Monday 11 August 2014

Saatnya Beruang Rusia Unjuk Taring

Mungkin saat ini Rusia telah menyadari kesalahannya dan mengikuti apa yang disarankan Paul Craig Roberts, mantan pejabat tinggi kabinet Presiden AS Ronald Reagan dan editor koran terkemuka Wall Street Journal.

Dalam sebuah artikel yang ditulisnya di situs Counterpunch bulan Maret lalu menyusul merebaknya konflik di Krimea, Ukraina, Roberts menyarankan Rusia untuk melakukan langkah tegas dengan menduduki Krimea dan wilayah-wilayah Ukraina timur yang mayoritas penduduknya adalah etnis Rusia.

Alasan Roberts adalah karena pada dasarnya Rusia tengah berperang melawan Amerika dan sekutu-sekutunya, meski Rusia menginginkan hidup damai. Amerika, kata Roberts akan tetap memerangi Rusia dengan berbagai cara dan bentuk, meski secara formal mereka tidak berperang.

Amerika akan terus memerangi Rusia, kata Roberts, selama Rusia masih tetap berdiri sebagai negara berdaulat yang menghalangi ambisi Amerika menguasai dunia sepenuhnya.

Menurut Robert, dengan menduduki Krimea dan Ukraina timur dan menempatkan pasukannya di kedua wilayah itu, maka Rusia memberi Amerika ruang yang lebih sempit untuk meneruskan provokasinya terhadap Rusia. Pada akhirnya Amerika hanya bisa mengajukan usul perundingan damai yang diakhiri dengan perjanjian damai secara permanen antara Rusia dan negara-negara barat.  Sebaliknya, jika Rusia tidak melakukan langkah itu, maka Rusia akan terus diprovokasi dan dipojokkan hingga akhirnya menyerahkan tidak saja harga dirinya sebagai bangsa besar dan kuat, juga kedaulatan wilayahnya.


Kita bisa menyaksikan dengan jelas pernyataan Roberts tersebut pada 2 wilayah konflik antara Rusia dengan barat, yaitu Krimea dan Ukraina Timur.

Dalam kasus Krimea, Rusia dengan tegas menduduki wilayah itu dengan dalih memenuhi aspirasi warga Krimea melalui referendum yang meminta bergabung dengan Rusia. Namun untuk wilayah Ukraina timur, Rusia tidak melakukan langkah yang sama, meski warga 2 provinsi Ukraina timur, Donetsk dan Luhansk telah menggelar referendum dan meminta bergabung dengan Rusia.

Rusia terlihat sangat menghindari konflik yang terus berlanjut dengan barat dengan tidak mengakui referendum warga Ukraina timur. Namun di sinilah masalahnya bermula. Setiap niat baik Rusia untuk menghindari konflik akan dianggap sebagai kelemahan Rusia, dan karenanya barat justru akan semakin intensif melakukan provokasi dan tekanan-tekanan politik terhadap Rusia.

Berbeda dengan Krimea dimana Rusia menempatkan pasukannya secara permanen, dan Ukraina dan negara-negara barat tidak lagi menyinggung-nyinggung statusnya sebagai wilayah Ukraina, di Ukraina timur Rusia benar-benar dilecehkan. Tanpa menghargai sedikitpun aspirasi warga Ukraina timur, Ukraina langsung menggelar operasi militer dan menyebut warga yang menginginkan pemisahan diri dari Ukraina sebagai para teroris.

Pada sisi lain Rusia dipaksa menyaksikan warga Rusia yang berada di Ukraina timur itu dibantai oleh pasukan Ukraina.  Dan itu  masih belum cukup, negara-negara barat justru bertubi-tubi menjatuhi Rusia sanksi yang sangat tidak pantas dilakukan terhadap sebuah negara berdaulat sebesar Rusia. Pada saat yang bersamaan Amerika dan NATO meningkatkan kekuatan militernya di sekitar Ukraina.

Pendek kata, Rusia dilecehkan seleceh-lecehnya. Persis seperti pendapat Paul Craig Roberts, semakin “baik” Rusia, semakin lemah ia dipandang oleh Amerika dan sekutu-sekutunya, dan semakin kurang ajarlah Amerika dan sekutu-sekutunya terhadap Rusia.

Bayangkan saja, negara sekecil Ukraina saja (di hadapan Rusia) berani membantai warga keturunan Rusia di depan mata Rusia — saat ini lebih dari 1.000 warga keturunan Rusia di Ukraina timur yang tewas oleh operasi militer Ukraina, kemudian melakukan serangan mortir ke wilayah Rusia hingga menewaskan warga Rusia di wilayahnya sendiri.

Kini Rusia telah mulai unjuk kekuatan. Pada saat mereka menempatkan puluhan ribu pasukannya di perbatasan Ukraina dan mengirimkan unit-unit militernya ke wilayah Ukraina serta pesawat-pesawat pembom strategisnya yang menebos wilayah pertahanan udara Amerika, Rusia mengumumkan langkah tegas dengan mengembargo barang-barang makanan impor dari negara-negara barat

Tentu saja AS dan sekutu-sekutunya bereaksi keras atas langkah-langkah Rusia tersebut. Para pejabat AS dan Inggris misalnya, mengingatkan Rusia untuk tidak mengirimkan pasukannya ke Ukraina dengan menggunakan bendera “bantuan kemanusiaan”.

“Setiap intervensi akan dianggap sebagai tindakan yang tidak bisa diterima dan dianggap sebagai invasi terhadap Ukraina,” kata Dubes AS di PBB Samantha Power, Jumat (8/8), menanggapi kabar tentang masuknya unit-unit militer Rusia ke Ukraina untuk membantu para separatis Ukraina timur.

Sementara Menlu Inggris Philip Hammond menanggapi hal yang sama, mengatakan: “Saya mendesak Rusia untuk menghindarkan diri dari tindakan provokatif.”

“Saya sangat khawatir dengan adanya laporan-laporan meningkatnya aliran senjata berat ke wilayah Ukraina dari Rusia dan dengan adanya laporan-laporan tentang pasukan Rusia yang menggelar latihan “intervensi kemanusiaan” di negara ketiga,” tambah Hammond.

Namun tentu saja pernyataan itu tidak ada artinya saat Rusia mengerahkan pasukannya ke wilayah Ukraina. Kecaman-kecaman keras itu akan berubah menjadi “bujuk rayu” dan “iming-iming” kepada Rusia untuk mengembalikan Ukraina timur kepada negara induknya.

Mungkin selanjutnya Robert akan mengusulkan agar Rusia menuntut pemilu ulang di Ukriana dengan mengajukan Victor Yanukovich sebagai kandidat jagoannya, atau bahkan invasi total Rusia atas seluruh wilayah Ukraina untuk mengembalikan wilayah Rusia seperti sebelum tumbangnya Uni Sovyet.***

2 comments: