Saturday, 26 August 2017

Pelajaran dari Brazil dan Venezuela untuk Indonesia

Indonesian Free Press -- Pada tanggal 31 August 2016 Senat Brazil memecat Presiden Dilma Rousseff dari jabatannya. Ini hanya berselang kurang dari 9 bulan setelah pada tanggal 2 Desember 2015, Chamber of Deputies (Parlemen) Brazil menerima petisi pemecatan Rousseff menyusul adanya aksi-aksi demonstrasi menentang Rousseff karena tuduhan korupsi yang tidak pernah terbukti.

Padahal Rousseff adalah presiden yang populer, jauh lebih populer dibandingkan tokoh-tokoh lain dari kubu oposisi. Dan ia adalah kepala negara dan kepala pemerintahan dan panglima tertinggi angkatan bersenjata. Namun ia seolah tidak berdaya sama sekali melawan kampanye lawan-lawan politiknya.


Hal berbeda terjadi terjadi di Venezuela. Meski menghadapi tekanan bertubi-tubi, massif dan sistematis dari lawan-lawan politiknya yang didukung Amerika, Presiden Nicholas Maduro mampu bertahan. Ia kini bahkan berada di atas angin setelah parlemen yang dibentuk pada pendukungnya (Dewan Konstitusi) berhasil mengendalikan parlemen yang semula dikuasai kubu oposisi.

Baik Rousseff maupun Maduro adalah dua pemimpin Amerika Selatan yang tidak diinginkan oleh kekuatan modal dan politik neoliberalisme internasional yang berbasis di Amerika. Mereka tidak diinginkan karena berhasil membangun kekuatan politik dan ekonomi yang tidak bisa dikendalikan Amerika.

Namun, mengapa Rousseff tumbang dan Maduro bisa bertahan? Jawabannya adalah karena Rousseff tidak bisa memisahkan diri secara tegas dari para komprador neoliberalisme, sementara Maduro bisa.

Di era globalisasi seperti sekarang, memang sulit melepaskan diri dari jerat-jerat neoliberalisme. Para elit penguasa di hampir semua negara, hampir semuanya memiliki ketergantungan pada kekuatan modal dan politik Amerika dan negara-negara poros neoliberalisme internasional seperti Uni Eropa dan Jepang. Bahkan negara-negara yang tampak independen dari kekuatan Amerika seperti Iran, Rusia dan Cina, tidak seratus persen terbebas dari jangkauan kekuatan neoliberalisme internasional.

Sebagai contoh Iran, mayoritas elit penguasa negara ini ternyata terikat secara emosional karena pernah belajar di negara-negara barat dan tidak menutup kemungkinan para penguasa negeri ini telah menjadi kader neoliberalisme internasional. Keluarga pemimpin revolusi Ayatollah Hashemi Rafsanjani, Presiden Hassan Rouhani dan Menlu Javad Zarif dan lain-lainnya adalah didikan Barat. Bahkan pemimpin tertinggi revolusi Iran, Ayatollah Khomeini, selama belasan tahun tinggal di Eropa.

Tidak heran jika paska pilpres Iran tahun 2009, terutama dengan menggunakan tangan Hashemi Rafsanjani, neoliberalisme internasional bisa memobilisasi kekuatan untuk menggoncangkan dan nyaris menumbangkan pemerintahan Iran. Dan hingga kini pun, Iran masih dilanda 'perang dingin' antara kubu reformis pro-Barat dan kubu konservatif anti-Barat. Rafsanjani yang selama dan paska revolusi berteriak-teriak menuduh Amerika sebagai 'Setan', justru mengirimkan anak-anaknya belajar ke sana.

Jika Iran saja tidak bebas dari pengaruh kekuatan neoliberalisme, apalagi Brazil dan Venezuela. Dan kegagalan Pesiden Brazil Dilma Rousseff membendung kekuatan agen-agen neoliberalisme di negerinya dikarenakan ia dan mentornya yang juga pendahulunya, Presiden Da Silva, tidak pernah bernyali untuk memisahkan secara tegas kekuatan-kekuatan pro-neoliberalisme dengan kekuatan-kekuatan nasionalis yang mendukungnya. Dalam kondisi seperti itu, ia dan para pendukungnya sendiri tidak memiliki keyakinan diri untuk bertindak tegas.

Rousseff mustinya bisa menetapkan situasi darurat dan memerintahkan militer untuk menghentikan pemakzulan terhadap dirinya. Namun, ia juga tahu bahwa jika ia melakukan hal ini, militer bisa membangkang dan justru mengkudetanya. Sementara militer yang awalnya mungkin mendukungnya, juga ragu-ragu untuk menindak tegas para penentang presiden mengingat langkah itu bakal dikecam pers dan ditolak dunia internasional yang sepenuhnya dikuasai kekuatan neoliberalisme.

Hal yang berbeda terjadi di Venezuela. Ketika pendahulu dan mentor Presiden Maduro, Hugo Chavez, memegang tampuk kekuasaan tahun 1999, ia berhasil memisahkan secara tegas para pendukungnya dengan para agen neoliberalisme, sedemikian rupa sehingga para pendukungnya disebut juga sebagai kaum Bolivarians. Merujuk pada nama Simon Bolivar, pahlawan kemerdekaan negara-negara Amerika Selatan, Maduro dan para pendukungnya dikenal dengan semangat nasionalisme dan anti dominasi Amerika.

