Tuesday, 7 July 2015

Serangan-Serangan Ramadhan Amerika

Indonesian Free Press -- Selama bulan Ramadhan ini dunia menyaksikan beberapa serangan teroris yang keji terjadi di beberapa negara, dengan jumlah korban yang sangat besar. Di Perancis, Tunisia, Saudi, Kuwait, Afghanistan hingga di Xinjiang, Cina.

Hanya ada sedikit negara yang memiliki kemampuan untuk melakukan operasi skala luas seperti itu, yang pasti membutuhkan peralatan komunikasi dan militer canggih serta jaringan inteligen luas. Katakanlah Amerika, Rusia, Inggris atau Cina. Namun hanya ada negara yang memiliki motifnya, yaitu Amerika.

Jangan katakan ISIS, Al Qaida, atau kelompok-kelompok teroris 'fiktif' lainnya seperti 'Bader Meinhoff' Jerman, 'Brigade Merah' Italia ataupun kelompok teroris 'Carlos the Jackal', karena pada dasarnya mereka hanyalah kepanjangan tangan inteligen Amerika dan Israel.

Di Tunisia hampir 40 orang, kebanyakan turis Inggris, tewas oleh serangan teroris. Tunisia, negara awal terjadinya gerakan 'Arab Springs' yang dirancang Amerika untuk mengganti regim-regim totaliter Arab dengan regim baru yang pro-Amerika, menunjukkan kembalinya kekuatan regim lama Zine El Abidine Ben Ali. Maka, ISIS pun bertindak.

Tidak lama setelah serangan ini, Inggris pun menyerukan dilakukannya intervensi NATO ke Suriah, mengembalikan wacana lama yang gagal direalisasikan karena terbukti adanya sejumlah kebohongan. Serangan-serangan senjata kimia di Suriah yang menjadi dasar tuntutan intervensi asing di Suriah oleh Amerika dan sekutu-sekutunya dua tahun lalu, misalnya, ternyata dilakukan oleh teroris-teroris dukungan Amerika.

Tunisia adalah negara yang bersebelahan dengan Libya, negara yang dihancurkan oleh intervensi NATO tahun 2011. Sejak itu Libya berubah menjadi negara sarang teroris yang terus-menerus menimbulkan kekacauan tidak saja di Libya sendiri, namun hingga ke Suriah. Di Libya teroris-teroris yang dilatih CIA dan senjata-senjata NATO dan AS dikirim ke Suriah melalui Turki.

Tentu saja tidak sulit bagi para teroris dari Libya itu untuk beraksi di Tunisia.

Sementara di Kuwait, 27 orang tewas setelah seorang teroris asal Saudi meledakkan diri di dalam masjid Shiah. Aksi ini merupakan aksi susulan serupa yang terjadi di Saudi yang menewaskan lebih dari 20 orang beberapa hari sebelumnya.

Pada kedua serangan ini, tujuannya tentu saja bukanlah untuk menggulingkan regim yang menjadi sekutu setia Amerika, Saudi dan Kuwait, melainkan memicu sentimen anti-Shiah yang pada gilirannya untuk menghantam Iran.

Di Perancis, seorang yang mengaku anggota ISIS memenggal seorang pengusaha industri kimia. Pelaku sebelumnya telah dikenal aparat keamanan sebagai aktifitasnya yang terkait dengan terorisme, namun dibiarkan, atau bahkan difasilitasi untuk melakukan aksi kejinya sebagaimana aksi-aksi terorisme lainnya.

Terakhir di Provinsi Xinjiang, Cina. Radio Free Asia milik Deplu Amerika melaporkan baru-baru ini bahwa setidaknya 18 orang tewas akibat serangan teroris Uighur.

Telah menjadi pengetahuan luas bahwa sejumlah teroris asal Uighur, sebagaimana juga teroris dari Chenchnya wilayah Rusia, tergabung dalam pemberontakan di Suriah bersama kelompok-kelompok 'mujahilin' seperti Al Nusra dan ISIS. Setelah mendapatkan pelatihan dan indoktrinasi terorisme, mereka pun kembali ke negara asalnya untuk melancarkan aksi-aksi terorisme.

Majalah Interpreter dalam artikel berjudul “Tough choices for Beijing following execution of Chinese ISIS militants” menulis:

"Keterlibatan sejumlah warga Cina dalam ISIS terus menjadi perhatian. Baru saja 2 minggu yang lalu Mendagri Malaysia mengkonfirmasi bahwa 300 militan Cina telah menggunakan wilayah Malaysia sebagai transit sebelum bergabung ISIS. 3 minggu yang lalu otoritas Cina menangkap 10 warga Turki yang dituduh menyediakan paspor palsu kepada sejumlah teroris asal Xinjiang."

Dan sekali lagi jejak kaki Amerika di kawasan Xinjiang terlihat jelas. LSM bentukan Kemenlu Amerika, National Endowment for Democracy (NED) bahkan menyebut Xinjiang sebagai “Turkistan Timur”, nama fiksi bagi negara baru di masa mendatang, yang menjadi sekutu Amerika dan menjadi pangkalan AS untuk menyerang Cina, secara politik maupun militer.

Deplu AS secara terbuka mendukung kegiatan politik kelompok-kelompok politik anti-pemerintah di Uighur, dan selalu mendukung pernyataan-pernyataan politik mereka tanpa peduli dengan protes keras pemerintah Cina.

Tony Cartalucci, wartawan senior yang sering menulis di media-media besar di Asia serta di majalah online New Eastern Outlook, mengatakan aksi-aksi teroris tersebut tidak ditujukan untuk memenangkan perang, melainkan menciptakan kekacauan luas dengan tujuan akhir mendukung tujuan dominasi jangka panjang Amerika.

Serangan di Perancis dan Tunisia, menurut Tony, adalah untuk menciptakan ketakutan dan kebencian di Eropa (korban serangan di Tunisia adalah warga Eropa) sehingga mendukung setiap kebijakan pemerintah terkait ISIS dan terorisme. Namun serangan di Tunisia juga menjadi pukulan bagi regim 'nasionalis' yang tengah melakukan konsolidasi.

Sementara serangan di Saudi dan Kuwait ditujukan untuk menindas oposisi di kedua negara yang terutama digawangi oleh kelompok-kelompok Shiah.

Dari semua analisis singkat itu tanpak bahwa satu-satunya negara yang memiliki kemampuan dan motif untuk merancang dan menjalankan operasi-operasi terorisme itu adalah Amerika dan kaki tangannya.(ca)

No comments:

Post a Comment