Sebagai junior di asrama mahasiswa UGM, saya tentu sangat kagum dengan kesuksesan karier Rizal Mallarangeng. Tidak hanya berhasil meraih gelar tertinggi di bidang pendidikan di Ohio State University, Amerika, beliau pernah menjadi host acara televisi bergengsi, eksekutif direktur LSM terkemuka, dan terlebih lagi beliau berhasil masuk ke "kalangan dalam" kekuasaan sejak era pemerintahan Presiden Megawati hingga SBY. Meski dalam hal yang terakhir ini sempat terdengar sesuatu yang tidak mengenakkan saya, yaitu "ketangkap" main-main di suatu lokalisasi di negara yang dikunjungi presiden dan rombongannya. Mudah-mudahan cerita itu hanya sekedar desas-desus kosong belaka.
Bagi saya sendiri yang berada di "luar" kekuasaan, keberadaan Rizal sama misteriusnya dengan Andi Arief dan Amril Buamona, sesama mantan aktivis UGM yang menjadi musuh pemerintahan Soeharto tapi kini justru masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Andi dan Amril bahkan kini diangkat sebagai staff khusus Presidenan SBY (Amril adalah teman satu flat saya di asrama mahasiswa UGM. SBY tampaknya telah "memboyong" para mantan aktifis "kiri" dari UGM ke dalam kekuasaan). Atau juga RA, mantan Asisten Pribadi Ketua Otorita Batam yang saya kenal, yang saya dengar kini telah bergabung dalam "kelompok dalam"-nya Abu Rizal Bakrie.
Saya melihat seperti ada "tangan tak terlihat" yang mengatur posisi-posisi strategis kekuasaan di negeri ini. Sehingga meski presiden dan menteri berganti-ganti, orang-orang "lingkaran dalam" itu tetap bergantian jabatan. Padahal mereka menduduki posisi yang sangat strategis karena presiden tidak akan sempat mengurusi hal-hal teknis yang rumit dan dalam hal ini merekalah yang menanganinya. Misalnya saja, staff kepresidenan-lah yang menentukan siapa bisa bertemu presiden dan siapa tidak bisa.
Saya teringat dengan kisah masa lalu di jaman Romawi dimana birokrasi pemerintahan justru dikuasai oleh sekelompok pembantu istana yang dipimpin oleh seorang kasim (budak laki-laki yang telah dikebiri). Pada masa lainnya birokrasi istana dikuasai sekelompok tentara pengawal kaisar.
Mungkin karena itulah maka Rizal Mallarangeng dulu diangkat sebagai anggota tim negosiator pemerintah dalam menentukan kontrak Blok Cepu dengan perusahaan minyak Amerika, Exxon. Padahal dari track record-nya, tidak ada dasar untuk itu karena beliau sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan masalah minyak dan gas. Beliau adalah ahli ilmu sosial. Dan seperti kita ketahui semua, Blok Cepu yang sangat besar potensi keuntungannya itu kini menjadi hak pengelolaan perusahaan minyak asing, sementara perusahaan minyak nasional hanya bisa gigit jari.
Tanpa perlu pembahasan mendalam dan berbelit-belit, itulah manifestasi dari keberadaan faham neo-liberalisme yang dianut INdonesia. Memberikan asset-asset strategis dan kekayaan alam yang melimpah kepada asing dan meninggalkan tumpukan hutang di pundak seluruh rakyat INdonesia. Faham itu pulalah yang membuat perusahaan-perusahaan milik negara lebih memikirkan keuntungan yang harus dibagi-bagi dengan kontraktor-kontraktor asingnya, daripada harus melayani rakyat yang pada dasarnya adalah pemilik perusahaan-perusahaan itu. Tidak heran jika meski tarif listrik terus-menerus naik, pemadaman listrik justru semakin sering terjadi. Dan meski harga BBM terus-menerus naik, antrian BBM justru semakin sering terjadi.
Sebenarnya saya hanya 2 kali pernah bertemu Rizal karena ketika saya masuk asrama mahasiswa, beliau baru saja lulus. Pertemuan pertama adalah saat menghadiri pernikahannya di Yogyakarta tahun 1993. Saat itu saya ingat, teman-teman menghadiahi bola plastik sebagai kenang-kenangan kebersamaan mereka dengan beliau saat masih tinggal di asrama dan setiap sore bermain bola di lapangan asrama. Pertemuan kedua terjadi awal tahun 2004, saat saya diajak seorang senior lainnya menemui beliau di kantor Freedom Institute di kawasan Menteng.
Postingan ini saya buat karena saat ini tengah menjadi pembicaraan tentang keterlibatan klan Mallarangeng (Andi Mallarangeng dan Choel Mallarangeng) dalam kasus korupsi Hambalang, dan saya teringat dengan Rizal, salah seorang anggota klan Mallarangeng yang berkibar namanya setelah berhasil mengantarkan SBY sebagai presiden Indonesia, namun kini justru bertengger di kepengurusan pusat Partai Golkar.