Apa yang dilakukan Chavez dan diwariskan kepada Maduro adalah mengembangkan retorika-retorika anti-Amerika, selain tentu saja memperkuat infrastruktur politik kekuasaan pendukung-pendukungnya. Salah satu hal yang terkenal yang dilakukan Chavez adalah dalam even Sidang Umum PBB September 2006. Di atas mimbar ia menyindir Presiden Amerika kala itu, George Bush.

"Kemarin, di mimbar ini berdiri setan yang bau belerangnya masih terasa sampai sekarang," kata Chavez sembari memanjatkan do'a pengusir setan.

"...Kerajaan Amerika tengah berusaha keras untuk mengkondolidasikan sistem dominasinya atas dunia. Dan kita tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Kita tidak boleh membiarkan diktator dunia mengkonsolidasi the American empire is doing all it can to consolidate its system of domination. And we cannot allow them to do that. We cannot allow world dictatorship to be consolidated."

Dalam kondisi seperti ini Chavez dan Maduro bisa mendapatkan dukungan penuh dari para pendukungnya. Hal ini juga berpengaruh juga dengan dukungan penuh militer. Mereka merasa percaya diri untuk mendukung pemerintah saat situasi dibutuhkan karena merasa didukung juga oleh rakyat. Tidak heran, ketika Chavez dikudeta oleh sekelompok militer yang bekerjasama dengan politisi agen neoliberalisme pada tahun 2002, militer Venezuela membela Chavez dan mendudukkan kembali Chavez ke kursi kepresidenan. Tidak hanya itu, organ-organ negara seperti Pengadilan pun menjadi percaya diri untuk menjadi pendukung pemerintah.

Bila Chavez harus mengalami pengalaman dikudeta militer, apa yang dialami penerusnya, Nicholas Maduro oleh tindakan-tindakan para pendukung neoliberalisme tidak kalah keras. Ia mengalami kudeta konstitusi ketika parlemen yang dikuasai kubu oposisi melakukan pemakzulan terhadapnya. Upaya ini berhasil digagalkan oleh Mahkamah Agung, yang bersama militer telah menjadi pendukung regim Maduro.

Gagal dengan upaya konstitusional, lawan-lawan Maduro yang didukung Amerika pun melancarkan gelombang aksi demonstrasi anarkis hingga konspirasi menciptakan kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok untuk mendorong kerusuhan massal. Tidak hanya itu, juga terjadi aksi serangan bersenjata ke Gedung Mahkamah Agung oleh sekelompok polisi agen asing dan disusul kemudian oleh percobaan pemberontakan oleh sekelompok kecil militer di sebuah pangkalan militer di daerah.

Ketika Maduro semakin terdesak dan tampak seperti tidak bisa ditolong lagi, ia hanya melakukan satu langkah kecil namun strategis. Ia hanya mengeluarkan Dekrit pembentukan Dewan Konstitusi dan dengan cepat berhasil membalikkan keadaan.


Bagaimana Indonesia?
Hanya sedikit negara yang bisa bertahan dari serangan proksi (agen) neoliberalisme internasional. Selain Iran dan Rusia, hanya Venezuela yang mampu. Yang lain bertumbangan seperti rumah kardus. Dimulai dengan runtuhnya Uni Sovyet dan berdirinya negara-negara Eropa Timur eks Pakta Warswa, tumbangnya regim Orde Baru di Indonesia tahun 1998, fenomena Arab Springs tahun 2009-2015, tumbangnya regim Victor Yanukovich di Ukraina tahun 2014 dan terakhir tumbangnya Dilma Rousseff. Padahal dibandingkan Maduro, Dilma Rousseff menikmati dukungan publik yang lebih besar. Ia terpilih dengan margin di atas 60%, Maduro hanya 50% lebih sedikit. Tapi Maduro bisa bertahan, sementara Dilma jatuh.

Lalu, bagaimana dengan INdonesia?

Kondisi Indonesia, dalam konteks neoliberalisme internasional, termasuk cukup parah. Saking kuatnya, regim neoliberalisme yang sedang berkuasa cukup percaya diri untuk mengangkat seorang warga negara Amerika sebagai menteri di bidang yang sangat strategis. Setelah diprotes publik ramai-ramai, jabatan itu dicabut, namun dikembalikan lagi setelah kondisi agak tenang. Dan berbeda dengan Brazil maupun Venezuela, Indonesia diserang oleh dua kelompok proksi neoliberalisme internasional, yaitu Cina dan Amerika.

Namun INdonesia adalah bangsa yang sangat istimewa, yang menjadi pelopor gerakan kemanusiaan pada berbagai massa. Sejarah bangsa ini juga mampu memisahkan secara tegas kelompok-kelompok nasionalis dan opportunis proksi neoliberalisme asing. Dan inilah yang menjadi titik lemah kekuatan neoliberalisme.

Berbagai upaya yang dilakukan untuk mengisolir dan memarginalkan kelompok-kelompok anti-neoliberalisme asing yang diwakili oleh orang-orang Islam dan kaum nasionalis, justru mengalienasi dan mengasingkan para pendukung neoliberalisme dari rakyat. Pada akhirnya kelak, para pendukung neoliberalisme Indonesia akan terdepak dari panggung kekuasaan, seperti buih di atas ombak. Insya Allah.(ca)


1 comment: