Wednesday, 28 February 2018

Teroris dan Intel Barat dalam Perang Ghouta Timur

Indonesian Free Press -- Ghouta Timur, sebuah kota di sebelah timur ibukota Damaskus, saat ini menjadi ajang pertempuran paling seru dalam konflik Suriah yang telah berlangsung sejak tahun 2011. Dan, seperti biasa, media-media utama internasional dan tanah air serta aktifis medsos berwawasan cekak sebagaimana para kecebong, ramai-ramai memberitakan kekejaman tentara Suriah dan Rusia terhadap warga sipil.

Selama enam tahun lebih para pemberontak-teroris dukungan zionis yang berbasis di Ghouta Timur membomi wilayah kota Damaskus. Pada tanggal 23 Februari lalu, misalnya, sebuah bom yang ditembakkan pemberotak dari Ghouta Timur menghantam kawasan Rukn Eddin, Damaskus, menewaskan 3 orang penduduk sipil dan melukai 15 orang lainnya. Media-media massa itu tidak pernah menyinggungnya ketika memberitakan pertempuran di Ghouta Timur saat ini. Namun ketika pasukan pemerintah Suriah dan koalisinya melakukan offensif untuk membersihkan Ghouta Timur dari para teroris, dan hal itu pasti menimbulkan 'collateral damage', media-media itu seolah-olah sangat peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan.


Lebih dari enam tahun, Kementrian Rekonsiliasi Suriah telah menandatangani lebih dari 1.000 perjanjian gencatan senjata dan memberikan amnesti kepada ribuan pemberontak. Mereka yang berada di Ghota Barat menerima perdamaian, namun tidak dengan para pemberontak di Ghouta Timur. Ini adalah wilayah yang cukup luas dengan jumlah penduduk sebelum perang mencapai 400.000 jiwa dan saat ini masih dihuni oleh sekitar 250.000 penduduk, menurut data pemerintah Suriah. Kawasan utama kota ini, Douma, telah lama dikenal sebagai pusat hiburan malam dengan rumah-rumah bordilnya. Saat ini kawasan ini dikuasai oleh para teroris Al Qaida di bawah bendera The Army of Islam (Jaych al Islam) yang dibina oleh pasukan khusus Inggris SAS dan Perancis DGSE (Direction Generale de la Securite Extérieur) hingga LSM Medecins Sans Frontieres.

Mayoritas teroris di sini adalah anggota klan keluarga Allouche, yang diketahui memiliki sejumlah properti mahal di London. Sejak tahun 2012 hingga 2015 pemimpin klan ini, Zahran Allouche berkali-kali mengancam akan menduduki Damaskus dan menghukum mati orang-orang 'kafir' di ibukota tanpa pengadilan. 'Kafir' di sini adalah termasuk orang-orang Islam non Wahabi. Ia menerapkan hukum 'shariah' menurut keyakinan Wahabi di wilayahnya. Dengan tangannya sendiri ia telah membunuh banyak orang, hanya karena menolak mengatakan 'Assad adalah anjing!'.

Pasukan Allouche mendapatkan senjatanya dari Saudi Arabia yang dikirim melalui Yordania, juga tank-tank dari inteligen Inggris M-16. Ketika pasukan Suriah mulai membombardir posisi-posisi Zahran Allouche, ia memerintahkan para tawanan untuk dijadikan sebagai 'perisai hidup'.

Pada awal 2016, atau setelah kematian Zahran, sepupunya, Mohamed Allouche mengambil alih kepemipinan. Ia mulai menjadi perhatian internasional dengan aksinya melemparkan orang-orang homoseks dari atap rumah. Ketika menghadiri Konperensi Suriah di Genewa sebagai delegasi oposisi, ia meminta seluruh patung yang terdapat di dalam hotel tempat konperensi, ditutup dengan kain. Selama berlangsungnya konperensi, ia masih tetap mengeluarkan perintah kepada anak buahnya untuk membunuhi 'babi-babi', maksudnya tentara pemerintah.