Berikut adalah satu surat terbuka dari seorang ahli geologi kepada Rizal Mallarangeng paska kesepakatan pengelolaan Blok Cepu.
========================
Surat Terbuka Buat Rizal Malarangeng
Posted on 28 Maret 2006 by Rovicky
Mas Rizal yang baik,
Selamat atas “kesuksesan” anda. (maaf masih dalam “tanda kutip” karena saya terpaksa menganggap ini masih wacana pribadi anda yg menyatakan sukses).
Sudah sejak awal (ketika dioperasikan HUMPUSS) saya melihat bahwa Cepu ini sudah kontroversial. Awalnya kontrak daerah ini berupa sebuah kontrak TAC (Technical Assistant Contract), adalah kontrak yang pada kontrak-kontrak sejenis lainnya/sebelumnya isinya berupa bantuan dalam proses produksi, bukan eksplorasi. Namun saya ndak tahu apa sebabnya tiba-tiba HUMPUSS melakukan kegiatan eksplorasi. Pada waktu itupun saya sebagai praktisi di bidang migas di Indonesia cukup bangga karena “ada” perusahaan nasional yg “berani” melakukan eksplorasi. Walaupun “cara” mendapatkan daerah konsesinya dengan fasilitas. Which is OK to me, lah masih “anak-anak” kan wajar kalau dapet subsidi “uang jajan”.
Namun perjalanan sejarah berikutnya berubah lain lagi. Blok ini entah bagaimana “berubah” menjadi PSC dan ini tentu saja mengundang pertanyaan dan menjadi delik khusus, apakah bisa kontrak berubah. Dan fenomena inipun dipertanyakan oleh salah satu BOD IPA (Indonesian Petroleum Associacion).
Yang ingin saya garis bawahi adalah adanya “kejadian” perubahan kontrak. Bisa jadi kontrak baru ini bagus (entah versi siapapun), namun yg saya sayangkan sepertinya ada “pelanggaran” komitmen awal. Dimana menurut saya komitmen awal harus diseleseikan dulu. Dan sepertinya kelemahan org Indonesia ini adalah mempertahankan komitmen. Dan Anda tahu kan, bahwa komitmen daerah ini yg seharusnya berhenti tahun 2010. Namun saya heran kenapa Anda menyatakan Indonesia akan menikmati hasil setelah 2012, itupun “kalau memenangkan” arbitrase. Bukankah kontrak TAC dengan Humpus yg berubah ke PSC ini akan berakhir dengan sendirinya tahun 2010? Dan perpanjangan kontrak bukanlah sebuah “keharusan”? Mengapa Anda takut ada arbitrase?
PSC (Production Sharing Contract) pada prinsipnya mirip BOT (Build Operate and Transfer), mirip membangun jalan tol. Artinya pada akhir kontrak harus ditransfer dulu ke “host country”, perkara nantinya diperpanjang lagi itu tidak apa-apa, apalagi kalau menuntungkan kedua belah pihak. Tetapi menganggap bahwa perpanjangan kontrak sebagai sebuah keharusan yg bisa menuai badai arbitrase menurut saya logika yang “salah besar”. Karena menyalahi ide dasar BOT di atas. Walaupun ternyata jalan tol yg juga BOT-pun ndak dikembalikan juga ke negara ya … ok ini perkara lain.
Perpanjangan kontrak yg belum berakhir karena diburu-buru ini tidak hanya kontrak Cepu. Bahkan kontrak Freeport dulu juga diperpanjang sebelum masa kontrak berakhir. Ini yang harus diperhatikan Mas Rizal. Bahwa memperpanjang kontrak yg masih jauuuh akan berakhir seringkali “menjebak”. Jadi saran saya selesaikan dulu kontrak, baru diperpanjang setelah dikembalikan. Kan wajar to?
Mas Rizal, saat ini saya bekerja di Kuala Lumpur, Malaysia. Dan saya punya kesempatan banyak melihat bagaimana industri migas Malaysia melalui Petronas-nya berkembang pesat. Sistem PSC mereka diadopsi dari PSC Indonesia, namun modifikasi yg dilakukannya sangat canggih. Silahkan mampir di blog saya ( rovicky.blogspot.com ), saya menguraikan panjang lebar tentang perbandingan PSC Indonesia dan Malaysia. Dimana salah satunya adalah Malaysia menjalankan PSC-nya persis sistem BOT. Yaitu semua kontrak PSC yg habis dikembalikan ke Petronas dan dikelola sendiri oleh Petronas. Dan jangan kaget saat ini ada 150 Geoscience dan Engineer Indonesia yg bekerja di Kuala Lumpur. Hampir semua proyek Petronas pasti “dihiasi” oleh GGE Indonesia. Jadi bukan hanya TKI pembantu dan buruh saja yg ada di Malaysia.
Nah ada tiga point yg ingin saya sampaikan mas Rizal.
