Gambar: Muqtada al Sadr bersama Pangeran Mohammad bin Salman.
Indonesian Free Press -- Perkembangan sangat menarik terjadi di Irak berkaitan dengan ulama Shiah kharismatik Muqtada al-Sadr dan hubungannya dengan Iran. Namun, analisis lebih mendalam masih diperlukan untuk menjelaskan hal ini.
Selama ini diketahui bahwa otoritas resmi Irak, yakni Perdana Menteri Haider al-Abadi dan Wapres dan juga mantan Perdana Menteri Nouri al Maliki, menjaga jarak dengan Iran dan lebih menjaga hubungan dengan Amerika-Saudi Arabia demi jaminan politik dan finansial. Pada saat yang sama, mereka berselisih dengan Muqtada al-Sadr, sekutu Iran yang sangat anti-Amerika dan Saudi Arabia.
Pada tahun 2006-2008 Al Sadr bahkan terlibat konflik berdarah dengan al Maliki yang saat itu menjabat Perdana Menteri, setelah Maliki, atas permintaan Amerika, berusaha melucuti persenjataan milisi pendukung al Sadr. Kemudian, dua tahun yang lalu al Sadr memimpin aksi demonstrasi besar-besaran menuntut Abadi mundur karena dianggap korup dan menjadi antek Amerika.
Dalam posisi ini, al-Abadi dan Maliki berseberangan pandangan dengan al Sadr tentang keberadaan Hashd al-Sha’abi atau Popular Mobilization Units (PMU), milisi dukungan Iran yang menjadi tulang punggung kekuatan militer Irak dalam menghadapi ISIS muncul tahun 2015. Al Sadr tentu mendukung keberadaan PMU, sementara al Abadi dan Maliki menjaga jarak dengan PMU, yang juga dibenci oleh Amerika dan Saudi karena dianggap sebagai 'kaki tangan Iran'.
Sekitar dua tahun lalu bahkan terjadi insiden diplomatik yang panas antara Saudi dan Irak setelah Dubes Saudi di Baghdad menuntut pembubaran PMU, karena hal itu jelas-jelas telah mencampuri urusan dalam negeri Irak. Sementara Amerika dengan gigih menentang dilibatkannya PMU dalam pembebasan Mosul dari ISIS.
Namun, situasinya kini berubah 180 derajat. Al Sadr tidak lagi mendukung PMU dan Iran dan kini justru berseberangan dengan PMU dan Iran dan bersekutu dengan Saudi. Sebaliknya, Abadi dan Maliki justru mendukung PMU dan Iran.
Seperti dilaporkan Press TV, pada hari Sabtu (5 Agustus), PM Haider al-Abadi dengan tegas menolak ide pembubaran Hashd al-Sha’abi (PMU). Ia mengatakan bahwa PMU berada di bawah pengawasan pemerintah dan ulama dan diakui oleh negara. Pernyataan ini memperkuat status PMU yang pada November 2016 lalu telah diakui sebagai organisasi bersenjata resmi oleh parlemen Irak yang memiliki hak yang sama dengan tentara reguler Irak.
Peryataan Abadi ini merupakan respons telak atas pernyataan Al Sadr hanya sehari sebelumnya tentang PMU. Dalam pidato di depan para pendukungnya pada hari Jumat di Baghdad, Muqtada al-Sadr mengatakan bahwa pemerintah Irak tidak boleh mengintegrasikan PMU ke dalam organ pemerintahan. Sebaliknya ia meminta agar otoritas Irak melucuti persenjataan semua kelompok bersenjata. Tanpa menunjuk langsung, Al Sadr menyinggung PMU.
Sikap Al Sadr ini sejalan dengan langkahnya pada akhir Juli lalu yang mengunjungi Saudi Arabia dan bertemu Putra Mahkota dan Menhan Mohammed bin Salman di Jeddah. Setelah pertemuan itu Jubir al Sadr mengatakan bahwa Saudi setuju untuk membayar kepada Baghdad $10 juta sebagai bantuan. Namun masih belum ada konfirmasi apakah kedatangan Al Sadr itu bersifat resmi dan disetujui pemerintah Irak. Sadr sendiri adalah pemimpin blok politik yang berpengaruh di Irak.
Media Saudi 'New Arab' menyebutkan bahwa pemerintah Saudi juga telah memberikan hadiah berupa visa khusus kepada Al Sadr dan para pembantunya untuk menunaikan ibadah haji tahun ini.
Nama Muqtada Al Sadr semakin populer di Irak setelah ia memimpin gerakan perlawanan bersenjata melawan pendudukan Amerika di Irak. Pada tahun 2008 ribuan militer Irak dan pasukan koalisi internasional dari Amerika dan Inggris menyerbu kota Basra untuk mengusir milisi Tentara Mahdi yang merupakan milisi bentukan al Sadr. Setelah melalui pertempuran sengit akhirnya Basrah direbut oleh militer Irak.
Untuk mengatasi 'jalan buntu' antara al Sadr dan pemerintah Irak yang kala itu dipimpin Nuri al Maliki dan didukung Amerika, pemerintah Iran menawarkan perlindungan kepada al Sadr. Al Sadr pun selamat dari serangan militer dan tuntutan hukum. Setelah situasi dirasa aman, ia kembali ke Irak tahun 2011 dan aktif di dunia politik dengan membangun blok yang berpengaruh, meski secara resmi ia tidak memegang jabatan formal.
Sikap kontroversi Al Sadr lainnya yang dianggap berlawanan dengan Iran dan justru sejalan dengan sikap Amerika dan Saudi, adalah tuntutannya agar Presiden Suriah Bashar al Assad mundur. Muqtada al Sadr juga diketahui publik memiliki kedekatan dengan pemimpin Presiden Turki Tayyep Erdogan. Pada bulan Mei 2009, saat dalam masa pelarian di Iran, ia mengunjungi Erdogan di Ankara.
Blog ini menduga, pecahnya kongsi antara Al Sadr dengan Iran dipengaruhi oleh semakin dekatnya hubungan Iran dengan Abadi dan Maliki, khususnya selama dan paska pembebasan kota Mosul. Hal itupun membuat popularitas Abadi dan Maliki semakin tinggi, dan itu dianggap sebagai ancaman bagi Al Sadr.(ca)
Laporan lain menyatakan Saudi memerlukan mediator untuk keluar Dari rawa yaman yang rumit,
ReplyDeleteBiasa sebenarnya ini politik main domino sama seperti China dan uni Soviet dulu seperti tak akur ini menghindari politik monopoli dan menghindari isu isu apa lagi mochtada sadr bersifat oposisi bukan kekuatan senjata sama seperti Nouri Maliki dan perdana menteri karena posisi urgen dan harus bulat mendukung Marja ayatullah sistani dan segenap rakyat harus tahu posisi kunci Iran stabilitas di Irak dan manajemen perang hanya Iran yg sanggup mengkordinir ini karena tanpa serangan semesta dg suriah maka sangat berat yg di hadapi sangat berat jauh lebih berat dari militer ini pasukan monstertak takut mati mereka sama dg zombie harus menghadapi dg pagar betis kepung serang dan hit and run perang logistik dan manajemen efesien jadi di Irak hanya drama politik sehingga tak jadi sorotan dunia campur tangan Iran bukan pecah kongsi
ReplyDelete