Monday, 12 November 2012

APA KABAR SKANDAL KEBOCORAN RP 100 TRILIUN PLN?

"Ada berapa pembangkit listrik milik Dahlan Iskan di Kalimantan Timur yang dioperasikan, kenapa pembangkit itu bisa dipakai PLN, padahal dulu pembangkit itu tidak bisa lagi digunakan karena tidak layak, kenapa kok sekarang bisa, apa nama perusahaannya?" ucap Halim.

Seperti diketahui di Kalimantan Timur ada pembangkit listrik milik Dahlan Iskan yang digunakan untuk mengaliri listrik di Kaltim, perusahaan tersebut bernama Cahaya Fajar Kaltim.



Demikian cuplikan berita di situs berita detik.com tgl 7 November lalu dengan judul "Lawan Dahlan Iskan, Effendi Simbolon: Kita Lihat Siapa Menang!"

Sebelumnya saya sebenarnya tidak pernah berfikir Dahlan Iskan sebagai seorang "fundamentalis neolib", yang menjerumuskan Indonesia dalam jebakan hutang luar negeri dan memiskinkan rakyat Indonesia dengan membiarkan sumber-sumber alam dan ekonomi Indonesia dikuasai asing elit lokal antek-anteknya.

Kecurigaan saya bermula dengan munculnya tulisan-tulisan Dahlan Iskan di media massa online dan cetak yang isinya "membela" Sri Mulyani ketika skandal Bank Century tengah menjadi perhatian publik Indonesia antara tahun 2009 hingga 2010, dan Sri Mulyani disebut-sebut sebagai salah satu pihak yang paling bertanggungjawab. Saat itu juga saya tahu bahwa suatu "kode etik" tengah dijalankan Dahlan, yaitu membela teman sejawat. Dan karena Sri Mulyani adalah seorang fundamentalis neolib, maka berarti Dahlan juga sesama neolib.

Keyakinan saya tentang paham neolib yang dimiliki Dahlan terkonfirmasi ketika beliau menulis sebuah artikel di blognya yang isinya menyarankan pembongkaran jaringan rel kereta api di Indonesia dan menggantinya dengan jalan tol.

Kereta api adalah moda transportasi yang irit BBM dan murah pemeliharaannya, tidak menarik bagi para kapitalis penguasa bisnis minyak dan kontruksi. Tidak heran jika kereta api pernah dilarang dikembangkan di Eropa paska perang dunia II, juga di negara-negara penerima "bantuan pembangunan" Amerika. Atas tekanan Amerika dan negara-negara kapitalis lain yang berlindung di balik jubah IMF maupun Bank Dunia, pemerintah Indonesia juga sengaja membatalkan pembangunan jalur kereta api Medan-Aceh yang sebagiannya sudah dibangun sejak era kepemimpinan presiden Habibie. Kini rel-rel kereta api, lokomotif dan gerbong-gerbongnya yang masih "gress" itu mangkrak begitu saja di beberapa stasiun. Sesekali, demi menjaga agar kereta-kereta api itu tetap bisa berjalan, kereta-kereta api itu dijalankan maju mundur di sekitar stasiun.

Maka ketika saya mendengar rumor tentang keterkaitan Dahlan dengan sebuah organisasi mason, saya hanya tersenyum membenarkan. Apalagi ketika mendengar berita tentang "pujian" pengusaha non-pri CPT terhadap Dahlan terkait "keberanian" Dahlan menghadapi DPR, saya juga tersenyum saja. Sebagaimana Dahlan menuji Sri Muliani, CPT pun berbuat sama dengan memuji Dahlan.

Tanpa banyak diketahui publik CPT adalah "patron"-nya  Dahlan Iskan. Pengusaha non-pri itu adalah boss-nya GP Group, perusahaan penerbitan raksasa yang memiliki 2 group media terbesar Indonesia, Jawa Pos Group dan Tempo Group. Bagi CPT tentu saja Dahlan adalah "pegawai" yang baik yang berhasil mengembangkan salah satu perusahaan miliknya. Hanya sebagai "pegawai", karena bahkan ketika Dahlan diangkat menjadi CEO Jawa Pos Group, ia hanya pemilik saham minoritas perusahaannya. Dahlan juga tidak banyak mengetahui urusan keuangan perusahaannya karena untuk tugas itu telah ditetapkan seorang direktur keuangan, yang juga non-pri, yang "mengawal" kemanapun Dahlan pergi hingga muncul rumor kurang sedap tentang hubungan keduanya. Dan sebagaimana kebanyakan pengusaha nasional terbesar lainnya, apalagi yang bergerak di bisnis media, saya percaya ada pendukung finansial asing di balik CPT.

Hari ini Dahlan Iskan, pegawainya CPT, akhirnya datang memenuhi panggilan DPR setelah sempat kucing-kucingan menghindar, untuk menjelaskan skandal kebocoran PLN senilai Rp 100 triliun (pengakuan Dahlan Iskan sendiri, meski BPK hanya menemukan kebocoran Rp 37 triliun). Namun alih-alih memberikan penjelasan, Dahlan masih berputar-putar pada hal-hal normatif. Berbeda jauh dengan temuan anggota-anggota DPR yang bahkan sangat rinci dan detil. Salah satunya adalah dugaan mark-up pembelian BBM impor yang nilainya mencapai Rp 15 triliun atau lebih dari 2 kali skandal Century. Modusnya adalah mencantumkan komponen-komponen biaya yang sebenarnya tidak ada, seperti PPn barang impor.

Terlepas dari apa yang dijelaskan Dahlan, kita mestinya sudah mengetahui jauh-jauh hari bahwa penunjukan Dahlan sebagai Dirut PLN tidak tepat, karena ia memiliki perusahaan suplier PLN sejak ia belum menjabat sebagaimana tertulis dalam cuplikan berita di atas.

No comments:

Post a Comment