Lebih dari 20 bulan krisis Syria berlangsung di luar perkiraan, kita bisa belajar banyak tentang rakyat Syria sebagaimana kita belajar selama puluhan tahun terhadap rakyat Palestina. Sebagaimana rakyat Palestina yang sangat peduli dengan nasib saudara-saudaranya yang menjadi pengungsi di negeri lain, demikian pula halnya rakyat Syria.
"Bagaimana kondisi saudara-saudara kami yang menjadi pengungsi di Lebanon?" Pertanyaan seperti itu sering diajukan orang-orang Syria kepada para relawan asing.
"Bagaimana kondisi saudara-saudara kami di Jordania, Irak, atau Turki. Apakah mereka diperlakukan dengan baik? Apakah mereka terpenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya?"
Dan jumlah pengungsi Syria di luar negeri semakin besar dari hari ke hari. Sampai saat ini diperkirakan terdapat sekitar 700.000 pengungsi Syria di luar negara-negara tetangga. Diperkirakan sampai akhir tahun ini jumlah pengungsi akan meningkat menjadi 1 juta orang. Menurut United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) secara total terdapat hampir 2 juta orang yang menjadi pengungsi di dalam maupun luar negeri.
Menurut data UNHCR terdapat 205.000 pengungsi Syria di Jordania, 60.000 di Irak, 110.649 di Turki, dan 110.095 di Lebanon. Jumlah sebenarnya diperkirakan jauh lebih besar mengingat banyak pengungsi yang tidak terdaftar yang tinggal di rumah kerabatnya di negeri-negeri tersebut di atas.
"Lebih banyak warga Syria yang menjadi pengungsi di perbatasan dan kami masih terus mengalami konflik," kata Dr. Abdul Rahman Attar, Direktur Palang Merah Syria kepada pengamat di kantornya di Damaskus. Menurut Attar pengungsi di dalam negeri telah mencapai angka 1,5 juta orang dan sekitar 8,5% dari seluruh penduduk Syria lari dari rumahnya selama terjadinya konflik. Di Damaskus sendiri terdapat sekitar 400.000 pengungsi.
Pejabat regional UNHCR di Syria menyebutkan bahwa setiap harinya terdapat lebih dari 3.000 pengungsi yang menyeberang ke perbatasan negara tetangga, atau sekitar 90.000 pengungsi setiap bulannya. Mengingat tidak berjalannya sebagian layanan publik, diperkirakan terdapat 1,2 rakyat yang memerlukan bantuan kemanusiaan di dalam negeri. Dengan kata lain terdapat 2,7 juta warga Syria yang membutuhkan bantuan kemanusiaan, atau sekitar 12% persen dari seluruh populasi di Syria.
Sebagaimana di Syria, Turki, Jordania dan Irak menyediakan penampungan gratis bagi para pengungsi. Namun di Lebanon, pemerintah tidak mengijinkan pembangunan rumah-rumah penampungan karena alasan politis yang didasarkan oleh sentimen sekterianisme. Hal ini pula yang menyebabkan pemerintah Lebanon tidak pernah mengijinkan pengungsi Palestina yang telah berada di Lebanon sejak lebih dari 60 tahun lalu, untuk memiliki tempat tinggal dan pekerjaan.
Banyaknya pengungsi Syria di Lebanon turut memicu ketegangan sektarian. Meski rakyat Syria telah banyak membantu ribuan pengungsi Lebanon yang menyelamatkan diri dari serangan Israel tahun 2006, berbagai tindak kekerasan dialami para pengungsi Syria maupun pekerja asal Syria di Lebanon.
Namun di luar kekacau-balauan itu, di sepanjang perbatasan Syria terdapat banyak harapan dan bahkan inspirasi. Hal itu datang dari rakyat Syria sendiri dan juga dari saudara-saudara mereka sesama bangsa Arab. Sekitar 10.000 sukarelawan, termasuk yang berasal dari pengungsi Irak dan Palestina, menjadi tenaga penggerak bulan sabit merah Syria (Syrian Arab Red Crescent Society / SARC) di sekitar 80 pusat layanan yang tersebar di seluruh Syria. Pusat-pusat layanan itu termasuk beberapa mobil klinik dan farmasi serta 10 pusat layanan cepat.
