Perubahan signifikan dirasakan oleh “gerakan” terorisme internasional setelah Amerika memutuskan meninggalkan mereka. Kelompok utama Sunni Lebanon, Al Muqtabal, yang selama ini bahu-membahu bersama mereka memerangi Hizbollah, memilih bergabung bersama Hizbollah dalam pemerintahan mendatang. Militer Lebanon pun kini lebih berani bertindak terhadap tokoh-tokoh ektremis, seperti penangkapan Madjid al Madjid, pimpinan kelompok Brigade Al Azzam yang diduga telah melakukan serangan bom terhadap kedubes Iran di Beirut bulan November tahun lalu.
Lalu tiba-tiba, militer Turki yang tadinya bersahabat dengan mereka di medan perang Suriah pun turut memerangi mereka bersama milisi-milisi Kurdi. Selanjutnya mereka pun menyaksikan beberapa kelompok pemberontak Suriah yang dibantu Amerika, Turki, Qatar dan negara-negara barat membentuk koalisi bersama untuk memerangi mereka. Disusul kemudian dengan “lari”-nya Pangeran Bandar bin Sultan dari medan peperangan dan “bersembunyi” di Amerika.
Namun yang paling mengejutkan mereka adalah pengumuman pemerintah Saudi Arabia yang melarang warganya terlibat dalam peperangan di luar negeri dan mengancam mereka dengan hukuman berat jika kembali ke tanah air.
Ada hal menarik tentang pengumuman pemerintah Saudi tgl 3 Februari tersebut. Sebelumnya, di awal bulan, media-media Amerika termasuk “Wall Street Journal” dan “New York Times” mengabarkan tentang “rencana” kunjungan Presiden Barack Obama ke Saudi Arabia. Namun kedubes Amerika di Saudi segera membantah laporan-laporan tersebut.
“Kedubes Amerika tidak memiliki informasi tentang rencana kunjungan tersebut dan tidak bisa berkomentar atas hal itu,” kata jubir kedubes Amerika di Saudi Arabia Stewart White.
Namun setelah pengumuman pemerintah Saudi, Gedung Putih langsung mengumumkan rencana kunjungan Barack Obama ke Saudi bulan Maret mendatang.
Para analis tentu banyak yang menyimpulkan bahwa pengumuman pemerintah Saudi, serta pengesahan undang-undang anti-teorisme beberapa waktu lalu, merupakan bentuk kepatuhan Saudi terhadap “patron”-nya, Amerika Serikat yang menganggap keberadaan para teroris di Suriah tidak bisa lagi dibiarkan terlalu kuat. Namun ada dimensi lain dari “kebijakan” Saudi tersebut, yaitu kekhawatiran para teroris itu akan menyulitkan pemerintah di dalam negeri, terutama setelah mereka kembali.
Pemerintah Saudi sendiri telah menyiapkan 2 skenario “strategi melepaskan diri” dari konflik Suriah bagi para “prajurit”-nya yang tergabung dalam beberapa kelompok teroris. Strategi tersebut pernah dilakukan di Afghanistan paska hengkangnya tentara pendudukan Uni Sovyet. Pertama adalah “pemulangan” melalui jalur resmi di kantor Kedubes Saudi di Turki. Yang kedua adalah pembubaran kelompok-kelompok bersenjata di sepanjang perbatasan. Dan yang ketiga adalah meninggalkan mereka begitu saja di Suriah.
Namun bagaimana Saudi bisa melakukan itu semua jika tanpa ada tekanan dari “tuan”-nya?
Menurut berbagai sumber inteligen, para pejabat Amerika telah “memojokkan” Saudi dengan bukti-bukti keterlibatan Saudi dalam serangan senjata kimia di Suriah bulan Agustus 2013 lalu. Bukti-bukti lainnya termasuk kaitan Saudi dengan aksi-aksi terorisme di berbagai negara di Timur Tengah hingga Rusia. Bukti-bukti itu sudah beredar di kalangan diplomat ingternasional dan cukup kuat untuk menjadikan Saudi negara pariah, dikucilkan PBB dengan cap negara teroris.
