Oleh: Muchtar Effendi Harahap*
Indonesian Free Press -- Salah satu faktor mengapa Jokowi Pilpres 2019 sangat mungkin gagal,
yakni di mata “klas menengah atas perkotaan”, Jokowi belum mampu dan
berhasil menunjukkan prestasi sesuai janji kampanye Pilpres 2014 dan
RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah National) tahun 2014-2019.
Kondisi kinerja Jokowi di mata klas menengah atas perkotaan ini dapat
mempengaruhi sikap penolakan terhadap Jokowi Pilpres 2019 mendatang.
Hipotesis ini tentu masih perlu dibuktikan melalui penelitian lebih
lanjut berdasarkan metodologi ilmiah dan obyektif.
Sementara ini, data elektabilitas Jokowi berdasarkan survei, lepas
dibayar atau tidak oleh pendukung Jokowi, menunjukkan kemerosotan. Mei
lalu, Menko Maritim di depan pertemuan nasional Golkar, klaim
elektabilitas Jokowi di atas 50 persen. Lalu dia meyakinkan, Golkar
sudah tepat dukung Jokowi Pilpres 2019 mendatang. Lalu, hasil survei
Kompas menyebutkan, elektabilitas Jokowi 41,6 persen. Merosot lebih 20
persen. Terakhir, Hasil survei lembaga Saiful Mujani Research and
Consulting (SMRC) pasca Pilgub DKI 19 April menggambarkan elektabilitas
Jokowi hanya 34,1 persen. Merosot sekitar 7 persen dibandingkan hasil
survei Kompas.
Topik prilaku politik klas menengah telah menjadi obyek beragam
diskusi dalam arena studi politik di Dunia Ketiga, termasuk di Tanah
Air. Kehadiran mereka mampu menggerakkan aksi demo massal seperti Bela
Islam di seluruh Indonesia terutama Aksi 212. Informasi dan issue
politik kekuasaan lewat medsos mengalir dari Ibukota. Kelompok
masyarakat dengan penghasilan sekitar Rp 4-17 juta per bulan itu (sumber
hasil suatu riset) tumbuh pesat selama lima tahun terakhir. Untuk
memahami pengaruh klas menengah terhadap Pilpres 2019 lebih akurat dan
obyektif, survei lapangan perlu dilakukan. Mereka adalah kelompok aktor
politik sangat menarik.
Kriteria penilaian ttg kinerja Jokowi dapat ditentukan yakni (1)
Janji kampanye saat Pilpres 2014 lalu; (2) RPJMN 2014-2019, disusun dan
dibuat sendiri oleh Jokowi dan Timnya, bukan pihak lain seperti MPR atau
DPR.
Khusus janji kampanye, terdapat berbagai sumber mengungkapkan. Ada
mengungkapkan 66 janji, ada 54 janji, ada 19 janji, ada 11, 10 dan 9
janji. Ada penilaian, sepanjang sejarah Pilpres di Indonesia Capres
Jokowi paling banyak memberikan janji kampanye. Terdapat 10 janji
kampanye Jokowi paling sering dipersoalkan publik, yakni:
1.Merebut kembali (membeli) Indosat dari tangan asing.
2.Tidak bagi2 kekuasaan.
3.Tidak menaikkan harga BBM.
4.Ciptakan 10 juta lapangan kerja baru.
5.Tidak akan utang lagi.
6.Akan mempersulit investasi asing.
7.Tidak akan hapus subsidi BBM.
8. Bangkitkan industri mobil nasional.
9.Jaksa Agung bukan dari Parpol.
10. Tidak impor beras.
Janji Jokowi di atas, sebagian kecil dari puluhan janji. Hingga kini
10 janji ini tidak laksanakan konsisten dan konsekuen alias inkar.
Dalam kajian prilaku pemilih, ada konsep swing voters atau massa mengambang. Jumlahnya bervariasi.
Swing voters ini berada di kalangan masyarakat kelas menengah atas perkotaan. Mereka memiliki banyak referensi berita prestasi Presiden Jokowi. Diperkirakan
ada sekitar 40 persen tergolong massa mengambang atau swing voters ini.
Kalangan klas menengah atas ini cenderung menilai, Jokowi belum mampu
menunjukkan prestasi atau keberhasilan sesuai janji kampanye. Satu
janji paling menjadi perhatian klas menengah atas, yakni “tidak akan
utang lagi”. Saat kampanye Tim Ekonomi Jokowi-Jk berjanji takkan pernah
berutang lagi. “Kita mau mandiri, sehingga segala bentuk proses
pembangunan pendidikan, infrastruktur harus menggunakan dana sendiri.
Jokowi-JK menolak bentuk utang baru supaya bisa mengurangi beban utang
setiap tahun”, ujar Tim Jokiwi-JK, Tjahyo Kumolo di Gedung DPR/MPR
(3/6/2014).
Faktanya, utang Pemerintah (Pusat) malah semakin menumpuk. Bahkan, utang ke Cina (RRC) bertambah berlipat ganda.
Sebuah sumber portal medsos melaporkan data Ditjen Pengelolaan
Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan RI. Per akhir April 2017,
total utang Pemerintah tercatat Rp 3.667,41 triliun. Dalam sebulan,
utang ini naik Rp 17 triliun, dibandingkan Maret 2017 (Rp 3.649,75
triliun). Dalam denominasi dolar AS, utang Pemerintah, April 2017, US$
275,19 miliar, naik dari posisi akhir Maret 2017 sebesar US$ 273,98
miliar. Sebagian besar utang Pemerintah dalam bentuk surat utang atau
Surat Berharga Negara (SBN). Sampai April 2017, nilai penerbitan SBN Rp
2.932,69 triliun, naik dari akhir Maret 2017 ( Rp 2.912,84 triliun).
Sementara itu, pinjaman (baik bilateral maupun multilateral) tercatat Rp
734,71 triliun, turun dari Maret 2017 sebesar Rp 738,2 triliun.
Bahkan, Jokowi tak konsisten dan konsekuen atas ucapannya. Pidato
Jokowi di KAA lantang menegaskan, tidak boleh bergantung kepada lembaga
donor seperti Bank Dunia, IMF, dan ADB. Fakta, pemerintahan Jokowi akan
berutang Rp 32,5 triliun kepada Bank Dunia.
Pencairan utang ini bagian dari kesepakatan Bank Dunia dengan pemerintah
Indonesia, Mei lalu. Utang dari Bank Dunia ini akan dialokasikan untuk
pembangunan infrastruktur dan pembangunan SDM.
Dari kriteria janji kampanye, adalah layak klas menengah atas belum
melihat prestasi Jokowi urus pemerintahan dan rakyat RI. Belum ada data,
fakta dan angka signifikan dapat disajikan, Jokowi sudah merealisir
atau melaksanakan janji konsisten dan konsekuen.
Agar Jokowi tidak kehilangan dukungan dari klas menengah atas, harus
mampu dan berhasil memenuhi puluhan janji. Adalah mustahil Jokowi mampu
dan berhasil memenuhi 100 persen janji.
Hasil realisasi janji harus dipublikasikan sehingga persepsi publik
klas menengah atas perkotaan ini menjadi positif dan pada gilirannya
bersikap positif terhadap Jokowi Pilpres 2019 mendatang. Jika tidak bisa
dibuktikan realisasi janji. Bagaimanapun, kesalahan atau kelemahan
Jokowi inkar janji ini dapat digunakan atau dimanfaatkan sebagai “peluru
perang udara” kekuatan oposisi untuk menggerus elektabilitas Jokowi.
Harus ada klarifikasi dan pertanggungan jawab ke publik dari Jokowi,
mengapa janji kampanye tidak ditepati atau dipenuhi?
Dengan perkataan lain, sesuai tradisi demokrasi sejati, harus ada
akuntabilitas publik dari Jokowi terkait masalah janji2 kampanye
dimaksud.
Satu janji Jokowi membuat persepsi negatif dan cenderung tidak puas
klas menengah dan kaum terpelajar khususnya, yakni “tidak menaikkan
harga BBM”. Faktanya? Belum genap 100 hari Jokowi jadi Presiden, sudah
menaikan harga BBM. Akibatnya, sebuah lembaga survei menunjukkan,
kepuasan publik terhadap Jokowi merosot drastis hanya mencapai 44,94
persen. Sejak Oktober 2014, Jokowi minimal enam kali melakukan kenaikan
harga BBM. Klas menengah umumnya menggunakan kenderaan pribadi dan
sangat dirugikan dengan kenaikan harga BBM. Akibatnya, mereka kian tidak
puas terhadap Jokowi. Bukannya prestasi yang mereka lihat, malah
kenaikan harga BBM sebagai inkar janji.
Tim Studi NSEAS memprediksi, bukan saja janji kampanye tidak
konsisten dan konsekuen dilaksanakan, juga sejumlah besar program kerja
tertuang di dalam RPJMN 2014-2019. Salah satu contoh program Tol Laut.
Target diperkirakan 30 persen saja tidak tercapai, jika tak boleh
dinilai, gagal sama sekali. Selanjutnya, program penyediaan lapangan
pekerjaan, akan jauh dari target capaian. Akibatnya, isu strategis
pengangguran dan kemiskinan tidak dapat dijadikan modal kampanye Jokowi.
Malah, bisa dijadikan klas menengah atas khususnya di perkotaan sebagai
dasar argumentasi, Jokowi tak mampu dan gagal urus pemerintahan dan
rakyat RI.
Jokowi berjanji akan mencapai pertumbuhan minimal 8 persen. Namun,
fakta gagal, hanya mampu sekitar 5 persen. Hal ini semakin mendorong
klas menengah atas menilai, Ahok tak mampu dan gagal urus pertumbuhan
ekonomi. Akibatnya, bisa jadi, memperkuat penolakan Jokowi lanjut
sebagai Presiden melalui Pilpres 2019 mendatang.
Sebagai pemilih cenderung rasional dan punya referensi tentang
keberhasilan dan kegagalan Jokowi memenuhi janji kampanye dan juga
program kerja tertuang pd RPJMN, klas menengah atas perkotaan menjadi
faktor mempengaruhi merosotnya elektabilitas Jokowi. Pada gilirannya
membantu kegagalan memenangkan perebutan kekuasaan Pilpres 2019. (*)
Keterangan: dicopas dari situs Obsession News, Jumat, 9 Juni 2017
*Peneliti
Senior Network for South East Asian Studies (NSEAS), dan alumnus
Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM),
Yogyakarta, tahun 1986
, Peneliti
Senior Network for South East Asian Studies (NSEAS), dan alumnus
Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM),
Yogyakarta, tahun 1986
Jika pilpres mendatang tdk ada calon presiden baru yg dianggap layak maka golput akan mandi trend arus utama
ReplyDeleteinsya Allah banyak capres yg layak menggantikan joko wie......yg penting calon2 tidak keburu dikriminalisasi........cukup sudah untuk kriminalisasi!!!!!!!........
ReplyDeleteNgeri kali data2 yg di utarakan diatas, cuma 2 tahun lagi tak lama lah itu
ReplyDeletePilih lah amin rais, hidayat nur wahid, prabowo, ARB, dng Pengalamannya mereka dpt bikin Indonesia jd makmur.
ReplyDelete