Tergantung pada kondisi lapangan, para anggota SARC bekerja 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Sejak pertengahan musim panas tahun ini, para relawan SARC telah membangun pusat-pusat layanan psikologis untuk anak-anak dan orang dewasa. Baru-baru ini sebuah jalur “hotline” telah dibentuk untuk memberikan bantuan bagi masyarakat yang membutuhkan pertolongan. International vol
Para relawan SARC baru-baru ini mendapat pujian dari UN World Food Program dan lembaga-lembaga bantuan lainnya karena keberhasilannya mengantarkan berbagai bantuan kepada pengungsi. Tanpa memandang ras maupun orientasi politik, para relawan dengan penuh dedikasi menunaikan tugasnya. Didirikan tahun 1942 setelah kaum kolonialis Perancis hengkang, SARC tergabung dalam Palang Merah Internasional tahun 1946. SARC tidak mendapat bantuan dana dari pemerintah.
Tentang tingginya pengabdian masyarakat Syria, seorang relawan senior SARC mengataka: "Ketika salah seorang relawan tewas, kami menguburkan jasadnya, dan keesokan harinya muncul 20 orang atau lebih yang menggantikannya untuk melayani rakyat yang terjebak di daerah-daerah berbahaya. Saya harus katakan kepada Anda bahwa kekacauan yang kami hadapi ini membuat saya bangga pada bangsa Syria menjadi bagian darinya. Insya Allah kami akan mengatasi kekacauan ini dan kami akan menjadi bangsa yang lebih kuat dari sebelumnya."
John Ging, direktur operasi "United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs" mengatakan dalam rapat PBB tgl 5 November lalu bahwa pekerjaan yang dilakukan para relawan SARC sebagai "sangat berbahaya dan sulit", namun para relawan berhasil mendistribusikan bantuan kepada 1,5 juta pengungsi yang separo diantaranya berada di wilayah konflik.
"Namun ada area-area yang berada di luar jangkauan kami, terutama yang berada di bawah kekuasaan pemberontak, untuk waktu yang relatif lama," kata Ging.
Sebagaimana medan perang di Syria, aktifitas sukarelawan juga menjadi medang perang tersendiri. Para relawan Syria, misalnya, menuduh UNHCR hanya bekerja di "belakang meja". Seorang pejabat Syria mengatakan, "Kami melihat banyaknya kendaraan baru yang diterbangkan UNHCR ke Syria dan juga staff-staffnya bergaji besar, namun tolong tunjukkan kepada saya bantuan mereka yang benar-benar diterima rakyat Syria, bahkan hanya berupa sepotong roti."
Namun SARC sendiri bukan tanpa "kritikan". Taufik Chamaa, jubir untuk "Union of Syrian Medical Relief Organizations (UOSSM)" menuduh SARC telah mengalihkan seluruh bantuan yang diterima kepada regim Syria.
"90 hingga 95% dari seluruh bantuan yang diterima markas Syrian Red Crescent di Damaskus, pada akhirnya jatuh ke tangan penguasa Syria, khususnya tentaranya,” tuduh Chamaa.
Namun menurut "AFP", palang merah internasional dan World Food Program (WFP), yang keduanya banyak terlibat kerjasama dengan bulan sabit merah Syria, membantah tuduhan itu. SARC sendiri belum memberikan respons atas tuduhan USOOM tersebut.
Sebaliknya UOSSM sendiri, sebagaimana beberapa organisasi kemanusiaan asing yang berada di Syria, menjadi sasaran kritikan karena dianggap telah "terpolitisasi", "terpolarisasi", dan "eksklusif" dengan hanya bekerja di belakang meja di kantornya di Paris maupun Genewa. Taufik Chamaa sendiri, misalnya, adalah staff bergaji tinggi dari organisasi payung yang membawahi 14 organisasi kemanusiaan barat termasuk Perancis, Swiss, Amerika dan Turki.
