Thursday, 30 November 2017

"KABINET PESTA" bukan "KABINET KERJA"

by Asyari Usman (Eks jurnalis senior BBC)

Setelah mengamati rangkaian acara dalam proses peresmian pernikahan puteri Presiden Joko Widodo, baik sewaktu di Solo maupun di Medan, di dalam pikiran saya terlintas peluang yang sangat menjanjikan. Yaitu, penggalakan “variabel baru” di dalam perekonomian nasional.

Singkatnya, variabel baru itu saya sebut “wedding economy” –perekonomian pernikahan. Yakni, perekonomian yang berbasis pada acara-acara pernikahan. Tampaknya, “wedding economy” berpotensi untuk menggerakkan dana tunai miliaran rupiah, bahkan belasan miliar, untuk satu seremoni pernikahan saja.

Kalau pesta puteri Pak Jokowi kita jadikan contoh nyata, sangat banyak ragam bisnis yang terlibat untuk mewujudkan acara. Apalagi kalau acara pernikahan dilaksanakan berhari-hari seperti yang berlangsun di Medan saat ini. Pastilah dana yang dikucurkan cukup besar. Banyak provider yang kebagian kontrak.


Di Medan, rangkaian acara yang diselenggarakan sangat banyak karena pernikahan ini adalah persilangan antara dua sistem adat besar di Indonesia, yaitu adat Jawa dan adat Mandailing. Ada pemberian marga dengan potong kerbau; pemberian gelar raja kepada pihak besan; plus prosesi keadatan yang sangat detail dan panjang. Pokoknya, sangat menjanjikan peluang bisnis untuk para penyedia barang dan jasa dengan nilai transaksi miliran rupiah.

Bisa Anda lihat betapa besarnya peluang ekonomi di situ. Ada suplai taratak (tenda) kelas internasional dengan dekorasi supermewah. Yang dilibatkan termasuk penyewa sofa luks, karpet berkelas, gordyn mahal, bunga hias tingkat presidensial, lighting mewah dan modern, dlsb.

Untuk urusan busana, keluarga tuan rumah menyiapkan tak kurang dari ratusan pasang kostum (seragam) adat dan kostum biasa dengan bahan yang terbagus, dus harganya pun pasti mahal. Bisa dibayangkan berapa besar belanja busana yang harus dikeluarkan. Ratusan juta. Lain lagi para tamu VVIP atau VIP yang jumlahnya 4,000 sampai 5,000 orang. Mereka ini tak mungkin mau memakai baju lama. Kalau rata-rata biaya busana Rp3 juta per orang, berarti ada kegiatan bisnis busana sebesar Rp15 miliar.

Sepatu? Kalau saja 3,000 tamu membeli sepatu baru seharga rata-rata Rp1juta, bearti ada bisnis tunai sebesar Rp3 miliar. Terus, tas tangan (hand bag). Kalau 2,000 orang membeli hand bag baru seharga

rata-rata @ Rp5 juta, berarti ada perputaran tunai sebesar Rp10 miliar.

Penginapan? Kalau 1,000 tamu memerlukan 500 kamar hotel seharga Rp1 juta x 2 malam, berarti Rp1 miliar. Kemudian untuk catering, 5,000 orang @ Rp100,000 = Rp500 juta.

Ada lagi berbagai keperluan lain termasuk sound system, pencetakan udangan, dll. Singkatnya, satu pesta pernikahan besar akan mengeluarkan dana antara Rp10 miliar sampai Rp20 miliar.

Di tengah kesulitan ekonomi dan lapangan kerja pada waktu ini, pemerintah bisa mengkampanyekan agar orang-orang kaya melaksanakan “pesta besar” untuk pernikahan anak-anak mereka supaya “wedding economy” menjadi salah satu variabel income yang signifikan.

Untuk mendorong “pesta besar” di kalangan orang-orang beruang, tidak ada salahnya Presiden dan Wapres menyediakan diri untuk menghadiri pesta-pesta besar. Karena pesta-pesta yang dihadiri Presiden akan menggeliatkan dana besar untuk provider berbagai belanja barang dan jasa seperti diuraikan di atas.

Kalau dalam setahun Presiden menghadiri 40 pesta besar dan Wapres juga 40 pesta besar, berarti akan ada perputaran dana sebesar Rp1.6 triliun, minimal. Lain lagi biaya perjalanan Presiden dan Wapres, juga menggerakkan ekonomi.

Kemudian, pesta besar pernikahan itu dijadikan pula agenda wajib bagi para gubernur dan bupati/walikota. Mereka juga harus mendorong pesta besar untuk kelas masing-masing.

Selain itu, Presiden Jokowi bisa memerintahkan para menteri untuk ikut berperan aktif. Para menteri harus memenuhi undangan orang kaya agar duit yang tersimpan bisa bergerak untuk pesta besar. Kalau orang kaya mengundang menteri, tentu mereka akan melaksanakan pesta besar di tempat yang relatif mahal.

Ada 34 menteri di kabinet, plus Kapolri, Jaksa Agung dan Panglima TNI. Presiden juga bisa mengajak pimpinan DPR. Kalau mereka semua ikut menggalakkan “wedding economy”, tak terbayangkan perputaran uang untuk pesta.

Bisa diberlakukan pembedaan kelas pesta antara satu menteri dengan menteri yang lain. Misalnya, untuk mengundang menteri-menteri kondang seperti Pak Luhut Pandjaitan, maka tuan rumah pesta harus menunjukkan pengeluaran minimal Rp8 miliar, misalnya. Kalau mau mengundang Tito Karnavian, segini besar pestanya, dsb.

Untuk pimpinan DPR, kalau mau undang ketua (seandainya Pak Setnov belum masuk ke KPK), maka biaya pesta harus sekian. Luar biasa! Peluang ekonomi yang sangat bagus.

Jadi, para menteri bisa dimasukkan ke dalam “price list” pesta. Artinya, menteri A hanya bisa hadir di pesta yang masuk kategori biaya sekian miliar, dst. Dibuatkan “menu” menteri. Mislanya, mengundang satu menteri, pestanya harus sekian miliar; dua menteri, sekian miliar. Maksimum tiga menteri karena bakal banyak undangan yang masuk.

Kalau sekiranya, ini cuma berandai-andai saja, Pak Jokowi terpilih lagi di 2019, saya mengusulkan sebutan kabintenya “Kabinet Pesta”, bukan lagi “Kabinet Kerja”

Jadi, jika gagasan “wedding economy” ini bisa kita implementasikan segera, berarti ada peluang bisnis perpestaan senilai puluhan triliuan rupiah setiap minggu.

Cuma, ada satu kelemahan “wedding economy” dengan konsep pesta besar. Yaitu, rakyat kecil hanya akan menjadi penonton saja. Tipis kemungkinan mereka diundang. Dan juga tak bakalan menikmati bisnis pesta besar itu.***

(Sumber: fb penulis)

No comments:

Post a Comment