Indonesian Free Press -- Pertemuan Erdogan-Putin di Moskow tanggal 5 Maret lalu adalah sebuah upaya Erdogan untuk menyelamatkan muka setelah kegagalan operasi militernya di Suriah. Demikian sejumlah analis politik dan militer menyebutkan. Salah satunya adalah Scott Ritter, mantan inteligen militer AS yang menulis artikel di Russia Today: 'New Putin-Erdogan deal is sugar-coating the Turks’ surrender', 6 Maret.
"Menghadapi pilihan eskalasi lebih jauh dan berhadapan langsung dengan Rusia, atau menghadapi kekalahan perang, Erdogan memilih terbang ke Moscow," tulis Scott.
Sejak bulan Februari lalu wilayah provinsi Idlib dan sebagian provinsi Aleppo, Suriah menjadi medan perang sengit antara pasukan Suriah yang didukung Iran dan Hizbollah serta Rusia melawan kelompok-kelompok militan yang didukung Turki. Presiden Suriah Bashar al Assad telah bertekad untuk membebaskan Idlib dari pendudukan kelompok-kelompok militan yang sebagian besar adalah teroris. Idlib adalah wilayah terakhir pemberontak setelah mereka terusir dari berbagai wilayah pertempuran di Suriah.
Masalahnya adalah Turki tidak menginginkan para pemberontak-teroris sekutunya itu terusir dari Suriah karena itu berarti hilangnya pengaruh Turki di bekas wilayah Khilafah Ottoman itu. Selain itu, kembalinya wilayah Idlib ke pangkuan Suriah berarti 'rejeki nomplok' yang dinikmati Turki, yaitu minyak jarahan, juga hilang. Namun, yang paling ditakutkan Turki adalah masuknya para teroris itu ke Turki dan mengobrak-abrik Turki. Maka Turki mengerahkan ribuan pasukan dan ratusan kendaraan militernya ke Idlib untuk membantu para pemberontak. Kemudian, Turki mengultimatum Suriah untuk mundur ke garis awal, yaitu wilayah de-eskalasi dalam Sochi Agreement yang disepakati Turki dan Rusia pada bulan September 2017. Jika tidak, Turki mengancam akan menyerbu Suriah.
Ketika batas waktu tanggal 1 Maret semakin mendekat, tampaknya Erdogan menyadari bahwa ancamannya tidak mudah untuk diwujudkan. Tidak saja oleh sifat determinan pasukan Suriah dan sekutu terpercayanya, Hizobollah dan Iran yang telah bertekad bulat mengembalikan kedaulatan Suriah dan mengusir para teroris, namun juga penguasaan wilayah udara Suriah oleh Rusia serta tidak adanya dukungan udara oleh NATO/AS. Erdogan pun mengalihkan pandangan pada 'sekutu rahasia'-nya, Israel. Dengan bantuan Israel lah, Erdogan mendapat jaminan Rusia untuk membuat angkatan udara Turki leluasa bergerak di Idlib ketika Turki menyerbu Idlib tanggal 1 Maret lalu dengan operasi militer bersandi “Operation Spring Shield”.
Namun hanya sesaat Turki menikmati keunggulan. Pengalaman perang bertahun-tahun dan penguasaan medan serta semangat untuk membebaskan tanah air membuat tentara Suriah unggul jauh dari Turki dan kelompok-kelompok teroris dukungannya. Hanya sehari Turki merasakan kemenangan dan selebihnya mereka pun terpukul mundur di semua front, terutama di kota Saraqib yang strategis. Menghadapi resiko kehilangan pasukan dan peralatan tempur lebih banyak serta kehilangan muka lebih jauh, Erdogan pun mengontak Putin mengajak pertemuan.
"Protokol baru yang ditambahkan (penegasan kembali untuk memerangi terorisme dan penghormatan kedaulatan Suriah), yang mulai berlaku pada tengah malam waktu Moscow pada hari Jumat, 6 Maret, merupakan bentuk kekalahan strategis Erdogan dan militer Turki, yang sebagai kekuatan kedua NATO dan dilengkapi dan dilatih dengan standar NATO tidak bisa mengimbangi militer Suriah, yang selama sembilan tahun tanpa berhenti terlibat pertempuran," tulis Scott.
Seperti biasa, Erdogan berusaha mengaburkan kekalahan pasukannya di medan perang dengan klaim-klaim palsu, dilengkapi dengan gambar-gamber video yang dicuplik dari berbagai sumber lain.
"Tidak peduli jika militer Turki mengumumkan bahwa mereka telah menghancurkan armada kapal induk ‘Al-Assad’ di dekat Tartus atau menembak jatuh sepuluh pesawat siluman Su-50 Rusia, atau bahkan menghancurkan satu detasemen tentara Rembo Iran, hasilnya sama saja, tentara Turki gagal di medan perang," tulis Gordon Duff di Veterans Today, 5 Maret.
Suriah telah mendapatkan apa yang diharapkan dalam pertempuran, yaitu menguasai penuh jalan raya M5 yang menghubungkan Damascus dan Saraqib dan mengamankan jalan raya M4 yang menghubungkan Latakia dan Aleppo (kedua jalan raya bertemu di Saraqib yang kini dikuasai pasukan Suriah). Jalan raya M4 diawasi bersama oleh Turki-Rusia dengan jaminan keamanan penuh bagi kendaraan-kendaraan komersial. Secara umum para pemberontak terusir dari seluruh wilayah Idlib selatan yang dibatasi jalan raya M4 di bagian utaranya. Kemenangan Suriah berarti juga kekalahan pemberontak dan Turki.
Pertemuan Erdogan-Putin memang berhasil menghentikan untuk sementara peperangan dan menyelamatkan muka Erdogan. Namun hal itu tidak akan berlangsung selamanya. Presiden Suriah Bashar al Assad telah menegaskan bahwa kedaulatan Suriah tetap akan ditegakkan, dengan konsekuensi mengusir pasukan Turki dan kelompok-kelompok teroris dari Idlib. Apalagi setelah Rusia juga bertekad untuk tidak menghentikan aksinya menghancurkan para teroris di Suriah.(ca)
Turki terlalu bernafsu, bravo Suriah
ReplyDelete