ketua National Academy of Sciences Israel, penemu foto kuno masjid "Sheikh Eid" di pusat arsip Jerman menyebut perlakuan Israel atas masjid tersebut sebagai "kejahatan arkheologi". Di bawah lindungan kegelapan malam, Israel mengirimkan bolduzer-bolduzer untuk menyingkirkan 1.000 warga Palestina yang tinggal di atas kompleks bekas masjid sehingga pembangunan tempat ziarah yahudi bisa dilakukan.
Masjid "Sheikh Eid" didirikan oleh Malik al-Afdil, salah seorang putra dari Saladdin al Ayyubi sang penakluk tentara Salib, adalah satu dari tiga peninggalan bersejarah era Shaladdin yang tersisa. Lokasi dan kesuciannya tertulis dalam sebuah dokumen bersejarah abad 15. Setelah pemakaman Sheikh Eid pada abad 17 di kompleks masjid ini, tempat ini menjadi salah satu tempat ziarah utama bagi kaum muslim.

Masjid ini, sebagaimana seluruh kawasan Mughrabi di sekitarnya dihancurkan oleh Israel tidak lama setelah pendudukan mereka atas Jerussalem tahun 1967. Dan plaza tempat penampungan peziarah yahudi yang kini menempati bekas lokasi masjid kini menjadi pusat perkembangan kawasan yahudi di kawasan kota tua Jerussalem, menggerogoti tempat-tempat yang dimiliki umat Islam dan Kristen, dan dilakukan oleh para pemukim yahudi bersenjata yang dilindungi oleh aparat keamanan Israel.

Penghancuran masjid "Sheikh Eid" menggemakan kembali konflik seputar rencana pembangunan "Museum Toleransi" oleh Simon Wiesenthal Centre (yayasan yahudi berbasis di Amerika yang gencar mengkampanyekan gerakan toleransi terhadap zionisme di seluruh dunia, termasuk di kalangan intelektual Indonesia). Museum ini akan dibangun di atas kuburan kuno kaum muslim di kawasan Mamilla, Jerussalem, yang di dalamnya diyakini terdapat makam beberapa sahabat Rosulullah.

Media massa Israel melaporkan tahun 2008 bahwa lebih dari 100 tulang belulang telah dibongkar secara tidak patut di lokasi yang akan dibangun museum. Namun pembangunan tersebut tersendat akibat munculnya krisis keuangan global.

Sementara pelanggaran sensitif ini menjadi berita utama, berbagai pelanggaran atas kebebasan beribadah terhadap 1,3 jutaan warga muslim Palestina yang hidup di daerah pendudukan, luput dari perhatian media massa. Pelanggaran-pelanggaran terbesar tentu saja adalah perampasan hak-hak milik rakyat Palestina oleh Israel. Tanah-tanah waqaf yang diwariskan selama bergenerasi-generasi oleh orang-orang Islam untuk keperluan ibadah, sekolah, rumah sakit, tempat pemakaman, hingga pasar, menjadi salah incaran utama orang-orang yahudi untuk dirampas.

Sejak berdirinya negara Israel di atas bumi Palestina tahun 1948, semua tanah waqaf yang meliputi 10% wilayah Al Quds dirampas oleh pemerintah Israel bersama-sama dengan harta benda milik 750.000 warga Palestina yang terusir dan menjadi pengungsi di negara-negara tetangga.

Kini hanya ada masjid di 120 kota dan desa-desa Palestina yang tinggal, dengan pengawasan ketat Israel, termasuk Al Aqsa. Israel kini menguasai sepenuhnya hak mengangkat dan menggaji pengurus-pengurus masjid, termasuk mengawasi seluruh jemaah. Israel merampas seluruh harta benda rakyat Palestina di 500 desa lainnya, termasuk masjid-masjid dan gereja-gerejanya. Di kota-kota yang kini mayoritas penduduknya orang yahudi, seperti Tel Aviv, masjid-masjid dan kuburan-kuburan kaum muslim tidak nampak lagi.