UOSSM dibentuk awal tahun ini dengan anggota kebanyakan dokter-dokter Syria yang tinggal di negara-negara barat. Beberapa pengamat politik berspekulasi bahwa UOSSM dipersiapkan untuk menjadi organisasi yang terafiliasi dengan misi "kemanusiaan" yang bakal digelar NATO. Sementara beberapa pihak lain menyesalkan tuduhan tanpa dasar UOSSM terhadap SARC sebagai telah "melukai" rakyat Syria yang menderita dan para relawan yang telah bekerja dengan tulus iklas.
Tuduhan tanpa dasar itu juga dibantah oleh jubir WFP Elisabeth Byrs yang pada tgl 7 November lalu mengatakan kepada pers, "Saya percaya bahwa sama sekali tidak ada perampasan bantuan oleh pemerintah Syria. Para pengawas kami memiliki akses ke seluruh wilayah penyebaran bantuan, bahkan di wilayah-wilayah paling berbahaya dimana mereka menggunakan kendaraan lapis baja milik WFP."
Bantahan juga dikeluarkan oleh palang merah internasional. Dalam press release-nya tgl 7 November lalu organisasi itu menyatakan bahwa jika laporan itu benar, tentu palang merah internasional sudah memberikan teguran keras kepada SARC dan pemerintah Syria.
Meski sehari kemudian, dalam suatu episode yang tampak nyata sebagai "propaganda pro-intervensi asing"-nya negara-negara barat, presiden palang merah internasional mengatakan hal yang "berbeda".
"Kami berada pada situasi dimana situasi kemanusiaan akibat konflik telah menjadi semakin parah. Kami tidak bisa menjalankan tugas kami karena situasi yang semakin membahayakan. Kami memiliki area-area yang tidak terjamah yang sudah lama tidak mendapatkan bantuan apapun dan saya tidak bisa mengatakan situasi semacam apa itu, atau apa yang bisa kami lakukan."
Pernyataan itu pun mendapat sambutan PBB sehari kemudian. Pada tgl 9 November Ketua HAM PBB menyebutkan bahwa pihaknya tengah berupaya keras untuk bisa menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada rakyat Syria. Sedangkan komisaris tinggi HAM PBB Navi Pillay, di sela-sela pertemuan Bali Democracy Forum, mengatakan kepada wartawan, "Fakta bahwa palang merah mengatakan mereka tidak bisa melaksanakan tugas utamanya, membuat krisis kemanusiaan di Syria sangat kritis, nyaris tanpa harapan."
Sementara para relawan Syria dan Arab yang bekerja dengan tulus ikhlas, tidak pernah mengeluh dan menyalahkan keadaan. Di antara mereka adalah Zeinab Tamari, seorang pengungsi Palestina di kamp Yarmouk di Damaskus yang telah menjelajahi seluruh wilayah Syria demi menyalurkan bantuan kepada para pengungsi. Atau Mahar Saad yang rumahnya hancur akibat pertempuran di Homs, yang menghabiskan hari-harinya menentang maut dengan tetap tinggal di kampung halamannya menolong tetangga-tetangganya, meski seluruh anggota keluarganya sendiri telah tewas karena perang. Mereka berdua adalah relawan SARC. Mereka menjadi inspirasi bagi rakyat Syria dan juga bagi seluruh manusia di bumi ini, tidak peduli dengan apa yang akan terjadi nantinya di Syria.
SUMBER:
"Resisting hell’s maelstrom: Syrian volunteers exhibit their humanity"; Franklin Lamb; almanar.com.lb; 9 November 2012
Salam, sekedar usul, bagaimana kalau dipasang menu share FB atau twitter, jadi orang yang ingin men-share tinggal klik saja.
ReplyDeleteterima kasih atas sarannya. insya Allah kami penuhi.
ReplyDelete