Thursday, 10 September 2015

Krisis Pengungsi Eropa yang Penuh Rekayasa

Indonesian Free Press -- Selama bertahun-tahun dunia mengalami tragedi kemanusiaan berupa arus migrasi ilegal ribuan pengungsi dari negara-negara Timur Tengah yang dilanda konflik, menuju Eropa. Dalam arus migrasi ini ribuan orang tewas secara mengenaskan.

Dalam satu peristiwa di bulan April 2015 lalu, lebih dari 600 pengungsi tewas setelah perahunya tenggelam di dekat perairan Italia. Dalam banyak kasus-kasus lainnya, puluhan pengungsi tewas kehabisan nafas di dalam kapal yang pengap oleh kotoran mereka sendiri karena kebanyakan kapal-kapal itu tidak memiliki standar keselamatana yang baik, ditambah penumpangnya yang jauh dari daya muat idealnya.

Belum lama berselang atau di bulan Agustus lalu bahkan terjadi peristiwa yang tidak kalah mengenaskan meski korbannya jauh lebih sedikit, yaitu ketika sekitar 70 orang imigran tewas di dalam truk yang diparkir di pinggir jalan raya di Eropa.

Namun tidak ada kegemparan, dan tragedi itu terus berjalan seperti sesuatu yang biasa, hingga secara tiba-tiba saja dunia menjadi begitu perhatian terhadap masalah ini. Dimulai dengan munculnya mayat bocah kecil pengungsi Suriah yang terdampar di suatu pantai di Turki.

Setelah munculnya gambar tersebut di media massa dan media sosial, perhatian dunia seolah tidak ada yang lain selain isyu arus pengungsi yang memasuki Eropa, seolah masalah itu akan membawa kiamat bagi dunia. Tiba-tiba saja para pemimpin dan selebritis dunia begitu peduli dengan para pengungsi itu, dan media-media massa tidak berhenti untuk memberitakannya.

Demi 'menjaga' momen perhatian terhadap masalah ini, biasanya juga diciptakan isyu-isyu 'sepele' yang memperkuat isu besarnya. Misalnya kabar tentang para selebriti dan politisi terkenal yang tiba-tiba menjadi begitu perhatian kepada para pengungsi, meski ketika 600 orang pengungsi tewas mengenaskan mereka diam membisu. Di sisi lainnya diciptakan juga isyu yang bertolak-belakang, namun masih tetap mendukung isyu besar. Misalkan tentang seorang kameramen wanita Hongaria yang dipecat karena bertindak tidak simpatik kepada para pengungsi, atau Menteri Pertahanan Hongaria yang mundur karena menentang kebijakan pemerintahnya yang anti-imigrasi.

Bagi yang memahami konstelasi politik global dimana media massa dan media sosial menjadi alat kepentingan politik para pemilik modal, adanya mobilisasi pemberitaan tentang isyu itu pasti mengindikasikan bahwa isyu tersebut adalah sebuah 'rekayasa'. Hal ini sama seperti ketika media-media massa nasional secara tiba-tiba dan bersamaan mengangkat pemberitaan tentang sosok Jokowi saat masih menjadi Walikota Solo hingga kemudian menjadi Gubernur, yang ternyata ujung-ujungnya adalah menjadikannya sebagai Presiden boneka. Demikian pula dengan kasus pengungsi di Eropa ini.

Untuk memahami rekayasa itu, hal yang paling efektif adalah dengan menganalisa 'starting point' isyu itu. Dalam hal ini adalah gambar mayat bocah kecil di pantai Turki yang oleh media-media massa disebut-sebut sebagai bocah Kurdi Suriah bernama Aylan Kurdi.

