Saturday, 25 August 2012

Pussy Riot, Gereja dan Rusia

Rusia saat ini tengah menghadapi sebuah "cobaan" berat, yang lagi-lagi dilakukan oleh orang-orang yahudi, dalam rangka menghancurkan kekuatan sebuah bangsa besar yang tengah bangkit.

Adalah kasus "Pussy Riot" yang menjadi cobaan itu. "Pussy Riot", atau disingkat saja PR, adalah sebuah kelompok aktifis wanita yang baru muncul beberapa tahun terakhir yang aktifitasnya adalah menolak kekuasaan Presiden Vladimir Putin dan Gereja Katholik Rusia. Kelompok ini menarik perhatian pers asing, meski tidak dipedulikan rakyat Rusia, karena aksi-aksinya yang sangat kontroversial. Dan perhatian itu semakin besar seiring berlangsungnya pengadilan terhadap 3 orang aktifis PR dengan tuduhan melakukan kegiatan "penyebaran kebencian".

Aksi kontroversial? Saya jelaskan sedikit saja. Mereka pernah mencuri beberapa potong ayam beku dari supermarket, memperlakukannya seperti "dildo" (alat kelamin tiruan dari karet) sembari memvideokannya, dan kemudian menyebarkan video tersebut ke dunia maya. Aksi lainnya adalah melakukan pesta seks di dalam gereja dan kemudian menyebarkannya di dunia maya.

Awalnya kelompok ini mengarahkan aktifitasnya pada aksi-aksi menentang kekuasaan Vladimir Putin. Namun setelah aksi-aksi mereka tidak membuahkan hasil dan Putin tetap menjadi idola rakyat Rusia, mereka mengarahkan perhatiannya pada Gereja. Dua kali mereka melakukan aksi bejat mereka di gereja Elochovsky Cathedral di Moskow. Polisi hanya mengusir mereka pergi dan tidak menangkap mereka. Aksi selanjutnya dilakukan di gereja St Savior Cathedral (yang dihancurkan oleh Lazar Kaganovich tahun 1930-an dan dibangun kembali tahun 1990. Kaganovich adalah pemimpin pertama polisi rahasia Uni Sovyet yang bertanggungjawab atas tewasnya jutaan rakyat Rusia). Lagi-lagi polisi hanya mengusir mereka pergi. Namun polisi terpaksa menangkap mereka setelah video kebejatan mereka di gereja di-"upload" di dunia maya. Dan akhirnya pengadilan Rusia menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara.
Inilah pertama kalinya sebuah tindakan penyebaran kebencian atau "hate crime" ditimpakan kepada aktifis anti-gereja, dan itu mengejutkan banyak orang. Selama ini tuduhan seperti itu selalu ditimpakan pada orang-orang yang mengekspresikan kebenciannya pada simbol-simbol yahudi, Israel, gay dan lesbian, tidak lain karena memang kejahatan yang satu ini memang sengaja dikampanyekan oleh orang-orang yahudi untuk melindungi kepentingan mereka dan antek-anteknya.

Padahal kalangan yahudi internasional dengan dukungan media massa, selebriti seperti Madonna dan Gary Kasparov, hingga politisi Amerika, telah memberikan dukungan habis-habisan bagi PR. Namun rakyat Rusia rupanya telah memilih Gereja, sebagaimana Vladimir Putin, sebagai simbol nasionalisme terakhir mereka yang hancur setelah kekuasaan komunisme yahudi, dan kini tengah mekar kembali. Lebih dari itu, Gereja merupakan simbol spiritualisme rakyat Rusia, yang telah muak dengan semua faham materialisme yang telah menghancurkan mereka: komunisme, kapitalisme, neo-liberalisme ataupun isme-isme lainnya.

Paska runtuhnya komunisme, gereja kembali muncul sebagai kekuatan sosial yang penting, meski gereja menjauhi dunia politik. Gereja-gereja dibangun di mana-mana dan katedral-katedral kuno yang hancur oleh komunisme, dibangun kembali. Dan seiring menguatnya pengaruh mereka, gereja mulai menyerukan keberpihakannya pada rakyat kecil. Mantan tokoh komunis Gennadi Zuganov, pun berubah menjadi aktifis gereja yang disegani. Ekonom dan ilmuan terkenal Michael Khazin bahkan memprediksikan masa depan Rusia berada di tangan gereja.

