Indonesian Free Press -- Perbankan modern adalah sebuah bisnis yang tidak adil di mana para bankir dan pemodal yang tidak membuat nilai tambah riel mendapatkan bagian paling banyak dalam suatu perekonomian, sementara para petani, buruh, tukang, dan para profesional yang menciptkan nilai tambah riel justru mendapatkan bagian yang jauh lebih kecil.
Nilai tambah riel misalnya adalah petani yang menghasilkan bahan-bahan pangan, tukang yang menciptakan produk-produk berguna dari bahan-bahan mentah, atau dokter yang menyembuhkan penyakit orang-orang sakit. Para bankir hanyalah membantu menyediakan uang yang dibutuhkan dalam pergerakan ekonomi, seperti oli dalam pergerakan mesin. Namun ternyata dari hanya menyediakan oli dan sementara yang lain bekerja menciptakan nilai tambah, para bankir kustru mendapatkan keuntungan yang paling besar.
Hal itu terlihat selain gaji para karyawan dan direksi bank-bank yang memiliki tingkat upah tertinggi, juga keuntungan yang didapatkan para bankir. Dan tidak ada satu perusahaan pun yang mampu mengumpulkan asset hingga di atas $1 triliun, kecuali bank-bank.
Itulah sebabnya IFP berpendapat semestinya perbankan hanya dijalankan oleh bank-bank pemerintah sehingga keuntungannya bisa sepenuhnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan para pemilik modal swasta yang hanya berjumlah beberapa orang saja. Hal ini telah dipraktikkan di Libya di bawah kepemimpinan Muammar Khadaffi. Mungkin karena itulah Libya dihancurkan.
Kesadaran untuk tidak memberi keleluasaan sepenuhnya kepada bankir-bankir swasta untuk mengeruk keuntungan di atas beban rakyat telah dilakukan di Islandia. Baru-baru ini pengadilan setempat memenjarakan 5 bankir senior yang dianggap bertanggungjawab atas kebangkrutan ekonomi negara itu tahun 2008. Secara keseluruhan sudah ada 26 bankir senior yang dipenjara karena kasus ini, kebanyakan adalah CEO atau Direktur Utama.
Seperti dilaporkan oleh media setempat, Iceland Magazine, di antara kelima bankir senior itu adalah 3 eksekutif bank Landsbankinn dan 2 eksekutif bank Kaupþing. Seorang tersangka lainnya, yaitu investor penting di negeri itu, diadili secara terpisah dalam kasus yang terkait.
Mereka dituduh melakukan sejumlah kejahatan perbankan sehingga membangkrutkan perekonomian Islandia, sehingga sampai saat ini Islandia harus membayar cicilan hutang dan bunganya kepada lembaga-lembaga donor asing seperti IMF.
Berbeda dengan negara-negara neoliberalis, termasuk INdonesia, yang membantu para bankir dari kebangkrutan dengan memberikan dana talangan (bailout), pemerintah Islandia membiarkan bank-bank itu bangkrut, kemudian para bangkirnya ditangkapi. Kemudian untuk mencegah praktik-praktik curang perbankan pemerintah dan parlemen membentuk badan pengawas perbankan yang dengan ketat melakukan tugasnya.
"Mengapa bank-bank itu harus dianggap sebagai lembaga yang suci dalam perekonomian modern? Mengapa bank-bank swasta itu tidak seperti perusahaan penerbangan dan telekomunikasi dengan dibiarkan bangkrut karena melakukan kesalahan menejemen sendiri? Teori yang mengatakan bahwa kita harus membantu para bankir adalah teori yang membiarkan para bankir menikmati keuntungan dan kemudian rakyat harus menanggung kerugian mereka dengan pajak dan 'austerity'. Rakyat di negara demokratis yang maju tidak akan menerima hal ini," kata Presiden Islandia Ólafur Ragnar Grímsson.(ca)
No comments:
Post a Comment