Tuesday, 15 January 2013
ANTARA ANWAR IBRAHIM DAN HABIBIE (TERAKHIR)
Bagi sebagian besar pengusaha senior, pejabat birokrat, politisi dan tokoh masyarakat Kota Batam, Bu Sri Soedarsono bisa dikatakan adalah "patron" mereka. Tidaklah berlebihan karena ia adalah adik bungsu dari Presiden Habibie yang selama bertahun-tahun menjabat sebagai Ketua Otorita Batam. Selain itu Bu Sri juga istri dari Pak Mayjend Soedarsono, wakil Habibie sebagai Ketua Satuan Pelaksana Otorita Batam.
Tidaklah mengherankan jika saat Pak Soedarsono meninggal dunia tahun 2000, rumah Bu Sri dipenuhi oleh para public figure Kota Batam. Sebagian dari mereka duduk bersila di lantai beralas karpet sambil mulutnya komat-kamit mengucapkan do'a. Sebagian lagi berdiri antri menunggu kesempatan mengucapkan kalimat bela sungkawa, termasuk saya.
Antrean panjang itu berjalan agak cepat karena setiap orang hanya mempunyai kesempatan beberapa detik untuk menyalami Bu Sri sambil mengucapkan kalimat bela sungkawa. Namun ketika tiba giliran saya, antrean itu tiba-tiba berhenti agak lama. Tanpa saya duga sebelumnya, sembari menggenggam tangan saya, Bu Sri tiba-tiba saja "curhat" kepada saya, menceritakan saat-saat terakhir suaminya merasakan kehidupan dunia serta sebab-musabab jatuh sakitnya beliau.
Saya tentu saja hanya bisa melongo, sama seperti orang-orang yang memandangi saya keheranan. Apalah artinya saya, seorang pemuda lajang yang baru 1,5 tahun menjadi wartawan di Batam. Namun Bu Sri telah menaruh kepercayaan begitu tinggi kepada saya untuk menerima beban hatinya ditinggal suami. Saat itulah saya baru mengerti alasan beberapa teman saya sering meledek saya sebagai "anaknya Bu Sri". Seharusnya saya sudah menyadarinya sejak lama. Saya adalah wartawan yang hampir tidak pernah ketinggalan mendapat undangan untuk meliput kegiatan-kegiatan beliau. Suatu saat beliau bahkan pernah menunda acara peresmian sebuah klinik miliknya hanya karena menunggu kedatangan saya.
Tidak hanya karena Ibu Sri saja yang membuat saya merasa dekat dengan Habibie. Tempat favorit saya selama tinggal di Batam adalah Hotel Melia Panorama, hotel yang semua orang Batam mengenalnya sebagai miliknya keluarga Habibie. Di sinilah pada akhir tahun 1998 Presiden Habibie pernah menerima kunjungan Presiden Estrada dari Philipina, dan pada saat yang bersamaan juga menerima Nurul Izzah, putri sulung Anwar Ibrahim. Di tempat pertemuan Habibie-Estrada itu pada tahun 2000 saya menjadi ketua panitia acara seminar Free Trade Zone dan berpidato di podium yang digunakan Habibie dan Estrada.
Dan karena dianggap berjasa mempopulerkan Tavern Pub & Discotheque sebagai tempat hangout favorit, saya mendapatkan freepass untuk menikmati semua fasilitas hotel ini. Namun tempat yang paling saya sukai adalah Roof Top Cafe. Seringkali, di malam hari setelah pulang kerja, saya mampir ke tempat itu untuk bermain biliar atau lempar dart bersama teman-teman sembari menikmati pemandangan kota dari lantai 17, tempat tertinggi di Kota Batam kala itu.
Habibie adalah nama yang sangat berkesan bagi saya. Ia-lah presiden yang telah memberi saya kesempatan menikmati sedapnya jamuan kenegaraan kala beliau dan seluruh jajaran Kabinet Reformasi bertemu PM Mahathir Mohammad dan seluruh jajaran kabinetnya di Nongsa Point Marina & Resort pada tahun 1999. Beliau pula satu-satunya presiden Indonesia yang biografinya telah saya baca lengkap. Namun keberpihakannya pada agen-agen neo-liberalisme termasuk Anwar Ibrahim, memaksa saya untuk berbicara melalui tulisan ini.
Seandainya saja Habibie menepati rencananya menghabiskan sisa hidupnya di Batam sambil menulis buku (begitu Bu Sri Sudharsono pernah mengatakannya kepada saya), bukannya repot-repot menjumpai Anwar Ibrahim di Malaysia dan mengundangnya menghadiri peluncuran film Habibie & Ainun, dan kemudian menyambutnya sebagai sahabat karib, mungkin kesalahan-sesalahannya di masa lalu akan terkubur ditelan masa.
(SELESAI)
No comments:
Post a Comment