Friday 29 April 2016

Status Cerdas seorang Teman

Indonesian Free Press -- Seorang teman medsos saya, Canny Watae, menulis sebuah status yang asyik banget, dan saya ingin membagikannya di blog ini.

-----------
Seorang kawan FB bertanya pada saya:

“Pertanyaan saya. Sekiranya Jokowi ini adalah Prabowo Anda, dan melakukan apa yang persis dilakukan Jokowi, Anda bersikap seperti ini juga?....”
Saya jawab: “Tentu...”
Apabila itu terjadi, maka saya tidak akan membela-bela Prabowo. Saya akan sangat malu. Saya akan mengkritisi dia agar rasa malu saya bisa terangkat, sampai dia benar-benar tidak seperti Jokowi.

Begini:

Pada awalnya, saya tidak memberi perhatian sedikit pun pada Prabowo. Apalagi pada Jokowi. Saya pun, sempat nge-joke di FB soal kuda Prabowo. Waktu itu, usai dibahas Kompas (waktu itu saya masih baca Kompas, sekarang tidak lagi), saya lempar status soal coto termahal di dunia. Coto itu adalah coto kuda. Kudanya Prabowo. Coto kuda populer di kawasan selatan Sulawesi Selatan, khususnya daerah Jeneponto. Ada segelintir pengasuh warung coto di kota Makassar dengan kuda sebagai sajian, tetapi saya lebih doyan coto sapi. Boleh dikata, saya justru tidak suka coto kuda. Mencobanya pun belum pernah. Nah, tulis saya waktu itu: kira-kira berapa harga semangkoknya, apabila coto pake kudanya Prabowo. Kudanya aja, merujuk Kompas, berada pada level harga milyar.

Lalu, masih dalam waktu-waktu yang sama, ada kawan FB yang ngomentarin kuda Prabowo dalam arah yang negatif. Itu setelah ia nonton Metro TV yang menghadirkan anggota DPR Adian Napitupulu, yang (kurang lebih) bilang “Prabowo baiknya urus kuda saja”.

Wow... segera sensor saya terpicu. Sensing saya, ada kesamaan Agenda antara beberapa media besar terkait Prabowo dengan Setting men-degradasi nama Prabowo. Bayangkan: Pada saat yang nyaris sama, 2 media berbeda (beda grup, beda kepemilikan, beda watak jurnalisme) berbicara dengan Agenda yang sama. Isu yang terbilang sangat personal pula. Saya telusur berita, eh, ternyata isu “Kuda Prabowo” itu pernah juga diangkat Kompas pada masa Pilpres 2009. Mengapa Kompas mendaur-ulang isu itu? Seperti bukan Kompas aja, pikir saya waktu itu. Sampai pada tahap ini, minat saya untuk bicara soal Prabowo tetap minim.

Di sela-sela ngurusin pekerjaan, saya riset kecil-kecilan by internet. Riset asal-asalan, tanpa hipotesa awal, tanpa bermaksud menarik simpulan akhir. Riset hanya karena “ingin tahu”. Eh, saya sampai pada kondisi komparatif antara Prabowo-Jokowi. Saya melihat arah kebijakan media adalah men-downgrade personalitas Prabowo, sambil di sisi lain meng-upgrade personalitas Jokowi. Sampai di tahap ini, saya masih “nggak campur”. Kalau keduanya memang memiliki kapabilitas yang pas (fit) dan sosok keduanya layak (proper) untuk berkontes menuju tampuk kepemimpinan Negara, then why not? Toh nanti saya bisa tanya pada keluarga: pilih siapa? Sini saya tambahin...

Saya makin tertarik memperdalam riset kecil-kecilan itu. Karena sekonyong-konyong, saya teringat sebuah berita mengenai seorang Walikota di Jawa Tengah yang bawa uang tunai dalam jumlah milyaran, untuk melunasi tagihan listrik lampu penerangan jalan (!). Sebuah tindakan yang, ketika itu, saya katakan sebagai tindakan “solutif”. That what government is for. Tetapi, seorang kawan yang berlatar akuntan (dan auditor pula) bilang: Salah, Lu! Macam mana ada Kepala Daerah boleh bawa-bawa duit tunai berkarung-karung, untuk bayar listrik pula! Dari mana duit tunai itu? Pos anggaran apa yang dibobol? Bagaimana proses pencairannnya? Siapa yang memberi otorisasi pencairan dan atas dasar aturan apa? Kalau ada sebuah kota nunggak listrik sampe PLN main putus sambungan, itu jalan nggak organisasi pemerintahan kota itu? Walikotanya menjalankan fungsi government dengan baik, nggak? Itu sih “failure government” (!). Haaaaaa.... saya keok. Haaaaa... Walikota itu adalah Joko Widodo. Saya perdalam riset, untuk menemukan jawab apakah kapabilitas Jokowi itu “fit” dan apakah ia memang “proper” memimpin pada level Negara. Saya tela’ah juga sosok Prabowo. Apakah orang ini benar hanya sekedar salah satu “Pangeran Cendana” yang bermodal genetika belaka untuk dikatakan “fit and proper” menjadi pemimpin Negara, atau orang ini ternyata punya hal lain sebagai modal kapabilitasnya?

