Monday, 22 October 2012

PEMBOMAN LEBANON DAN AGENDA ZIONISME

Tidak lama setelah terjadinya serangan bom yang menewaskan kepala inteligen Lebanon Brigjend Wissam al-Hassan dan 9 orang lainnya, Jum'at sore lalu (19/10), terjadi dua hal yang menarik. Tanpa menunggu waktu lama, apalagi investigasi aparat keamanan yang bahkan belum dimulai, dua kubu yang berseteru di Lebanon, melancarkan tuduhannya. Yang menarik adalah tuduhan itu saling bertolak belakang. Jika Hizbollah dari "kelompok perlawanan" yang anti-Amerika/Israel/Saudi menuduh Israel sebagai pelaku pemboman, kubu oposisi yang pro-Amerika/Israel/Saudi menuduh Syria sebagai pelakunya.

Hizbollah beralasan bahwa sang kepala inteligen telah berhasil menggulung jaringan mata-mata Israel di Lebanon sehingga Israel menjadikannya target sasaran. Sedangkan kubu oposisi beralasan sang kepala inteligen berhasil menggulung jaringan teror yang didukung Syria, sehingga Syria membalas dengan membunuhnya. Oposisi menunjuk keberhasilan inteligen Lebanon menangkap Michel Samaha, tokoh politisi yang dikenal dekat dengan Presiden Syria Bashar al Assad, yang dituduh tengah merancang plot serangan teror di Lebanon atas perintah Bashar.


Media massa barat, yang juga diikuti oleh media-media nasional Indonesia, tentu saja hanya memuat tuduhan pihak  oposisi daripada Hizbollah.

Sebenarnya kedua tuduhan tersebut sangat lemah. Keberhasilan Lebanon menggulung jaringan mata-mata Israel bukanlah karena pekerjaan dinas inteligen Lebanon (Internal Security Force) yang dikenal korup dan menjadi kepanjangan tangan kelompok oposisi. Keberhasilan itu adalah karena pekerjaan Hizbollah dan inteligen tentara. Tuduhan Hizbollah tidak lain karena mereka melihat hanya Israellah target yang paling tepat untuk disalahkan terlepas tuduhan itu valid ataupun tidak.
Adapun tuduhan oposisi terhadap Syria sama tidak masuk akalnya. Bashar al Assad tidak mempunyai waktu apalagi kepentingan untuk merusak hubungannya dengan Lebanon pada saat dirinya kecapaian menghadapi pemberontakan. Samaha yang menjadi "pintu masuk" tuduhan terhadap Syria adalah figur yang kontroversial dan dianggap sebagai "agen ganda". Ia memang dekat dengan Bashar al Assad, namun pada saat yang sama juga akrab dengan inteligen Perancis yang memusuhi Bashar. Ia adalah penerima medali kehormatan pemerintah Perancis. Setidaknya itulah yang ditulis oleh Robert Fisk, wartawan senior Inggris dengan spesialisasi Timur Tengah dalam salah satu artikelnya di "The Independence" beberapa waktu lalu. Apalagi, sebagaimana telah disebutkan, Internal Security Force adalah kepanjangan tangan kelompok oposisi terutama Saad Hariri, mantan perdana menteri yang kini menetap sementara di Perancis sambil mengorganisir gerakan oposisi Lebanon.

Michael Aoun, mantan Presiden, mantan panglima angkatan besenjata dan tokoh Kristen yang bergabung dalam kubu "perlawanan" bersama Hizbollah, pernah menuduh Internal Security Force sebagai "gerombolan bandit bersenjata". Institusi inilah yang bertanggungjawab atas penahanan illegal atas empat jendral pro-Syria paska tewasnya Rafiq Hariri, mantan perdana menteri yang dibom oleh pembom misterius tahun 2005. Selama 6 tahun keempat jendral itu menjalani penahanan tanpa proses pengadilan. Ketika kemudian dibebaskan setelah dinyatakan tidak terbukti terlibat pembunuhan Hariri, mereka tidak mendapatkan kembali hak-haknya semula.

Dari respons yang dilakukan oleh kubu oposisi atas tewasnya pimpinan Internal Security Force seperti tuduhan yang tanpa dasar dan mobilisasi massa besar-besaran dengan tujuan politik tertentu, kita diingatkan kembali kepada apa yang terjadi paska tewasnya Rafiq Hariri. Tanpa melalui proses penyidikan, orang-orang yang sama yang kini menjadi tokoh-tokoh oposisi menuduh Syria sebagai pelaku pemboman. Pada saat yang sama mereka menuntut penarikan pasukan Syria dari Lebanon yang berdasarkan mandat Liga Arab dan permintaan pemerintah Lebanon sendiri berada di Lebanon untuk mencegah perang sipil dan menahan invasi Israel atas Lebanon. Tentu saja itu semua adalah agendanya zionisme internasional. Terbukti hanya setahun setelah pasukan Syria hengkang dari Lebanon, Israel menyerbu Lebanon tahun 2006. Beruntung Lebanon memiliki Hizbollah yang berhasil memukul mundur Israel sehingga Lebanon tidak menjadi Palestina II yang diduduki Israel.

Kini agenda zionisme yang sama menumpang kasus pemboman kepala Internal Security Force. Selain memberikan tekanan baru pada Presiden Bashar al Assad setelah mengendornya tekanan pemberontak yang kelelahan, oposisi juga menuntut pengunduran perdana menteri Najib Miqati yang tidak lain adalah tokoh yang didukung Hizbollah dan kelompok "perlawanan". Jika Miqati mundur, maka terbuka peluang tokoh oposisi untuk menduduki posisi perdana menteri. Jika perlu Saad Hariri kembali memimpin Lebanon.

Jadi kesimpulan saya (blogger), serangan bom itu, lagi-lagi hasil karya inteligen Israel/CIA demi menjalankan agenda mereka menguasai Lebanon dan menghancurkan musuh-musuh Israel.

No comments:

Post a Comment