Ketika pasukan Suriah memblokade Ghouta Timur, mereka mengijinkan warga yang hendak meninggalkan kota. Mereka juga memberikan akses luas kepada PBB dan Palang Merah untuk keluar masuk, namun tidak untuk wilayah yang dikuasai para teroris. Mereka hanya mengijinkan anggotanya yang sakit untuk keluar guna mendapatkan perawatan. Konvoi kemanusiaan PBB dan Palang Merah harus menjalani penggeledahan saat memasuki wilayah para teroris. Berulangkali, konvoi-konvoi itu justru mengirimkan senjata kepada para teroris.

Ghouta adalah wilayah pertanian yang mengelilingi Damaskus. Ketika PBB membagi-bagian makanan, para terorislah yang menyalurkannya kepada para penduduk dengan mengenakan harga yang lebih tinggi dari ibukota Damaskus. Jika warga menolak setia kepada pemberontak, mereka akan dibiarkan kelaparan.

Selama enam tahun, setiap harinya para teroris menyerang Damaskus dari Ghouta Timur, dengan dunia internasional yang membisu. Pasukan pemerintah satu demi satu kemudian membebaskan kawasan-kawasan yang dikuasai pemerontak. Daraya, Mouadamiyat al-Cham, Qudsaya dan al-Hameh pada bulan Agustus 2016. Selanjutnya Jobar, Barzeh, Qaboun dan Tichrine pada Februari 2017. Sejumlah perundingan kemudian dilakukan untuk memindahkan para pemberontak ke wilayah Idlib di timur-laut Suriah, dengan ketentuan para pemberontak membebaskan warga sipil yang ditawan di wilayah mereka.

Setelah pemerintah memutuskan untuk membebaskan Ghouta Timur, pemboman pun dilakukan untuk menghancurkan kedudukan pemberontak-teroris. Dalam situasi ini tentu saja bantuan kemanusiaan tidak memungkinkan, sementara pemberontak bebas menembakkan artilerinya ke Damaskus. Biasanya mereka menargetkan kawasan Mezzeh, tempat kantor Kedubes Iran berada, Kedubes Rusia di pusat kota, dan Lapangan Mmeyyades tempat kantor Departemen Pertahanan dan Departemen Informasi berada. Namun kali ini pemboman pemberontak menghantam semuanya.

Jutaan warga Suriah yang mengungsi ke Damaskus harus berjuang lagi untuk menyelamatkan diri dari serangan pemberontak-teroris. Sementara lebih dari sepertiga warga ibukota memilih tinggal di rumahnya karena takut dengan serangan bom. Seperempat kawasan perdagangan di Damaskus ditutup dan administrasi pemerintahan berjalan terseok-seok.

Ketika koalisi pimpinan Amerika menggempur Mosul untuk membebaskannya dari ribuan teroris tahun lalu, mereka membunuh sekitar 10.000 warga sipil. Media-media internasional menyambutnya dengan antusias. Media-media yang sama kini ramai-ramai menayangkan gambar gadis kecil di tengah reruntuhan kota Ghouta Timur. Mereka tidak mempertanyakan tentang keluarga kedua gadis kecil itu, atau tentang bagaimana mereka belajar bahasa Inggris. Dan tentu saja mereka tidak pernah mengabarkan tentang anak-anak  di Damaskus yang meninggal karena bom-bom teroris.(ca)



Keterangan: Dikutip dari Voltaire.org

3 comments:

  1. Pertempuran Ghouta begitu dilematis bagi pasukan Suriah.. kedua pilihan yg sama2 membahayakan..

    http://kasamago.com/su-57-dan-krisis-ghouta/

    ReplyDelete
  2. Teroris2 ini benar2 bangsat, moga2 neraka kelak tmpat kembali mereka.
    matilah teroris isis, AS, dan koalusinya.

    ReplyDelete
  3. Teroris2 ini benar2 bangsat, moga2 neraka kelak tmpat kembali mereka.
    matilah teroris isis, AS, dan koalusinya.

    ReplyDelete