Indonesian Free Press -- Presiden Turki Recep Tayyep Erdogan menyatakan kesiapan Turki untuk membebaskan kota Raqqa di Suriah dari pendudukan kelompok teroris ISIS. Namun sejumlah pengamat meragukan hal itu.
Dalam pernyataan akhir pekan lalu sebagaimana dimuat media Turki Hurriyet Daily News, Erdogan mengatakan, "Raqqa adalah pusat yang penting bagi Daesh (ISIS). (Presiden Amerika Barrack) Obama secara khusus menginginkan tindakan bersama dengan kami terkait Raqqa. Kami katakan kepadanya bahwa hal ini bukan masalah bagi kami," kata Erdogan.
Raqqa yang terletak di timur-laut, dan tidak terlalu jauh dari perbatasan Turki, adalah 'ibukota' bagi ISIS di Suriah.
Menanggapi pernyataan itu, Suraj Sharma dari Middle East Eye, pernyataan itu sebagai kejutan. Sebelumnya Amerika hanya mendukung Turki untuk membebaskan Jarablus dengan perlindungan udaranya, namun menolak Turki untuk bergerak lebih jauh ke selatan Suriah.
Sementara itu Vzglyad Yaakov Kedmi, mantan pimpinan 'Nativ', yaitu lembaga kajian bentukan Israel, mengatakan kepada sebuah media online Rusia bahwa Turki memiliki kemampuan cukup untuk mengusir ISIS dari Raqqa.
"Saya tidak yakin apakah Turki memerlukan dukungan udara dari Amerika, namun saya tidak memungkirinya. Jika dibutuhkan, bantuan itu bisa diberikan kepada Turki," kata Kedmi seperti dilansir Sputnik News, 7 September.
Menurutnya Turki memiliki angkatan perang terbesar di kawasan Timur Tengah dan dua brigade lapis bajanya sudah cukup untuk mengusir ISIS dari Raqqa. Menurutnya, jatuhnya Raqqa dari tangan ISIS akan menjadi pemercepat runtuhnya kekuatan ISIS dan keberadaan kelompok-kelompok teroris di kawasan.
Kedmi menyebut bahwa sampai saat ini Amerika masih menganggap kelompok Kurdi (Kurdish People's Protection Units/YPG) sebagai kekuatan paling potensial untuk menghadapi ISIS. Namun kini dengan adanya partisipasi Turki, harapan Amerika itu tampak tidak realistis mengingat bahwa Kurdi tidak memiliki pengaruh apapun di Raqqa.
Namun di sisi lain Alexander Ignatenko, Direktur Russian Institute of Religion and Politics, meragukan kemampuan Turki merebut Raqqa, selain keraguan bahwa Amerika akan memberikan dukungan 100% kepada Turki bagi pembebasan Raqqa.
"Turki akan sulit untuk membebaskan kota Raqqa dengan kekuatan sendiri," kata Ignatenko.
Ia menegaskan bahwa Raqqa adalah ibukota dan simbol eksistensi kelompok ISIS yang akan dipertahankan mati-matian oleh kelompok itu. Ia juga mengingatkan tentang prediksi para pejabat militer Amerika yang menyebutkan bahwa diperlukan waktu bertahun-tahun untuk membebaskan kota Raqqa dan Mosul.
Alih-alih, Ignatenko percaya bahwa Turki hanya mengincar kelompok Kurdi dan bukan ISIS. Erdogan sangat tidak menginginkan eksistensi negara Kurdi di negaranya dan juga di Suriah utara yang berbatasan dengan Turki.
Berbeda dengan Ignatenko, Yevgeny Satanovsky, Direktur Middle East Institute di Moskow, tidak membantah kemungkinan diumumkannya operasi militer bersama Turki-Amerika untuk merebut Raqqa, mengingat bahwa kelompok Kurdi dan pejuang Arab binaan Amerika tidak menunjukkan kemampuan untuk bisa merebut Raqqa.
Ia menyebutkan keberadaan 500 pasukan khusus Amerika di sekitar Raqqa untuk mempersiapkan pembebasan Raqqa. Kemenhan Amerika telah meminta persetujuan bagi penambahan hingga 3.000 pasukan khusus di Suriah, namun meragukan kemampuan sekutu-sekutunya untuk menghancurkan ISIS di Raqqa.
"Amerika bisa mengerahkan hingga 3.500 pasukan di dekat Raqqa setiap saat. Ini jumlah yang cukup banyak. Namun mereka kesulitan untuk mendapatkan kekuatan darat yang akan menjadi 'kepalan tangan' mereka untuk menghantam ISIS," kata Satanovsky.
Menurut Satanovsky, pada akhirnya Amerika akan membiarkan Turki menghantam Kurdi di Suriah, meski tidak akan melepaskan Kurdi sepenuhnya karena akan digunakan Amerika sebagai alat tawar di hadapan Erdogan.
Huseyin Bagci, profesor hubungan internasional Middle East Technical University di Ankara, sependapat dengan Satanovsky. Ia menyebut bahwa Turki tengah mengirimkan sinyal kepada Amerika bahwa Amerika tidak memerlukan lagi orang-orang Kurdi sebagai sekutu.
"Turki tidak akan pernah menerima entitas PKK-PYD (Kurdi) di kawasan. Kini Turki tengah mengirim pesan kepada Amerika bahwa Amerika tidak memerlukan lagi mereka (Kurdi) saat Turki, sekutu NATO, telah siap," kata Bagci.
Sementara itu Boris Dolgov dari Institute of Oriental Studies, the Russian Academy of Science, menyebutkan bahwa operasi militer gabungan Amerika-Turki adalah bagian dari rencana Amerika dan Turki untuk membiarkan kawasan Suriah utara jatuh ke tangan kelompok sekutu bersama mereka, yaitu Free Syrian Army. Namun hal itu tidak akan mudah, karena keberadaan Iran-Rusia yang menginginkan keutuhan wilayah Suriah di bawah kepemimpinan Bashar al Assad, atau pemerintahan yang benar-benar dipilih oleh rakyat Suriah.(ca)
Turki sepertinya tengah dijepit oleh Kurdi, ISIS, dan Amerika serikat sendiri.. Alangkah tepatnya jika Erdogan lebih mendukung pemulihan kembali Suriah sebelum Arab Springs.
ReplyDelete