Saya sampai pada hal yang mengejutkan. Jokowi ternyata adalah produk media (!). Jokowi adalah “iklan”. Iklan yang dipoles demikian profesional oleh media, hingga Jokowi tampak bagai “obat paling mujarab” untuk menyembuhkan berbagai penyakit bangsa ini: mulai dari penyakit korupsi, kolusi, nepotisme, boros, lemah, sampai penyakit malas kerja. Saya menangkap kesan itu. Kuat sekali. Tampak pula, secara kasat mata, perilaku media yang mengingkari tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan UU Pers. Yang bukan penyakit pun ditulis jadi penyakit, semata-mata agar Jokowi “fit” ke situ. Bagi segelintir media itu, ada “exit door” kalau nanti produk obat mereka gagal: Jika sakit berlanjut, hubungi Dokter. Mudah bagi mereka cuci tangan.

Di lain sisi, saya mendapat banyak hal baru mengenai Prabowo. Dia ternyata punya sesuatu yang Jokowi tak punya: VISI. Tidak usah-lah saya panjang lebar menjelaskan. Cukup dengan satu contoh: ketika Prabowo bicara dalam payung thematik besar “kedaulatan Pangan”, Jokowi hanya bisa bicara “Semangka, melon, dan pepaya”. Terhitung sejak 9 Juni 2014, persis di awal masa kampanye Pilpres, saya menyatakan diri mendukung pencalonan Prabowo. He gives us an offer we can’t refuse: Dignity of the Country. Dan sampai sekarang, saya tidak melihat VISI Prabowo itu tidak tepat. Malah makin menunjukkan ketepatannya.

Cover up (penutup-nutupan) ketidak-fit-an dan ketidak-proper-an Jokowi oleh media-media produsennya, itulah yang membuat ia terpilih menjadi presiden (huruf kecil). Dengan kata lain: Rakyat Indonesia dibodoh-bodohi.

Dengan kepemimpinan yang tidak fit, tidak proper, ini, Jokowi sendiri sangat rentan untuk tidak terpeleset dan jatuh. Untuk itu, mastermind dibalik layar, dengan sokongan penuh media-media produsen Jokowi tadi mengamankan “jalur” konstitusional. Yang berpotensi memuluskan jatuhnya Jokowi di parlemen segera di-delete. Ketua DPR Setya Novanto sudah. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah sudah. Partai Persatuan Pembangunan, baru saja diamankan. Golkar, sedikit lagi diamankan. PAN, sudah tertambat. Di parlemen, banyak anggota yang ngomong “nyeleneh-nyeleneh”. Tetapi, di tangan media, yang mana dicitrakan sebagai “buruk” dan yang mana “tidak buruk” kalau sedang nyeleneh, dengan mudah dapat di-set. Fahri Hamzah adalah contoh korban.

Nah... seiring dengan berjalannya waktu, Jokowi jadi presiden, kira-kira, apa yang hendak kawan saya di atas banggakan? Adakah? Bahkan dia sendiri, dengan konstruksi pertanyaan seperti itu, secara tidak sadar sudah menyatakan Jokowi gagal. Apa sih yang sudah dihasilkan Jokowi? Dia hanya meresmikan berbagai proyek era pendahulunya. Bagaimana kartu-kartu ajaib? Apakah mekanisme pembiayaannya sudah jelas? Beberapa waktu lalu, seorang warga di Sulawesi Selatan hampir bunuh diri. Ia naik ke menara masjid yang ada di dekat Rumah Sakit, hanya karena layanan untuk istrinya yang hendak melahirkan tidak berjalan sebagaimana gambaran yang ia dapatkan dari janji kartu ajaib. Ia ditagih beberapa juta, jumlah yang tak ia sanggup penuhi. Lihat cara Jokowi memimpin sidang kabinet.... mau nangis rasanya. Lihat “instruksi”nya agar kabinet tidak gaduh, tapi yang terjadi malah kegaduhan dengan skala yang lebih gaduh? Andai itu Prabowo, saya malu minta ammmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmpun.

Terakhir di Inggris, kemarin... di depan parlemen Inggris, Jokowi bicara klub sepakbola Manchester United dan grup musik The Beatles... Jokowi menggambarkan bahwa rakyat Indonesia mengingat Inggris dari eMyU dan Beatles... ya ampuuun... Dia mungkin lupa, anggota parlemen Inggris itu pendukung klub daerahnya sendiri-sendiri... bahkan lawan dan eMyU.... Dia mungkin lupa, di parlemen Inggris generasi The Beatles hanya sisa-sisa, selebihnya generasi Spice Girls dan Take That. Kalau dia memang “fit & proper”, di depan parlemen dari sebuah imperium yang berusia lebih dari seribu tahun itu, dia semestinya bilang begini:

“Parlemen yang terhormat, saya dari Indonesia, Negara yang kini memiliki Pulau Run yang berada di kawasan Kepulauan Banda... Pulau Run, pulau yang dulu moyang anda tukar dengan sebidang pulau di delta Sungai Hudson dengan Belanda. Pertukaran itu memungkinkan Inggris menjadi lebih berpengaruh terhadap Belanda di sana, yang kemudian berhasil mendesak orang-orang Belanda untuk menerima perubahan nama kota New Amsterdam menjadi New York”.

No comments:

Post a Comment