Monday, 18 February 2013

Syria di Republika


Dina Y. Sulaeman*
 
Pada 11 Februari lalu, kolom Resonansi  harian Republika menurunkan sebuah artikel yang menurut saya sangat menyedihkan. Bagaimana mungkin seorang jurnalis senior, mantan Pemimpin Redaksi harian besar di Indonesia itu, sedemikian awamnya dalam memahami konflik Syria dan konstelasi politik global? Sang jurnalis yang bernama Ikhwanul Kiram Mashuri (IKM) itu menyandarkan analisisnya dari sebuah video yang  belum diverifikasi kebenarannya, lalu menyimpulkan bahwa “musuh umat Islam tidak hanya Zionis, melainkan juga rezim brutal seperti Assad.”

Bagaimana mungkin seorang jurnalis senior sampai tidak tahu bahwa perang Syria sangat diwarnai perang propaganda dan bahkan disebut-sebut sebagai “A Photoshoped Revolution” saking banyaknya rekayasa informasi foto yang diunggah melalui internet untuk memprovokasi opini publik. Berkali-kali pihak oposisi mengunggah foto berdarah-darah di internet dan menyebutnya sebagai ‘korban Assad’. Lalu, biasanya para blogger-lah (sayang sekali, mengapa bukan jurnalis?) yang berjasa  menemukan bukti bahwa foto-foto itu mengabadikan kejadian berdarah di tempat lain (umumnya di Gaza).  Bahkan kantor berita sekelas BBC ketahuan menggunakan foto korban perang Irak dan menyebutnya itu korban pembantaian tentara Assad.

Kaum oposisi Syria pun membuat sangat banyak rekaman video amatir lalu diunggah di  internet. Video dari pihak oposisi ini dengan sangat cepat disebarluaskan ke seluruh dunia, bahkan di-relay dan disiarkan ulang oleh media massa mainstream. Video-video itu terbagi ke dalam beberapa jenis: pembantaian sadis yang disebut sebagai korban kebrutalan Assad, pembantaian sadis yang diiringi takbir (dilakukan oleh pasukan oposisi), dan video berisi propaganda relijius, yang sepertinya dibuat utk membangkitkan semangat jihad Islam. Video seperti ini biasanya memperlihatkan para pemberontak sedang menembakkan senjata dengan diiringi takbir, tayangan para pemberontak sedang sholat berjamaah, atau (konon) demo sejumlah massa yang menginginkan khilafah di Syria.

Bila IKM menyodorkan video tentang Hamzah Al Khatib yang (konon) dibunuh oleh tentara Assad (IKM tidak memberi bukti apakah secara jurnalistik video itu sudah terverifikasi), bagaimana bila dia menonton salah satu video sangat brutal yang diunggah oleh kaum oposisi? Video itu sudah terverifikasi (The Guardian memverifikasinya kepada Mustafa al-Sheikh, Ketua Dewan Tinggi Militer FSA) dan bisa diliat di you tube dengan kata kunci ‘syrian+rebel+execute+Aleppo [1]. Dalam video itu, sejumlah pria tak berbaju diseret keluar oleh sejumlah orang besenjata lalu dijejerkan ke dinding, dan kemudian ditembaki (bukan ditembak satu persatu, melainkan dibombardir peluru secara terus-menerus selama 43 detik). Setelah itu hening sekejap lalu diikuti teriakan takbir. Dipastikan, pelakunya bukan tentara Assad. Mustafa al-Sheikh, Ketua Dewan Tinggi Militer FSA, menyebut korban pembantaian adalah klan Al Berri, dan menyebutnya sebagai shabiha. Dalam logika Sheikh, mereka sah-sah saja membantai Berri dengan alasan: Berri adalah shabiha.
Shabiha (yang bermakna ‘hantu’) memang strategis untuk dimunculkan sebagai sosok antagonis. 

Ketika terjadi pembantaian massal terhadap warga Syria, yang tidak bisa dituduhkan kepada tentara Syria (karena tidak ada bukti), juga FSA menolak mengaku bertanggung jawab, maka muncullah shabiha, yaitu milisi sipil pendukung Assad yang konon melakukan pembunuhan brutal di mana-nama. Shabiha adalah kambing hitam nomer wahid di Syria.  Dalam Tragedi di Houla, misalnya (Mei 2012), yang sedemikian brutalnya sampai-sampai Kofi Annan menyebut situasi di Syria saat itu sebagai ‘tipping point’. Tanpa menunggu investigasi PBB, hanya berdasarkan laporan telepon dari aktivis oposisi, media mainstream menyebut pembantaian itu dilakukan oleh Assad dengan cara dibombardir senjata berat. Ketika tim investigasi PBB datang keesokan paginya dan menemukan bukti yang sangat jelas bahwa pembantaian itu dilakukan dengan cara-cara nonmiliter: ditusuk, digorok, dan ditembak jarak dekat, serta tidak ada bukti kehadiran militer di sana, dimunculkanlah shabiha sebagai pelaku.

