Sahabatku, kadang saya sbg AKADEMIKUS itu berpikir:
"APAKAH SEORANG SUTEKI ITU LEBIH BERBAHAYA DARI SEGEROMBOLAN PEMBERONTAK THD NEGARA, MISAL OPM?"
Saya hanya bicara sesuai dengan kapasitas KEILMUAN SAYA tetapi DIPERSEKUSI, sedangkan mereka yg jelas-jelas ingin merdeka, separatis, bahkan melakukan aktifitas layaknya teroris, antiPancasila, antiNKRI, tdk setia kepada Pemerintah tidak di-SUTEKI-in. Dugaan kepada saya teramat keji tanpa kajian ilmiah sebelumnya. Sekian banyak kata ANTI disematkan kepada seorang ASN yang juga AKADEMIKUS seperti saya. Sakit sekali saya rasakan. Secara psikologis saya tidak mampu menggambarkan kerugian immateriil yg saya alami, baik kondisi di dalam kampus, keluarga, tetangga, masyarakat sekitar dan bahkan nasional. Seolah saya dipandang ini lebih berbahaya dari kaum teroris dan separatis.
SK PEMBERHENTIAN SEMENTARA atas diri saya dari TIGA JABATAN SEKALIGUS menambah kondisi lahiriah dan bathiniah saya dan keluarga saya makin tidak menentu. Memang benar itu risiko bicara tentang kebenaran dalam keilmuan tetapi sangat tidak fair bila KEILMUAN dilawan dengan GODAM KEKUASAAN. Lalu di mana HARGA DIRI seorang ilmuwan itu bila kebebasan keilmuannya direnggut. Kini saya pun sering terdiam, teman-teman dosen ilmuwan lain makin tiarap karena takut di-suteki-in. Kampus yg bertugas MERUHANIKAN ilmu secara radikal pun terancam hanya akan menjadi MENARA GADING yg teralienasi dengan masyarakatnya. Apalagi sinyalemen dari BNPT tentang adanya KAMPUS RADIKAL termasuk UNDIP di mana saya mengembangkan ilmu, menambah buram wajah kampus dari sisi pengembangan ilmu pengetahuan.
PEDIHNYA DALAM KESENDIRIAN. Status FB yang saya posting itu nampaknya juga mewakili jeritan hati saya sekaligus perlawanan bathin saya untuk tetap berjuang menegakkan PANJI-PANJI DIPONEGORO berupa KEJUJURAN ilmiah, serta KEBERANIAN membela KEBENARAN dan KEADILAN.
Sakitnya tuuh di sini. Sekarang ini kalau saya mau ke kampus, perasaan saya sedikit gegana alias gelisah galau dan merana seperti orang yg sedang putus cinta. Meski perih, tetapi tetap saya usahakan tersenyum atas pembunuhan karakter terhadap seorang dosen Pancasila dan Filsafat Pancasila yg sudah mengajar selama 24 tahun ini. Setiap mata "pembenci" memandang rendah dan seolah berkata: "rasakan seorang antiPancasila, UUD 1945 dan antiPemerintah. Semua jabatanmu dilepas "sementara" dan fasilitas lain ssperti mobil driver dll pun dicabut".
Benarkah saya seorang akademikus lebih berbahaya dari segerombolan separatis dan teroris? Haruskah saya melakukan perlawanan dan pembelaan "hukum"? Dada terasa sesak bila memikirkan hal ini. Persekusi terhadap seorang ilmuwan hukum sekalipun tetap meninggalkan bekas bahwa telah ada jejak pemberangusan kebebasan akademik oleh otoritas "pemerintah".
Kini saya menunggu hasil rekomendasi dari DKKE dan Tim Pemeriksa Disiplin UNDIP serta SK MENTERI. Menunggu tanpa kepastian karena di PP 53 Tahun 2010 pun tidak menyebut berapa lama putusan berupa hukuman disiplin pegawai itu akan dijatuhkan. Sambil menunggu, saya pun tetap hadir ke kampus dengan naik motor karena kebetulan cuma ada satu mobil dan mobil itu lebih baik dipakai isteri saya bekerja. Biar saya mengalah. Kasihan, dia pun terpapar atas kasus persekusi yang saya alami.
Pedihnya dalam kesendirian telah menjadi cambuk untuk tetap melawan. Melawan persekusi atas kebebasan akademik yg merupakan harga (value) tertinggi dari seorang Dosen. Perlawanan untuk menunjukkan bahwa apa yg saya lakukan bukan bermaksud utk antiPancasila dan UUD 1945, Anti NKRI dan tidak setia kepada Pemerintah. Bukan! Semua itu dilakukan atas dasar keilmuan dan hanya ingin INDONESIA berada on the track bahwa kita ini NEGARA HUKUM TRANSENDENTAL bukan NEGARA KEKUASAAN SEKULAR.
#PRO(F)SESOR OJEK
Kebenaran pasti menang.. Dajjal akan lenyap pada waktu nya
ReplyDelete