Thursday, 22 August 2013

ANTARA SOEKARNO DAN MOERSI (2)

Seperti sudah diperkirakan, jika Moersi dan Ikhwanul Muslimin tidak mau bersikap realistis dengan menerima "peta jalan" yang ditawarkan militer, mereka bakal menghadapi konsekuensi pahit yang tidak hanya diraskan oleh mereka, namun juga pendukung-pendukung mereka yang tidak bersalah, serta juga seluruh rakyat Mesir yang menghendaki kedamaian dan ketenteraman. Dan kekhawatiran itu akhirnya terjadi tgl 14 Agustus lalu ketika polisi dan militer Mesir membantai ratusan hingga ribuan pendukung Moersi.

Namun pembantaian itu tidak berhenti sampai di situ. Dua hari kemudian militer dan polisi kembali melakukan pembantaian yang menewaskan 178 pengikut Moersi. Selanjutnya pada tgl 18 Agustus sebanyak 36 tahanan Ikhwanul Muslimin tewas di penjara diduga akibat penyiksaan. Sehari kemudian terjadi serangan teroris terhadap aparat keamanan Mesir di Sinai yang menewaskan 25 tentara Mesir. Di antara peristiwa-peristiwa itu terjadi berbagai aksi kekerasan yang menewaskan belasan orang di berbagai penjuru Mesir, termasuk pembakaran tempat-tempat ibadah.

Kekacauan yang terjadi akibat konflik internal di Mesir itu hanya memberikan keuntungan bagi satu pihak, yaitu Israel.

Setelah Libya dan Irak dilemahkan oleh serangan Amerika dan NATO serta sekutu-sekutunya, sedangkan Syria tengah dihancurkan oleh konflik bersenjata, Mesir adalah satu-satunya kekuatan militer Arab yang bisa mengancam eksistensi Israel. Maka Mesir pun mendapat gilirannya.

Lalu siapa yang bertanggungjawab atas penghancuran Mesir saat ini? Jendral al-Sisi dan pendukung-pendukungnya memang harus bertanggungjawab. Namun mereka yang mengkondisikan kudeta dan pertumpahan darah juga harus bertanggungjawab. Dan mereka itu adalah Moersi dan para pemimpin Ikhwanul Muslimin Mesir.

Mengapa Moersi dan Ikhwanul Muslimin begitu ngotot mempertahankan kekuasaan pada saat kondisi tidak mendukung, sungguh sangat tidak difahami oleh akal sehat. Sejarah Islam yang dipercayai orang-orang Ikhwanul Muslimin sendiri mengajarkan untuk melakukan tindakan politik secara realistis. Ketika kaum muslimin masih lemah dan menghadapi ancaman pembantaian, Nabi Muhammad S.A.W memerintahkan kaumnya untuk ber-"taqiyah" alias menyembunyikan keimanan demi keselamatan jiwa. Baru setelah umat Islam memiliki kekuatan, Nabi memerintahkan kaum muslimin untuk angkat senjata, itupun dengan syarat-syarat yang cukup ketat. Di sisi lain Islam juga mengecam tindakan merusak diri sendiri apalagi tindakan bunuh diri.

Saya mengagumi perjuangan Hizbollah hingga berhasil mengalahkan Israel dalam beberapa pertempuran dan kini menjadi kelompok yang paling berpengaruh di Lebanon. Padahal sebelum munculnya Hizbollah dan kelompok perjuangan bersenjata Gerakan Amal awal tahun 1980-an, kaum Shiah Lebanon hanyalah warga kelas 2. Bahkan para pengungsi Palestina yang menjadi tamu di Lebanon berani melakukan tindakan-tindakan pelecehan terhadap mereka tanpa rasa takut.

Hizbollah sangat menjauhi aksi-aksi serangan bunuh diri. Kalau pun mereka melakukan serangan "teroris" seperti ketika membom markas tentara Amerika dan Perancis tahun 1983, mereka melakukannya dengan menggunakan "remote control" jarak jauh. Hizbollah juga tidak pernah (sepanjang pengetahuan saya) melakukan serangan teror yang ditujukan terhadap sasaran-sasaran sipil. Hizbollah melakukan semua aksinya dengan cermat dan proffesional.

Lalu ketika saya bandingkan dengan "perjuangan" para Ikwanul Muslimin di Mesir saat ini, sungguh saya menyaksikan suatu perbedaan yang sangat prinsipal. Para Ikhwan itu tampak seperti orang-orang bodoh yang putus asa, meski ditutupi dengan retorika "jihad". Manusia berakal sedikit saja tidak akan pernah berfikir Ikhwanul Muslimin bisa mengalahkan militer Mesir dengan kekerasan. Ikhwanul Muslimin bukan organisasi bersenjata yang memiliki milisi sebagaimana Hizbollah atau Hamas Palestina. Bahkan jika pun saat ini mereka memaksakan diri untuk membentuk milisi demi melawan militer, mereka hanya akan menciptakan kelompok-kelompok teroris sebagaimana mereka yang kini memerangi pemerintah Syria. Padahal para teroris itu gagal menjatuhkan kekuasaan regim Syria yang secara militer jauh lebih lemah dibanding Mesir, bahkan meski telah mendapat bantuan tanpa batas dari Amerika, Israel, Uni Eropa, Turki dan negara-negara Arab.

Selain "akal" dan "rasio", perjuangan "jihad" juga membutuhkan kepekaan "nurani", karena dengan itulah "pertolongan" Tuhan akan datang. Yang terakhir itulah yang juga membedakan antara Soekarno dengan Moersi. Jika Soeharno cukup memiliki hati nurani untuk menjauhi pertumpahan darah yang tidak perlu, tidak demikian dengan Moersi yang justru memprovokasi pendukung-pendukungnya yang lugu untuk melakukan bunuh diri demi mereka.


No comments:

Post a Comment