Amerika, setelah melihat konflik Suriah tidak berjalan sebagaimana diharapkan, serta perselisihan Palestina-Israel yang tidak kunjung selesai, telah memilih jalan pintas untuk menyelesaikan kedua masalah itu sekaligus, meskipun dengan itu harus mengorbankan Saudi Arabia dan munculnya Iran ke “panggung utama”.
Dengan tumbangnya kekuasaan Mohammad Moersi di Mesir dan Qatar dan Saudi yang kini termarginalkan karena kaitan terorisme mereka, koalisi Iran-Turki kini menjadi kekuatan utama di Timur Tengah. Sangat jelas bahwa kedua negara telah membangun kerjasama tingkat tinggi untuk memerangi terorisme, yang mengemuka dalam kunjungan PM Turki Recep Tayyep Erdogan ke Iran baru-baru ini.
Hasilnya adalah bahwa Saudi takut dengan kepulangan para pejuangnya di Suriah, sehingga harus menyiapkan daftar hukuman yang keras untuk menghindari dampak kekerasan pada “hari perhitungan”. Selain itu, ada yang bahkan lebih berbahaya, yaitu sanksi internasional yang menunggu kerajaan jika tidak menarik diri dari perang di Suriah dan pendanaan terorisme di tingkat internasional, hal mana menyebabkan badan-badan intelijen Eropa harus meningkatkan kehadiran mereka di wilayah tersebut untuk memantau kembalinya warga Saudi kembali ke kerajaan.
Selama kunjungannya ke Riyadh baru-baru ini, Menlu AS John Kerry menggambarkan posisi Saudi mengenai isu permukiman yahudi yang mengganjal perundingan perdamaian Israel-Palestina, dengan kata-kata menarik. Dia menyebutkan “antusiasme yang kuat” pada hal ini, pada saat tidak ada antusiasme seperti itu sebelumnya.
Di sinilah informasi terjalin: isu terorisme yang disajikan Amerika Serikat kepada rekan-rekan Arab mereka dan isu pemukiman Palestina-Israel. Sumber yang dekat dengan Otoritas Palestina di Ramallah mengatakan bahwa Kerry telah meminta Kepala Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, untuk mengakui Israel sebagai negara Yahudi dengan imbalan negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya. Ini akan diikuti dengan ditinggalkannya secara bertahap prinsip “hak untuk kembali” bagi pengungsi Palestina sekaligus menghidupkan kembali proyek implantasi dalam skala besar, di mana negara-negara Arab plus beberapa negara lain seperti Australia dan Kanada, akan menampung para pengungsi Palestina.
Sumber-sumber Palestina menambahkan bahwa Presiden Abbas enggan mengumumkan persetujuannya atas usul tersebut tanpa “payung” oleh negara Arab yang berpengaruh. Kerry meyakinkan Abbas bahwa ia akan secara pribadi melakukan tugas ini. Siapa lagi yang paling bisa diharapkan kecuali Saudi?
Secara umum, undang-undang anti-terorisme Saudi dan dekrit kerajaan yang melarang warga Saudi terlibat kegiatan terorisme adalah tanda dari tahap baru ini.(ca)
Keterangan: tulisan asli ada di situs LiputanIslam.com
mereka akan menyatakan mereka tidak terlibat ,,mereka cuba sembunyikan tangan mereka yang membaling batu namun kita semua telah lama mencium bau darah hanyir bertahun tahun
ReplyDeletemereka yang kembali tanpa kemenangan turut akan menghadapi hari hari yang sukar..kerajaan takkan menerima mereka dengan mudah...begitulah pembalasan munafikin kepada mujahilin..disuruh datang...kepulangan membawa malang
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete