Friday, 18 August 2017

Bisakah Karnaval Kebudayaan Menjadi Obat “Hipertensi Sosial”?

by Asyari Usman

Indonesian Free Press -- Pasti banyak yang terkagum-kagum menyaksikan parade kebudayaan dan busana yang digelar di halaman Istana Merdeka, di hari 17 Agustus, kemarin. Dalam rangkaian acara peringatan HUT ke-72 RI. Kostum-kostum tradisional dari berbagai suku itu, sangat memukau. Fantastis. Kostum-kostum itu diperagakan oleh pria-pria genteng dan wanita-wanita cantik. Sangat hebat.

Tak hanya itu. Parade diikuti pula dengan penampilan baru para peserta acara, mulai dari Presiden sampai para undangan biasa. Terlihat sebagian besar undangan memakai busana adat dari berbagai daerah di Indoesia. Para pembawa acara siaran langsung stasiun-stasiun TV nasional memberikan pujian yang tak putus-putus. Mereka takjub. Belum pernah ada selama ini.


Dari sisi teatrikal, pantas diberikan acungan jempol untuk panitia nasional. Sesuatu yang segar. Fresh idea, fresh atmosphere. Menyenangkan bagi orang-orang yang suka suasana keadatan. Tidak lagi hanya melihat orang yang berjas-berdasi seperti selama ini.

Busana-busana adat yang telah diperkaya oleh kreasi inovatif itu, pastilah mahal harganya. Mahal biaya pembuatan dan pemeragaannya.

Untuk apa semua ini ditampilkan? Agar rakyat Indonesia yang menonton siaran televisi kemarin menerima pesan tentang keberagaman. Sebab, para penguasa, politisi, dan pakar sosial berpendapat bahwa “hipertensi sosial” yang berlangsung akhir-akhir ini merupakan gumpalan dari ketidakpahaman tentang keberagaman, tentang kebinekaan.

Ini harus diobati, kata penguasa. Dan, acara 17 Agustus adalah salah satu momen yang terbaik, menurut mereka.

Tentu perkara biaya tidak masalah untuk acara yang bertujuan merajut dan merekat persaudaraan kebangsaan. Untuk memperkenalkan keberagaman bangsa Indonesia. Sehingga dengan karnaval pakaian adat ini, rakyat Indonesia akan semakin luas wawasannya. Kemudian mencintai keberagamannya.

Tetapi, mari kita lihat apakah karnaval atau parade semacam ini dapat berfungsi sebagai obat untuk “hipertensi sosial” atau bahkan “pendarahan sosial” (social bleeding) yang sedang melanda bangsa?

Kalau introduksi dan sosialisasi elemen-elemen adat itu dimaksudkan utuk merajut hubungan antarkomunal di Indonesia, maka karnaval kebudayaan tidak akan banyak berperan. Sebab, yang dirasakan absen di tengah masyarakat bukanlah suasana festival yang akan mengumpulkan banyak orang dari berbagai suku atau adat. Yang absen itu adalah keadilan. Dalam segala sisi.

Sebaliknya, terlalu akut ketidakadilan ekonomi. Ketidakadilan sosial. Ketidakadilan legal. Dan ketidakadilan perlakuan. Orang lain mungkin akan menyebutnya kesenjangan ekonomi, sosial, dan public service (pelayanan umum), terutama kesehatan dan pendidikan.

Inilah yang menumpuk di tengah masyarakat. Inilah yang memicu diskonten (rasa tak senang) yang mereka tunjukkan. Inilah yang memicu pergesekan.

Ada segmen masyarakat yang sangat tangguh dari segala sisi berkat kemampuan mereka untuk menyiapkan SDM di lingkungan kelompknya. Mereka mampu karena memiliki kekayaan yang melimpah; yang boleh jadi diperoleh melaui cara yang bersih maupun cara yang kotor. Sedangkan di ujung lain, ada segmen yang sangat lemah.

Kondisi seperti ini adalah bahan bakar ketegangan sosial. Sedikit saja gesekan akan muncul percikan.

Kemudian kita seolah melihat pergesekan itu tergiring ke wilayah SARA. Tak lama kemudian memang berada di wilayah SARA. Semuanya tersentak ketakutan, membayangkan konflik sosial yang dapat berkecamuk sewaktu-waktu. Semua orang memikirkan terapinya. Para dokter sosial menyimpulkan bahwa hipertensi ini terjadi karena masyarakat kurang rajin melakukan senam “interaksi kultural”.

Karena itu diajaklah masyarakat untuk melakukan karnaval kebudayaan seperti yang dipentaskan di Istana Merdeka itu. Padahal, secara sederhana saja kita bisa melihat bahwa yang menjadi sumber masalah adalah kontaminasi dalam proses pembangunan yang melahirkan “front yang kuat ekonomi” dan “front yang lemah ekonomi”. Kita sendiri yang membangun dua front ini.

Di satu sisi kita membangun “pencakar langit”, di sisi lain kita membangun “pencakar bumi”. Yang satu semakin tinggi, yang satu lagi semakin terpuruk.

Para penguasa terkagum-kagum dengan pencakar langit, karena memang merekalah yang tampak dalam pandangan. Sedangkan pencakar bumi terkubur semakin dalam.

Tetapi, para penguasa lupa bahwa “pencakar bumi” yang semakin tenggelam di bawah permukaan itu akan berproses menjadi “geothermal sosial-politik” yang kemudian akan membentuk kepundan vulkanik. Jadi, kita sedang menciptakan “gunung berapi” yang suatu hari akan meletus menjadi bencana besar.

Para penguasa bersikukuh bahwa interaksi kultural bisa menjembatani jurang sosial itu. Tak salah kalau mau dicoba. Silakan buat karnaval atau festival kebudayaan di mana-mana. Namun, harap diingat bahwa hari ini masyarakat bercurhat soal lapangan kerja, soal harga-harga yang semakin menekan daya beli. Mereka bercerita soal tarif listrik yang semakin mahal. Tentang keterjangkauan harga rumah. Bahkan soal seragam sekolah anak-anak mereka. Para pebisnis kecil berkeluh soal biaya produksi yang semakin tinggi.

Para sarjana mengalami jalan buntu begitu keluar dari kampus-kampus. Lapangan pekerjaan yang semakin sulit. Kualifikasi yang tidak memadai. Penyediaan pelatihan yang tidak masif dan tidak efektif.

Hari ini mereka membicarakan para koruptor yang bisa mencuri uang negara dengan hukuman yang ringan atau bahkan tak pernah dihukum sama sekali.

Jadi, saling kenal budaya dan adat-istiadat bukanlah masalah yang urgen di Indonesia ini. Masyarakat sudah sangat paham tentang keberagaman. Yang diperlukan adalah pengendalian agar “pencakar langit” tidak semakin tinggi, dan “pencakar bumi” tidak terbenam semakin dalam.

Anda harus membuat rekayasa sosial dengan formula-formula yang mampu memperkecil dominasi satu kelompok ke atas kelompok lain. Yakinlah, Indonesia bisa menyingkirkan kesenjangan sosial, ekonomi, legal, dan pelayanan umum meskipun tidak ada karnaval atau festival yang bertujuan untuk menumbuhkan cultural awareness (kesadaran budaya).
(Penulis adalah wartawan senior)



Dicopas dari status Facebook Mardanus Dody

1 comment:

  1. jokowi bukan orang yang bisa mengurangi kesenjangan, sebaliknya, justeru dia semakin memperparah kesenjangan dengan keberpihakannya kepada tai pan dan ketidakpeduliannya terhadap rakyat miskin

    ReplyDelete