Sebagai seorang jurnalis, IKM seharusnya jeli membaca laporan-laporan media massa itu. Mereka umumnya mendasarkan informasinya dari  saksi dari pihak oposisi yang tidak bisa diverifikasi seara independen.  Contohnya, laporan Associated Press  terkait Tragedi Houla. AP melakukan wawancara dengan Ali Al Seyyed, bocah 11 tahun, korban tragedi Houla. Wawancara itu dilakukan jarak jauh melalui internet (Skype) dan Ali dihadirkan oleh aktivis oposisi. Associated Press berterus-terang mengakui ‘sulit untuk memverifikasi cerita Ali secara independen’, tetapi, dalam laporannya itu AP tetap menyebut rezim Assad sebagai pelaku. Berbagai laporan dari media massa mainstream banyak yang mencantumkan frasa itu: kesaksian ini tidak bisa kami verifikasi secara independen. Seorang jurnalis yang jujur dan independen pastilah akan kritis dalam membaca laporan seperti ini.

Yang menggelikan, IKM membawa-bawa Taliban dalam tulisannya. Dia menyayangkan, mengapa ketika Taliban membunuh Malala Yousafzai reaksi dunia sangat keras, sementara untuk korban Syria, dunia internasional bereaksi biasa-biasa saja. Ada dua hal yang ingin saya komentari dari pernyataannya ini.
Pertama, terkait Taliban/Al Qaida. Bagaimana mungkin, seorang  jurnalis sekelas IKM tidak tahu bahwa sebenarnya pelaku teror di Syria adalah Al Qaida (meski dengan berbagai nama lain). Bagaimana mungkin dia tidak membaca laporan-laporan dari berbagai media mainstream yang menyebutkan bahwa pasukan jihad dari Libya dan berbagai negara Arab datang ke Syria?  Bahkan Mustafa al-Sheikh (Ketua Dewan Tinggi Militer FSA) saat diwawancarai Mona Mahmoud (The Guardian) mengakui hal ini, “Al-Qaida saat ini ada di berbagai penjuru Syria.”

Dan seorang jurnalis yang cerdas seharusnya akan dibuat heran oleh situasi ini: bagaimana mungkin AS yang di Afghanistan memburu Al Qaida dan Taliban, tetapi di Syria malah mendukung dan memfasilitasi kehadiran mereka (laporan-laporan bahwa CIA terlibat dalam pengiriman senjata dan pasukan jihad dari Libya dan negara-negara Arab sudah banyak diungkapkan oleh media-media mainstream). Apalagi, bukankah Republika juga merilis berita bahwa Israel pun kini sudah mulai terjun ke medan perang di Syria? Tidakkah fakta ini membuat IKM curiga: ada kelompok jihad Islam, tapi kok malah didukung Barat dan Israel? Mungkin IKM perlu sedikit browsing, mencari tahu siapa itu Bernard Levy dan apa peran tokoh Zionis ini dalam mendesain perang di Libya dan Syria?

Baru akhir-akhir ini saja, ketika kelompok garis keras di Syria terlihat sulit dikendalikan (apalagi malah nekad mendeklarasikan berdirinya khilafah di Syria), barulah AS ingin cuci tangan dan menyatakan ‘kiriman senjata untuk pihak oposisi ternyata jatuh ke pihak yang salah’, dan menaruh Front Al Nousra (salah satu kelompok oposisi yang sangat banyak melakukan peledakan bom di fasilitas publik) ke dalam list organisasi teroris.

Selain itu, seharusnya IKM menggali lebih dalam, tidak hanya membaca Syarq Al Awsat, tetapi mau membaca laporan-laporan PBB (dalam informasi yang simpang-siur dari dua pihak yang bertikai, laporan PBB bisa dianggap lebih valid, terutama dari sisi riset akademis). Menarik untuk dicermati bahwa Sekjen PBB dalam suratnya kepada Dewan Keamanan (Mei 2012) tidak secara tegas menyebutkan bahwa militer Syria membunuhi para demonstran.

“Ada laporan terus-menerus mengenai bertambahnya tindakan pengamanan yang keras yang dilakukan pemerintah, yang membawa ke arah pelanggaran HAM secara massif oleh tentara pemerintah dan milisi pro-pemerintah, termasuk penahanan secara semena-mena, penyiksaan, penghilangan paksa, dan pembunuhan terhadap aktivis, [yaitu] oposan dan pembelot [militer].”

