#OlehFaridGaban
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pekan ini menandatangani perjanjian dengan 10 perusahaan swasta. Perusahaan itu diizinkan memanfaatkan data penduduk Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan KTP Elektronik. Perjanjian serupa dilakukan September lalu melibatkan tiga bank dan tujuh lembaga keuangan swasta. Sampai saat ini, menurut pihak kementerian, telah ada lebih dari 250 perusahaan swasta yang bisa mengakses data kependudukan dan catatan sipil warga Indonesia.
Keputusan pemerintah berbagi data pribadi kepada pihak ketiga memunculkan masalah tentang "pelanggaran privacy” (kerahasiaan pribadi). Di banyak negara, telah luas diperdebatkan apakah negara boleh membagikan data pribadi warga.
KTP kita, meski disebut KTP Elektronik, memang sekarang sebatas berisi data dasar seperti nomor induk kependudukan (NIK), nama, alamat, pekerjaan dan agama. Data seperti itu adalah data pribadi (personal), yang semestinya dijaga kerahasiaannya.
Membagikan data pribadi, bahkan jika cuma alamat email atau nomor telepon, dianggap sebagai pelanggaran serius dalam prinsip kerahasiaan pribadi. Itu sebabnya banyak website yang meminta data keanggotaan selalu mencantumkan janji untuk tidak berbagai data dengan pihak ketiga. Itu merupakan praktik standar.
Lalu, bagaimana bisa negara begitu longgar berbagi, bahkan cenderung telanjang, menjual data dengan ratusan perusahaan swasta? Kementerian kini tengah memproses izin akses data kependudukan untuk 904 perusahaan, 300 di antaranya adalah bank perkreditan rakyat. Kementerian berdalih praktik berbagi data pribadi warga negara dibenarkan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013. Undang-Undang
memberikan kewenangan pada lembaga keuangan untuk memanfaaatkan data layanan publik, termasuk penegakan hukum, yang dikumpulkan kementerian/lembaga.
Tapi, peluang penyalahgunaan data pribadi warga dan pelanggaran privacypotensial sangat serius. Terutama jika KTP elektronik yang lebih canggih benar-benar mau diterapkan. KTP digital itu tak hanya memuat data dasar seperti sekarang, tapi juga biometrik termasuk retina, sidik jari, golongan darah, bahkan penyakit tertentu.
Maukah data pribadi Anda seperti itu dibagikan kepada ratusan lembaga swasta yang membuat hal-hal pribadi tak lagi bersifat pribadi?
Di beberapa negara, berbagi data pribadi warga hanya diperbolehkan di kalangan lembaga-lembaga negara sendiri. Tujuannya adalah menyatukan data untuk memudahkan pelayanan publik. Tapi, berbagai data dengan swasta tidak bisa dibayangkan.
Perusahaan swasta sangat haus data pribadi warga negara. Selama ini, mereka mengerahkan kegiatan mata-mata bisnis (business intelligence) untuk mendapatkan data semacam itu sehingga mereka
bisa mempertajam pemasaran produk dan jasa.
Tidak semua swasta nakal. Tapi, data pribadi warga potensial disalahgunakan. Hal yang paling sepele, data pribadi warga dipakai untuk menyebar brosur atau SMS kepada pelanggan potensial. Ancaman lebih serius: dengan ratusan perusahaan swasta terlibat, bukan mustahil data itu bocor ke luar negeri yang bisa dipakai oleh dinas rahasia asing untuk memata-matai warga Indonesia.
Praktik membagikan data pribadi warga ke lembaga swasta harus dihentikan. Undang-Undang yang memberi kewenangan untuk itu harus digugurkan.***
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pekan ini menandatangani perjanjian dengan 10 perusahaan swasta. Perusahaan itu diizinkan memanfaatkan data penduduk Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan KTP Elektronik. Perjanjian serupa dilakukan September lalu melibatkan tiga bank dan tujuh lembaga keuangan swasta. Sampai saat ini, menurut pihak kementerian, telah ada lebih dari 250 perusahaan swasta yang bisa mengakses data kependudukan dan catatan sipil warga Indonesia.
Keputusan pemerintah berbagi data pribadi kepada pihak ketiga memunculkan masalah tentang "pelanggaran privacy” (kerahasiaan pribadi). Di banyak negara, telah luas diperdebatkan apakah negara boleh membagikan data pribadi warga.
KTP kita, meski disebut KTP Elektronik, memang sekarang sebatas berisi data dasar seperti nomor induk kependudukan (NIK), nama, alamat, pekerjaan dan agama. Data seperti itu adalah data pribadi (personal), yang semestinya dijaga kerahasiaannya.
Membagikan data pribadi, bahkan jika cuma alamat email atau nomor telepon, dianggap sebagai pelanggaran serius dalam prinsip kerahasiaan pribadi. Itu sebabnya banyak website yang meminta data keanggotaan selalu mencantumkan janji untuk tidak berbagai data dengan pihak ketiga. Itu merupakan praktik standar.
Lalu, bagaimana bisa negara begitu longgar berbagi, bahkan cenderung telanjang, menjual data dengan ratusan perusahaan swasta? Kementerian kini tengah memproses izin akses data kependudukan untuk 904 perusahaan, 300 di antaranya adalah bank perkreditan rakyat. Kementerian berdalih praktik berbagi data pribadi warga negara dibenarkan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013. Undang-Undang
memberikan kewenangan pada lembaga keuangan untuk memanfaaatkan data layanan publik, termasuk penegakan hukum, yang dikumpulkan kementerian/lembaga.
Tapi, peluang penyalahgunaan data pribadi warga dan pelanggaran privacypotensial sangat serius. Terutama jika KTP elektronik yang lebih canggih benar-benar mau diterapkan. KTP digital itu tak hanya memuat data dasar seperti sekarang, tapi juga biometrik termasuk retina, sidik jari, golongan darah, bahkan penyakit tertentu.
Maukah data pribadi Anda seperti itu dibagikan kepada ratusan lembaga swasta yang membuat hal-hal pribadi tak lagi bersifat pribadi?
Di beberapa negara, berbagi data pribadi warga hanya diperbolehkan di kalangan lembaga-lembaga negara sendiri. Tujuannya adalah menyatukan data untuk memudahkan pelayanan publik. Tapi, berbagai data dengan swasta tidak bisa dibayangkan.
Perusahaan swasta sangat haus data pribadi warga negara. Selama ini, mereka mengerahkan kegiatan mata-mata bisnis (business intelligence) untuk mendapatkan data semacam itu sehingga mereka
bisa mempertajam pemasaran produk dan jasa.
Tidak semua swasta nakal. Tapi, data pribadi warga potensial disalahgunakan. Hal yang paling sepele, data pribadi warga dipakai untuk menyebar brosur atau SMS kepada pelanggan potensial. Ancaman lebih serius: dengan ratusan perusahaan swasta terlibat, bukan mustahil data itu bocor ke luar negeri yang bisa dipakai oleh dinas rahasia asing untuk memata-matai warga Indonesia.
Praktik membagikan data pribadi warga ke lembaga swasta harus dihentikan. Undang-Undang yang memberi kewenangan untuk itu harus digugurkan.***
Anjuran dan kewajiban dr Regulator untuk Registrasi Ulang pengguna ponsel seharusnya di barengi dg jaminan bahwa data tak akan disalahgunakan..
ReplyDelete