"Gereja Rusia merupakan ancaman bagi kalangan elit dan harapan bagi dunia," tulis Michael Khazin.

Ya kalangan elit memang terancam dengan keberadaan institusi gereja yang kuat sebagaimana pendahulu mereka menganggap gereja sebagai batu penghalang kekuasaan mereka hingga mereka mengobarkan Revolusi Perancis, Revolusi Bolshevik, dan revolusi-revolusi lainnya dengan tujuan merebut kekuasaan dengan menghancurkan gereja. Ingat slogan mereka yang sebenarnya dahulu, bukan "kebebasan, persamaan dan persaudaraan" melainkan "gantung paus terakhir dengan usus raja terakhir". Dan para elit itu adalah para  oligarch (kapitalis yahudi Rusia), raja-raja media massa, bankir, aktifis sosial, cendikiawan dan kalangan kelas menengah pro-barat yang lebih menyukai Rusia tetap terpecah belah.

Seorang aktifis anti-Putin dan anti-gereja, Viktor Shenderovich, mengatakan dengan terus terang bahwa ia "menyukai jika para pendeta dibantai sebagaimana mereka dibantai oleh regim komunisme". Tokoh lainnya, Igor Eidman, bahkan menganggap gereja sebagai "hama yang harus diberantas".

Adapun organiser "Pussy Riot" adalah Marat Gelman, seorang (lagi-lagi) yahudi Rusia. Ia adalah kolektor benda-benda seni yang pernah mengorganisir acara penghancuran simbol-simbol agama kristen dan mengubah gereja sebagai tempat maksiat.

Berbeda dengan Rusia, "masyarakat" barat telah siap untuk menyambut para personil "Pussy Riot" yang dipenjara usai menjalani hukumannya. Madonna telah merancang konser dunia bersama mereka dan Gedung Putih telah mempersiapkan tempat untuk pameran foto-foto "erotis" mereka. Kelompok aktifis perempuan yang lebih dahulu eksis, "FEMEN" sampai dibuat iri pada mereka. Sebagai tandingan "FEMEN" melakukan aksi mencopot salib dari kuburan para korban komunisme. Dalam aksi lainnya, beberapa aktifis "FEMEN" dengan bertelanjang dada menyerang dan memaki-maki pemimpin tertinggi gereja Rusia. Persaingan itu sepertinya hanya dibatasi oleh langit saja.

Dalam hal ini saya sangat heran dengan sikap toleransi masyarakat barat yang luar biasa besar, yang justru memberi peluang bagi yahudi untuk berkuasa secara massif. Saya ingat bagaimana Voltaire, salah seorang provokator Revolusi Perancis tahun 1879, dalam karya-karya sastranya selalu melecehkan kehormatan gereja. Ia menggambarkan Sri Paus sebagai tukang zinah yang memiliki gundik dan anak haram di mana-mana. Di jaman Eropa masih sangat konservatif saja Voltaire bisa bebas melakukan tindakan pelecehan terhadap simbol-simbol agama Kristen. Tidak heran jika umat Kristen modern diam seribu bahasa saat Israel membombardir gereja suci Nativity tempat kelahiran Yesus Kristus.

Hal berbeda tentu terjadi dengan umat Islam. Saat Salman Rushdie mengolok-olok Nabi Muhammad, fatwa hukuman mati pemimpin spiritual Iran langsung menimpa dirinya yang membuatnya harus hidup dalam persembunyian sepanjang sisa hidupnya. Atau saat Ariel Sharon menginjakkan sepatunya di Majidil Aqsa, rakyat Palestina langsung mengobarkan gerakan intifada yang membuat Israel dan Palestina dilanda api kerusuhan. Dan berbeda dengan orang-orang komunis yahudi yang membantai jutaan rakyat kristen Rusia, umat Islam Indonesia justru membantai orang-orang komunis PKI.



Sumber:
"Pussy Riot – Secret History"; Israel Shamir; thetruthseeker.co.uk; 22 Agustus 2012

No comments:

Post a Comment