Wartawan independen senior Thierry Mayssan dalam tulisannya di Voltaire.org tanggal 7 September mengeluarkan analisis menarik tentang foto ini. Menurutnya setidaknya ada 3 indikasi kuat bahwa foto tersebut adalah rekayasa. Yang pertama adalah mayat bocah kecil itu tergeletak tegak lurus dengan pantai, padahal semestinya mayat manusia ataupun benda apapun yang terdampar akan terletak sejajar dengan bibir pantai. Yang kedua adalah adanya fotografer militer yang sengaja mengabadikan gambar tersebut. Dan yang ketiga adalah tampak orang-orang yang tengah bersantai di pantai, tidak jauh dari mayat bocah tersebut, seolah tidak ada kejadian menarik apapun.

Yang perlu menjadi perhatian selanjutnya adalah tentang bagaimana para pengungsi secara 'tiba-tiba' membanjiri daratan Eropa Timur, setelah sebelumnya jalur 'reguler' mereka adalah melalui Afrika Utara menuju Italia, dan ribuan pengungsi yang melalui jalur ini sudah membanjiri Eropa Barat selama berbulan-bulan. Ribuan imigran sudah berkemah di Calais, Perancis sejak beberapa bulan lalu, dan puluhan di antaranya kemudian tewas mengenaskan di dalam terowongan kereta api yang menghubungkan daratan Eropa dengan Inggris. Namun tidak ada kegemparan media massa.

Kegemparan baru terjadi setelah seorang bocah pengungsi Suriah yang melalui jalur Turki dan Eropa Timur, tewas terdampar di Turki. Hal ini tentu terkait dengan fakta bahwa Turki termasuk anggota NATO dan Uni Eropa, dan pasti terlibat dalam 'konspirasi' isyu pengungsi Eropa ini.

Perhatian semestinya juga diberikan kepada entitas bernama Uni Eropa ini. Berpuluh tahun yang lalu para pengamat 'teori konspirasi' sudah mengingatkan bahaya fenomena 'negara super' atau 'pemerintahan global', dimana dunia diperintah oleh para pemodal yang mempergunakan tangan para politisi korup. Pemerintahan ini mencakup wilayah yang sangat luas, bahkan seluruh dunia. Di bawah pemerintahan ini, kedaulatan negara-negara dan seluruh rakyatnya sudah tidak ada lagi. Namun untuk sampai ke tahap itu dunia akan dibagi-bagi dalam beberapa blok 'pemerintahan besar'.

Uni Eropa merupakan model yang sangat tepat dari 'pemerintahan besar' ini. Meski awalnya hanya berupa sebuah 'forum' yang tidak mengikat, secara pelan namun pasti menjadi negara baru yang sangat kuat. Uni Eropa kini telah memiliki pemerintahan, parlemen, pengadilan, tentara (NATO) hingga konstitusi sendiri yang secara pelan dan pasti menggantikan fungsi lembaga-lembaga tersebut di masing-masing negara anggotanya.

Ketika pemerintahan sebuah negara anggota menentang konsesus bersama Uni Eropa yang dibuat oleh para politisi tanpa melibatkan rakyat, mereka biasanya akan diserang melalui media massa dan media sosial, dan sebuah gerakan oposisi akan dimunculkan untuk menggulingkan pemerintahan tersebut. Dalam jangka panjang, pasukan NATO akan digunakan untuk menumpas negara yang membangkang.

Dalam hal ini terlihat di Hongaria, negara yang pemerintahannya menempuh kebijakan anti-imigrasi. Tiba-tiba saja media-media massa menggambarkan pemerintah Hongaria sebagai pemerintahan yang 'tidak beradab' dalam memperlakukan para pengungsi. Kabar tentang kameramen wanita yang menjegal seorang pengungsipun menjadi viral. Kemudian, untuk memperburuk wajah pemerintahan dan sekaligus melemahkannya, menteri pertahanan 'boneka' pun membuat langkah mengejutkan dengan mengundurkan diri dari jabatannya.

Lalu apa tujuan dari semua itu? Tidak lain adalah memperkuat 'Negara Super' Uni Eropa dimana identitas nasional, agama dan ras telah hilang dan digantikan oleh jargon-jargon palsu 'demokrasi'.(ca)

1 comment: