Saturday, 31 March 2018

Reformasi 'Pura-Pura' Saudi Arabia dan Wahabisme

Indonesian Free Press -- Pengantar: Tulisan ini adalah terjemahan bebas dari artikel menarik yang ditulis Rania Khalek di situs Veterans Today, 31 Maret. Khalek adalah jurnalis, penulis dan pengamat politik Timur Tengah yang tinggal di Amerika.

Baru-baru ini para pejabat dan media-media Barat hingga PBB beramai-ramai mengutuki 'kekejaman' para pejuang Houthi yang telah menembakkan 7 rudal ballistik ke Saudi Arabia yang menewaskan 1 orang warga Saudi Arabia. Pada saat yang sama mereka bungkam ketika ribuan warga sipil, perempuan dan anak-anak Yaman yang tak berdosa tewas mengenaskan oleh serangan Saudi Arabia dan koalisi yang didukung Amerika dan Israel.


--------------------

Pada saat Putra Mahkota Saudi Arabia (Mohammad bin Salman) melakukan kunjungan resmi ke Amerika dalam apa yang disebut-sebut sebagai 'serangan hangat', media-media massa AS bertindak sebagai propaganda yang keterlaluan, membersihkan kejahatan bin Salman dengan sebutan 'reformis yang tengah memodernisasi kerajaan Saudi'.

Ketika ia (bin Salman) bertemu dengan sejumlah politisi tingkat tinggi hingga selebritis kelas-A seperti Oprah Winfrey, menjadi sajian utama adalah sejumlah 'reformasi' yang telah dilakukannya seperti mengijinkan wanita mengemudi dan membuka bioskop-bioskop di Saudi Arabia yang sampai sekarang masih terlarang.

“Dengan naiknya pangeran muda Mohammad bin Salman, kerajaan Saudi memperlihatkan ekpansi dari hak-hak wanita seperti mengijinkan wanita mengemudi dan menghadiri kegiatan-kegiatan olahraga," tulis Reuters.

Media utama Inggris itu lebih jauh berusaha 'menghaluskan' kejahatan wahabisme di masa lalu dengan menyebut bahwa wahabisme didorong oleh permintaan Barat selama Perang Dingin.

“Naiknya (bin Salman) ke panggunga kekuasaan diikuti dengan diperlongarnya sejumlah larangan terhadap wanita seperti larangan mengemudi dan diperlonggarnya wanita lapangan kerja,” tulis New York Times.

Kesan-kesan positif ini bukan kebetulan semata. Saudi Arabia (di bawah bin Salman) telah menghabiskan jutaan dollar untuk melobi sejumlah besar aparatus termasuk jaringan 'think tanks' dan perusahaan 'public relations' yang terus menerus mengkampanyekan perang terhadap Iran sekaligus menangkal imej buruk pemerintahan Riyadh yang dengan dukungan Amerika telah melancarkan perang di Yaman yang menewaskan seorang anak Yaman dalam setiap 10 menit.

'Reformasi wanita' Saudi Arabia tidak akan menghapus dominasi laki-laki yang diajarkan wahabisme, yang memperlakukan wanita seperti anak kecil. Di bawah faham ini, wanita harus meminta ijin laki-laki untuk bepergian, mendaftarkan passport, belajar di luar negeri, menikah dan sebagainya. Dan, meski besok pagi Saudi memberikan hak-hak kesamaan gender bagi perempuan, hal ini tidak akan menghapuskan dampak buruk yang ditimbulkan wahabisme di kawasan Timur Tengah.

'Wahhabisme adalah bentuk puratanisme dan ultra-konservatif dari Islam Sunni yang muncul pada abad 18 dan telah menjadi sumber aspirasi utama dari kelompok-kelompok teroris seperti Al-Qaeda dan ISIS. Tanpa memahami ajaran wahabisme sangatlah sulit untuk memahami mengapa ISIS menggunakan buku-buku Saudi untuk mengindoktrinasi anak-anak, mengapa 15 dari 19 pembajak dalam serangan 9/11 adalah warga Saudi, dan mengapa sebagian besar anggota ISIS berkewarganegaraan Saudi," tulis Khalek.

Munculnya gerakan 'Islamo-phobic' di negara-negara Barat juga ditimbulkan oleh praktik-praktik jahat dalam wahhabisme, seperti melempari pelaku zinah hingga mati, memotong tangan pencuri dah hukuman mati dengan pancung.

"Saudi Arabia secara mendasar adalah negara ISIS dengan sumber minyak melimpah. Inilah sekutu 'moderat' Amerika di kawasan," tulis Rania Khalek lagi.

Timur Tengah tidak selamanya dilingkupi oleh wabah fundamentalisme wahabi. Sampai saat ini pun gerakan ini tidak disukai oleh mayoritas rakyat di kawasan Timur Tengah dan negara-negara Islam. Namun gerakan ini mampu berdampak besar dan luas berkat Saudi Arabia dan dukungan Amerika yang memanfaatkan gerakan ini untuk mendukung ambisi geopolitiknya.

Sampai tahun 1950-an, Amerika dan Saudi Arabia mendukung gerakan Ikhwanul Muslimin untuk menghancurkan negara-negara nasionalis Arab. Saudi Arabia dengan dukungan Amerika telah menghabiskan miliaran dollar untuk menyebarkan wahabisme ke seluruh dunia Islam dengan berkedok pembangunan masjid-masjid, sekolah-sekolah dan 'Islamic Center'. Wilayah-wilayah dimana pengaruh wahabisme sangat kuat di antaranya Kosovo, Albania, dan Asia Selatan (Afghanistan, Bengladesh dan Pakistan), dimana rekrutmen anggota teroris-militan berjalan mudah. 

Sejarah paling nyata dari kerjasama Amerika dengan wahabisme adalah dalam Perang Afghanistan, ketika inteligen CIA dan senjata Amerika yang dipasok kepada para pejuang Afghanistan berhasil mengusir pasukan UNi Sovyet. Setelahnya, para pengikut orang-orang seperti Gulbuddin Hekmatyar, yang diterima dengan hangat di Gedung Putih, menumpahkan air keras ke wajah wanita-wanita tidak berhijab di Universitas Kabul.

Setelah Perang Afghanistan, sebagian 'mujahidin' itu membentuk kelompok-kelompok militan, tetap dengan dukungan Amerika dan Saudi. Sebagian dari mereka, sebagian besar lainnya adalah inteligen Amerika sendiri, terlibat dalam Serangan WTC yang menewaskan 3.000 warga tak berdosa di New York tahun 2001. Insiden ini mendorong Amerika melancarkan 'perang kotor' di negara-negara Islam dengan berkedok 'perang melawan terorisme'. Perang ini masih berlangsung sampai saat ini hingga ke negara-negara Islam di Afrika dan Asia Tenggara (Filipina, Thailand, Malaysia dan Indonesia).

Amerika (jika berbicara Amerika tentu tidak lepas dari zionis Israel) kini melakukan modus yang sama di Suriah dalam enam tahun terakhir. Mempersenjatai ISIS dan Al Qaida untuk menghancurkan Suriah, yang bersama Iran dan Hizbollah sampai saat ini masih menjadi penghalang ambisi zionisme di kawasan.

Dan, meski peran Saudi yang tidak bisa dibantah sebagai 'inspirator' gerakan terorisme, Saudi selalu mendapat dukungan Amerika. Selain karena menjadi pasar senjata Amerika, Saudi juga penyedia energi murah bagi Amerika. Selain itu, Saudi menjadi kesayangan para pejabat Amerika karena para pemimpin Saudi sangat dermawan. Tanyakan saja pada Hillary Clinton, Baraack Obama, dan George Bush, berapa sumbangan yang diterima yayasan mereka dan hadiah yang diberikan para pemimpin Arab kepada mereka.

Inilah yang membedakan antara rasa 'sayang' para pejabat Amerika kepada Arab Saudi dan Israel. Jika rasa 'sayang' para pejabat Amerika kepada Israel didasari oleh rasa takut kariernya bakal hancur kalau berani melawan kepentingan Israel, rasa sayang mereka kepada Arab Saudi adalah ketulusan.

Dalam sebuah percakapan dengan seorang diplomat Amerika, Khalek mengeluhkan kebijakan Amerika yang membiarkan Saudi terus menyebarkan faham wahabismenya sehingga tumbuh kelompok-kelompok teroris seperti Al Qaida dan ISIS. Pejabat Amerika itu pun marah dan menjawab:

“Saudi Arabia tidak menyebarkan terorisme, mereka menyebarkan agama dan kita tidak bisa turut campur dalam hal ini. Ini adalah soal demokrasi.  Saudis sangat penting sebagai sekutu geostrategik kita. Dan mereka telah berubah. Mereka bekerja keras untuk mereformasi buku-buku ajarannya.”

Pejabat itu kemudian membawakan buku-buku panduan 'jihad' yang dicetak Amerika dan dibagikan kepada anak-anak sekolah di Afghanistan dan Pakistan di tahun 1980-an. Buku-buku itu mengajarkan perlunya bertindak keras kepada orang-orang kafir, komunis dan Uni Sovyet. Buku-buku teks ini masih bisa ditemukan sampai saat ini di wilayah-wilayah yang dikuasai Taliban. Pejabat itupun mengatakan bahwa buku-buku teks itu berguna karena 'pada akhirnya Uni Sovyet bisa dikalahkan'.

Pemikiran seperti itu adalah warisan dari pemikir zionis yang selama puluhan tahun mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika, Zbigniew Brzezinski. Ketika ditanyakan kepadanya apakah ia menyesal telah mendukung kelompok-kelompok fundamentalis, ia pun menjawab:

“Apa yang paling berharga dalam sejarah dunia? Taliban atau runtuhnya Uni Soviet? Apakah menjadi masalah ketika beberapa orang mendorong fundamentalisme Islam, namun kemudian Eropa Timur berhasil dibebaskan dan Perang Dingin berakhir?”

Pandangan seperti ini masih melekat di Washington, dengan konsekuensi yang bahkan semakin menghancurkan. Memberikan wanita Saudi hak mengemudi, pada saat yang sama mendorong Saudi menjadi lebih agresif dengan menyerang Yaman dan menggelontorkan senjata puluhan miliar dollar setiap tahun, tidak akan mengubah apapun.***

No comments:

Post a Comment