- Bahwa ide BOT dijalankan dengan baik di Petronas sehingga Petronas dapat “belajar” mengendalikan sendiri perminyakannya. Dan GGE Indonesia telah kehilangan Cepu sebagai ladang belajar.
- GGE Indonesia ini sudah mampu mengelola lapangan minyak. Dan ini justru diakui oleh Petronas namun justru tidak diakui di dalam negeri, bahkan tidak diakui oleh pemerintahnya sendiri (paling tidak secara tak langsung).
- PSC term tidak hanya masalah “fiskal”. Split kadang kala tidak berarti banyak dalam longterm production. Ketahuilah kita hanya sukses menjalankan PSC generasi pertama saja. Dimana plateu production kita ini hanya bertahan 20-30 tahun sejak PSC dicanangkan. Artinya hanya satu kali periode kontrak PSC.
Nah kembali soal Cepu Blok. Saya tahun kemarin (2005) pernah membuat seminar bersama teman-teman di Indonesia lewat IAGI-HAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia – Himpunan Ahli Geofisika Indonesia). Pada waktu itu yang saya katakan hanyalah soal kemampuan orang Indonesia mengelola Cepu. Mengapa saya berkonsentrasi disini karena rasa bangga dan diakui mampu dan impaknya ternyata sangat besar. Memang tidak instant seperti yg Mas Rizal katakan “untuk saat ini” yg mampu membuat sekolahan dan puskesmas. Ungkapan ketidak mampuan Indonesia mengelola Cepu inilah yg “menohok urat malu” teman-teman saya di HAGI dan IAGI. Sehinga mereka merasa dipermalukan dengan ungkapan tidak mampu sebagai pengelola lapangan minyak.
Barangkali benar kata Anda bahwa mereka masih cerewet dan merengek-rengek, namun ya inilah kondisi bangsamu Mas Rizal. Anda barangkali sudah berjalan terlalu maju kedepan. Namun pelajaran yg saya ambil dari Malaysia justru sebaliknya dengan Anda. Mereka (pemerintah Malysia) saat ini sedang “melindungi” Mobil Nasionalnya Proton, dengan menurunkan harganya sekitar 2-3 %. Hanya satu alasan logis yg saya rasakan, untuk meningkatkan kebanggan rakyat menggunakan mobil bikinannya dan sebagai Bangsa Malaysia. Nah anda yg dalam posisi sebagai negosiator justru memposisikan bangsa sendiri dalam posisi di bawah. Wah nyesel saya Mas Rizal … maaf.
Ya, Saya saat ini juga tidak akan berkepanjangan memikirkan soal Cepu ini lagi. Karena saya barusaja menemukan kembali “harta karun” negara saya berupa cadangan geothermal yg cadangannya merupakan 40% cadangan dunia, dan nilainya setara dengan 8 milyar BOE, bandingkan dengan cepu yg hanya 500-700 juta barrel. Nah saya aprreciate kalau anda masih ingin berkutet sebagai negosiator didalam sektor geothermal ini. KArena energi geothermal ini hanya bisa diubah menjadi listrik sehingga relatif “aman” tidak dijarah negara2 yg rakus energi.
Nah, Mas Rizal kalau memang anda bener mau sukses, tolong Energi Geothermal ini “dikawal” lagi ya …
Salam
Rovicky Dwi Putrohari
Geologist Indonesia
Anggota : IAGI-HAGI-IPA
Catatan:
Bagi saya (blogger), membiarkan Rizal dan orang-orang neo-liberalis lainnya "mengawal" kekayaan-kekayaan alam Indonesia yang strategis adalah sama dengan memelihara anak srigala di dalam kandang ayam.
Sekitar 10 tahun yang lalu, saat saya sedang melakukan skripsi bidang panasbumi, saya mendapatkan berbagai info. Sesuai dengan yg sudah dijelaskan diatas: potensi 40% ada di Indonesia.. dan kenyataannya (wacana 10 tahun yll) baru 5% yang sudah diolah. Bandingkan dengan Philiphina, Italia, atau negara lain yang potensi geothermalnya sangat jauh dibandingkan dengan Indonesia, mereka sudah memanfaatkan sekian ribu watt!
ReplyDeleteBeberapa bulan yang lalu saat bertemu dengan geos yang sudah lama berkiprah didunia migas yang juga senior saya(alm. Idam Mustika), saya 'mencurahkan' soal kondisi geothermal di Indonesia. Menurut beliau, hambatan itu ada di fasilitas yang kurang memadai.. tapi dengan tegas saya katakan.. "tidak sesederhana itu, kang Idam.. masalah terbesar ada di politik.. apa iya orang2 'yang berkuasa' di negeri ini mau 'meng-keep' migas? ntar ga kebagian 'untungnya' donk.."
Setelah saya membaca uraian diatas, ternyata ada juga yang sejalan dengan pemikiran saya mengenai energi geothermal ini.
Selama pemimpin negeri ini bukan orang yang benar.. jangan harap potensi geothermal akan berkembang.
walahualam..