Banyak masjid-masjid besar Palestina yang diubah menjadi bar, klub malam, museum, toko, gudang hingga sinagog. Satu insiden kerusuhan terjadi tahun 1950-an saat kompleks pemakaman Abdul Nabi diubah Israel menjadi hotel berbintang lima dan pemukiman yahudi. Masjid-masjid yang masih berdiri dan ditinggalkan kini menjadi tempat-tempat kumuh.

Tidak ada lagi yang bisa diharapkan bagi Israel untuk melindungi tempat-tempat suci kaum muslim, terutama setelah UU Antiquities Law tahun 1978 tidak memberikan perlindungan sama sekali terhadap tempat-tempat suci Islam yang dibangun setelah tahun 1700. Bahkan masjid-masjid yang lebih kuno pun terkadang menjadi tempat larangan untuk dikunjungi karena beada di zona militer Israel, termasuk masjid cantik Ghabisiya. Sementara masjid Hittin yang dibangun Sultan Saladdin tahun 1187 di dekat laut Galilea kini tinggal reruntuhan. Orang-orang Palestina yang tinggal di dekatnya dilarang untuk memperbaikinya.

Ironisnya pemerintah Israel kini melakukan program kampanye "penyelamatan masjid-masjid kuno", sebuah kampanye pura-pura karena justru semakin banyak masjid yang hancur tanpa sebuah masjid pun berhasil direstorasi. Ketika orang-orang Palestina membangun kembali masjid mereka yang hancur di sebuah desa di Sarafand, masjid itu dihancurkan kembali oleh Israel hanya dalam waktu semalam tanpa penjelasan.

Bahkan ketika perjuangan mempertahankan tempat suci kaum muslim telah memenangkan gugatan hukum, hal itu tidak berdampak apapun di lapangan. Tahun lalu Mahkamah Agung Israel memerintahkan pemerintah kota Beersheba untuk menjadikan Masjid Raya yang telah direnovasi sebagai museum Islam, bukan museum umum sebagaimana diinginkan pemerintah daerah setempat. Namun pemerintah tidak menggubrisnya. Mereka menggelar pameran-pameran yang tidak releven dengan Islam, termasuk festival bir dan anggur.

Penindasan terhadap hak-hak beribadah umat Islam sepertinya akan semakin meningkat di masa mendatang di Israel. Tahun lalu PM Netanyahu mengeluarkan larangan masjid-masjid menggunakan speaker untuk adzan. Pemerintah kota Beersheba menolak menyediakan tempat ibadah di kota berpenduduk 1,000 keluarga muslim itu dan setiap hari didatangi ratusan orang-orang Arab badui di sekitar gurun Negev. Pada tahun 2007 warga Palestina di Jaffa, pinggiran kota Tel Aviv yang dihuni orang-orang Arab dan yahudi, gagal mengajukan petisi untuk menyelidiki keberadaan tanah-tanah waqaf setelah pemerintah setempat menolaknya dengan alasan: “akan melukai hubungan internasional Israel”, alasan yang sangat tidak relevan.

Pada tahun 2009, setelah 5 tahun perjuangan kaum muslim Israel, MA Israel menolak sebuah petisi yang menuntut pengakuan perlindungan tempat-tempat suci Islam dalam UU Perlindungan Tempat Suci yang diundangkan tahun 1967. Namun meski mengaku tempat-tempat suci Islam berada dalam kondisi "mengenaskan" MA menolak petisi itu dengan alasan terlalu sensitif. MA selanjutnya memerintahkan pemerintah untuk melakukan program rehabilitasi tempat-tempat suci Islam dan dijawab pemerintah Israel dengan program senilai $500.000, nilai yang dianggap sebagai "menyedihkan".




Sumber:
"Israeli Eradication of History: Disappearing Mosques"; Jonathan Cook; Al Akbar; 9 Juli 2012


No comments:

Post a Comment