Indonesian Free Press -- Sebelum pelaksanaan Pilkada DKI tanggal 19 April lalu, hal yang saya khawatirkan adalah terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh kubu pendukung Ahok, karena hal ini sudah pasti akan memicu terjadinya kerusuhan besar-besaran.
Saya menyangka akan terjadi pertunjukan akrobat dalam penghitungan 'quick count' lembaga-lembaga survei seperti terjadi dalam penghitungan Pilpres 2014 dan pilkada DKI tahap pertama. Kemudian, saya perkirakan akan terjadi pawai klaim kemenangan oleh kubu Ahok, demi memberi jalan lebih mudah bagi KPU untuk mengesahkan kemenangan yang ditetapkan lembaga-lembaga survei.
Namun semuanya tidak terjadi. Lembaga-lembaga survei kompak menunjukkan mulusnya kemenangan pasangan Anis-Sandi, meski di satu atau dua lembaga survei tampak terjadi akrobat kecil, seperti SMRC dan Kompas. SMRC sempat membalikkan posisi dari kemenangan Anis-Sandi menjadi kemenangan Ahok-Djarot, meski kemudian kembali ke posisi normal. Sedangkan di Kompas, tiba-tiba keunggulan Anis-Sandi berubah menjadi 'draw' 50% : 50%. Mungkin sempat terjadi mis komunikasi antara kedua lembaga itu dengan 'bandar' pemesannya.
Saya juga tidak melihat adanya 'perlawanan' dari Ahok dan para pendukungnya, kecuali tim pemenangan Ahok yang mengklaim terjadi sejumlah kecurangan. Ahok sendiri, dengan didampingi Soerya Paloh, bahkan secara 'prematur' langsung mengakui kekalahannya. Mereka berdua seolah tidak peduli dengan Megawati yang nangis dan hampir pingsan dan menolak hasil penghitungan 'quick count'. Ahok juga tidak peduli dengan kebanyakan akar bawah pendukungnya yang stress dan hampir gila, yang terekspresikan dengan ekspresi-ekspresi mereka di dunia maya:
Mengingat radikalisme Ahok dan para pendukungnya selama ini, kemenangan Anis-Sandi dalam pilkada kemarin terkesan sangat mulus dan tanpa perlawanan. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, ada apa dengan Ahok dan bandar-bandarnya?
Spekulasi merebak bahwa kekalahan Ahok yang terkesan mudah itu berkaitan dengan kehadiran kapal induk USS Carl Vinson di Selat Sunda menjelang pilkada yang mengisyaratkan campur tangan Amerika yang tengah bersaing berebut pengaruh di Indonesia melawan Cina. Kehadiran kapal induk itu dianggap telah menghancurkan psikologi para bandar Ahok yang diketahui adalah para proksi Cina. Mereka tidak siap untuk bertempur langsung melawan proksi-proksi Amerika, pada saat bersamaan harus bertempur melawan ummat Islam dan nasionalis yang militan menentang dominasi Cina. Makanya, sebelum hancur lebur merekapun menarik diri dari pertempuran.
Namun saya (blogger) berpendapat lain. Amerika tentu tidak akan berkeberatan bila Cina harus 'mandi darah' bertempur melawan kaum Muslim dan nasionalis Indonesia. Saya bahkan berpendapat kehadiran Carl Vinson justru menjadi isyarat dukungan bagi Ahok dan para bandarnya.
Lalu, faktor apa lagi yang kiranya membuat Ahok kalah mudah?
Adalah menarik menyimak pernyataan Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo di hadapan prajurit-prajurit TNI yang hendak diberangkatkan mengawal pilkada. Di hadapan ribuan prajurit itu Jendral Gatot mengatakan 'siap dipenjara'. Apa maksudnya?
Seorang prajurit hanya bisa dipenjara jika melanggar perintah/aturan. Dalam konteks Jendral Gatot menjelang pilkada, kemungkinan ia dipenjara adalah karena ia melanggar perintah atasan beliau, yaitu Presiden Jokowi yang diketahui publik adalah pendukung kuat Ahok. Dengan kata lain, Jendral Gatot mengisyaratkan akan mengambil langkah yang bertentangan dengan keinginan Jokowi untuk mengamankan kemenangan Ahok. Dan hal ini langsung mengubah posisi kekuatan Ahok. Dengan campur tanganny TNI ke pihak yang anti-Ahok maka tidak ada harapan bagi Ahok dan para pendukungnya untuk menang. Maka, daripada hancur, mereka pun langsung meninggalkan medan pertempuran.
Spekulasi tentang keterlibatan TNI ini semakin jelas setelah media-media asing menyebutkan bahwa TNI akan melakukan makar.
Namun kekalahan Ahok hanya menunda pertempuran yang sebenarnya. Indonesia baru akan menjadi negara kuat, aman sejahtera bila para kutil dan kudis disingkirkan dari negeri ini. Mereka adalah orang-orang tamak dan rakus yang rela menjadi proksi aseng dan asing, sadar maupun tidak sadar seperti kebanyakan Ahokers. (ca)
Bagaimana pernyataan lbp kpd cak nun saat bertandang ke jogja bulan lalu kalau istana sudah pusing dgn ahok dan menjanjikan presiden akan menekan ahok mundur kalau beneran terpilih?
ReplyDeleteJangan gampang percaya omongan pembohong seperti Luhut. Kalau jokowi tidak melindungi Ahok, ia sudah masuk bui sejak lama.
ReplyDeletekabarnya jkw sendiri banyak tekanan dan tdk berdaulat krn di istana ada 5 kubu yg maunya beda2
ReplyDelete