Perhatikan bahwa Sekjen PBB menggunakan kalimat ‘ada laporan’ dan sama sekali tidak memberikan konfirmasi mengenai hal itu. Padahal, ada tim khusus PBB di Syria, yaitu UNSMIS, meski sekarang sudah dibubarkan. Sebaliknya dalam laporan itu disebutkan dengan tegas bahwa sangat banyak aksi teror yang menimpa warga sipil, tentara, dan termasuk anggota misi PBB sendiri (UNSMIS).  Bahkan laporan Sekjen PBB itu terang-terangan menyebut ada kelompok teroris mapan yang terlibat di Syria.

“Ada peningkatan jumlah pengeboman, yang paling banyak di Damaskus, Hama, Aleppo, Idlib, dan Deir ez-Zor. Ini termasuk pengeboman ganda di Damaskus pada 10 Mei 2012, ketika dua kendaraan yang membawa bom rakitan yang diperkirakan beratnya masing-masing 1000 kilogram, diledakkan di dekat gedung pemerintah. Ukuran bom ini menunjukkan bahwa bom ini dirakit oleh ahli tingkat tinggi, yang bisa mengindikasikan keterlibatan kelompok teroris yang mapan (established terrorist groups). Pemerintah telah menegaskan adanya kelompok-kelompok seperti ini di dalam negeri, demikian pula dinyatakan oleh beberapa kelompok oposisi. Front Al-Nusra telah mengklaim bertanggung jawab atas minimalnya enam pengeboman terakhir.”[2]

Kedua, terkait reaksi internasional. IKM pastilah sudah tahu dunia internasional sangat keras reaksinya terhadap Syria. Karakter Assad sudah habis-habisan dihancurkan oleh media-media mainstream dan media lokal yang merujuknya (antara lain, Republika sendiri). Jadi, apalagikah yang diharapkan IKM? Agaknya IKM mengharapkan intervensi militer, sebagaimana NATO menggulingkan Qaddafi. Tidakkah IKM curiga sedikit saja: mengapa Mubarak atau dulu, Shah Iran, bisa tumbang tanpa intervensi militer dari asing, sedang Qaddafi harus digulingkan melalui intervensi militer asing? Jawabannya: karena dukungan rakyat Libya terhadap perjuangan oposisi tidak cukup kuat. Itulah sebabnya mereka (oposisi di Libya) meminta bantuan asing.

Lalu, apa yang terjadi setelah pasukan asing masuk ke Libya? Apakah Libya kini aman dan makmur? Tidak. Libya, yang dulu negara makmur tanpa hutang, pendidikan dan kesehatan gratis, kini menjadi negara yang hancur lebur akibat bombardir NATO. Pemerintah baru Libya menyerah pada jeratan hutang kepada lembaga-lembaga keuangan internasional, terutama IMF, dan rekonstruksinya diserahkan kepada perusahaan-perusahaan Barat. Seandainya IKM pernah membaca buku John Perkins, dia akan melihat polanya dengan sangat jelas. Perangi sebuah negara yang independen (setidak-tidaknya, ‘sulit diatur Barat’) dengan kedok ‘humanitarian intervention’, lalu setelah negara itu hancur, sodori hutang, dan rampaslah minyak dan emasnya.

Dan bila dilacak ke belakang: siapa pemilik kontraktor-kontraktor AS, pemilik perusahaan-perusahaan senjata, pemilik saham dari lembaga keuangan yang bagi-bagi hutang itu;  yang semuanya mengeruk keuntungan dari perang? Tak lain adalah orang-orang Zionis. Ini bukan teori konspirasi. Segalanya sangat jelas dan terang-benderang, hanya dibutuhkan kejelian membaca data yang berserakan di internet. Dan skenario di Libya inilah yang sedang terulang di Syria. Sayangnya, hanya karena Assad seorang Alawy yang menjadi musuh bersama segolongan umat Islam garis keras, reaksi kaum muslimin terhadap Syria menjadi jauh berbeda. Media-media Islam yang dulunya berseberangan dengan media mainstream, kini justru bahu-membahu dalam perang propaganda melawan rezim Assad.

Apa boleh buat, hanya satu simpulan saya atas artikel IKM di Republika yang menanyakan “Apakah Musuh itu Hanya Zionis Israel”? : naif.

________
Dimuat di IRIB dan The Global Review

*Magister Hubungan Internasional Unpad, Research Associate of Global Future Institute

1 comment:

  1. yang sangat di sayangkan adalah,banyak juga blog2 berlambangkan islam yang ikut2an memposting hal yang aneh tersebut.
    ntah karena tidak tau atau memang sengaja membalikkan fakta yang ada.
    bahkan tentang fatwa untuk salman rushdi..!!
    dan saat kita tanggapi,akun kita akan di jebol...

    ReplyDelete